Sore semakin gelap, menandakan ia akan berganti dengan malam. Sunyi senyap pun mulai mendampingi malam gelap. Diiringi suasana dingin sehabis hujan turun. Kini sepi itu menghampiriku. Ia merayu dan mengajakku untuk bersahabat. Aku mencoba meronta karena aku tak sanggup di dekap olehnya.Â
Selimut lusuh mulai kutarik. Aku bentangkan di atas tubuhku, berharap ia  dapat menghangatkan ku. Jari-jemari mulai kurapatkan dan ku eratkan ke dadaku. Sedikit kehangatan mulai kurasakan, menyatu dalam ragaku.
Ah... sepi ini sedang tak berpihak denganku. Sepertinya ia jadi penghianat dan musuh di malam ini. Ia semakin merasuk ke dalam jiwa ku. Memang, sepi yang tak bisa aku damaikan.
Biarlah kali ini engkau yang jadi pemenangnya, tetapi esok Aku tak akan mengalah. Aku akan berjuang dengan segenap jiwa dan ragaku untuk mengalahkan mu. Tak akan kuberi celah sedikitpun untuk memiliki peluang jadi pemenang, meski kau dengan cara yang curang sekalipun.
Takkan kubiarkan, meskipun engkau membawa beribu-ribu pasukan. Akan aku bumi hanguskan, sekalian dengan bala tentara mu yang beribu-ribu. Aku akan tetap jadi pemenang, dan tetap jadi pemenang.
Dan akhirnya, hore... aku jadi pemenang. Sepi itu tak bisa mengalahkanku. Ia berlutut di bawah kakiku.
Parittiga, 22 Juni 2020, dalam sepiku
19:24 WIBÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H