Surau (masjid) adalah sebagai tempat ibadah yang suci bagi umat Islam, terutama untuk ibadah shalat. Penyebutan atau penamaan surau ini hanya bagi masyarakat yang berada di perkampungan yang ada dibeberapa daerah di Indonesia. Selain itu juga ada penamaan lainnya; seperti langgar dan atau mushalla.Â
Di Bangka sendiri yang merupakan daerah kepualauan, hampir semuanya menggunakan istilah surau dalam penyebutan masjid tersebut, Â sedikit sekali yang menyebutkan masjid. Penyebutan masjid menjadi umum semenjak mulainya perkembangan Islam di Bangka dengan berbagai macam pemahaman yang baru.
Dalam tulisan ini, penulis ingin sedikit mengungkap cerita surau lama yang ada di kampung Peradong, yang konon termasuk salah satu surau yang sudah berumur tua, khususnya di wilayah Bangka Barat.Â
Surau tersebut berdiri diakhir abad ke 19, yakni pada tahun 1875. Dahulu tulisan angka tahun ini tertulis di tembok pagar masjid sebelum dilakukan perehaban, setelah direhab tulisan tersebut tidak ada lagi.Â
Pendiri surau tersebut disebut-sebut oleh masyarakat seteempat adalah Haji Batin Sulaiman, yang merupakan tokoh penyebar agama Islam di wilayah setempat dan sekitarnya. Surau tersebut kemudian diberi nama Baitul Mukminin.
Surau ini terletak di dusun Peradong desa Peradong Kecamatan Simpang teritip Kabupaten Bangka Barat Kepulauan Bnagka Belitung. Secara riwayat yang penulis dapatkan, surau tersebut telah mengalami beberapa kali perehaban.Â
Rehab yang pertama addalah dari bangunan dengan dinding yang terbuat kulit dan bambu, serta beratap yang terbuat dari daun rumbia menjadi bendinding papan dan beratapkan seng. Kemudian menjadi semi permanen dan menjadi permanen. Permanen--pun masih mengalami satu kali perehapan hingga kini.
Secara struktur dan ciri bangunan, sebelum menjadi semi dan permanen, bangunan tersebut adalah panggung. Panggung merupakan ciri bangunan masyarakat Bangka pada zaman dahulu. Masyarakat Peradong menyebutkan, kalau rumah biasanya disebut dengan umah panggong yang bawahnya disebut bong umah.Â
Di depan muka (pintu utama surau) ada tangga sebagai sarana untuk naik ke surau. Terdapat teras yang menyatu dengan surau tersebut di bagian depan, dengan pagar dari kayu yang tingginya + 1 meter.
Selain itu, tidak banyak lagi informasi yang penulis dapatkan mengenai informasi yang lebih lengkap terkait dengan sejarah surau tersebut. Orangtua atau tokoh agama yang ada--pun sudah tidak tahu lagi tentang hal ihwal cerita tersebut. Secara generasi hidup, saat ini sudah generasi ketiga akhir (1940-an) dan keempat (1950 -- 1960-an) hingga kelima (yang terlahir ditahun 1980-an).Â
Semoga tulisan kecil ini memberikan manfaat bagi penulis secara pribadi, bagi kampung Peradong sebagai wawasan masa lampau, dan bagi pulau Bangka sebagai khazanah sejarah.