Mohon tunggu...
Suryan Masrin
Suryan Masrin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Penulis Pemula, Guru SD Negeri 10 Muntok (sekarang), SD Negeri 14 Parittiga, pemerhati manuskrip/naskah kuno lokal Bangka, guru blogger

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Manuskrip, Naskah Kuno di Peradong

3 Desember 2018   07:44 Diperbarui: 3 Desember 2018   08:40 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manuskrip yang ditulis oleh Muhammad Yasir (Atok Sir)

Peradong. Manuskrip/naskah kuno merupakan hal penting bagi setiap daerah yang ada di Indonesia, pasalnya kerap kali manuskrip tersebut memuat berbagai informasi tentang daerah tersebut. Seperti manuskrip Babad Tanah Jawa yang menceritakan tentang sejarah Jawa, manuskrip Babad Diponegoro, manuskrip Hang Tuah, dan lain sebagainya.

Di Bangka sendiri ada beberapa manuskrip yang memberikan informasi tentang sejarah pulau Bangka. Sayangnya keberadaan manuskrip tersebut ada di Belanda semua.

Selain manuskrip yang berisi tentang informasi suatu daerah, terdapat juga manuskrip lain. Misalnya manuskrip tentang ibadah, tasauf, fiqih, dan lain sebagainya.

Rata-rata manuskrip tersebut ditulis menggunakan bahasa jawi (arab melayu atau dalam bahasa setempat sering disebut dengan arab gundul). Di antara manuskrip yang ada tersebut tersebar di seluruh pulau Bangka, di antaranya terdapat di Desa Peradong Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat.

Nama Peradong sendiri bukanlah nama yang akrab di telinga masyarakat Bangka pada umumnya, karena peradong bukanlah sumber informasi atau pusat pemerintahan kala itu, sehingga tidak begitu dikenal. Tetapi siapa sangka dibalik itu semua, ternyata di Peradong menyimpan barang unik, yakni manuskrip.

Manuskrip yang terdapat di Peradong, yang ada saat ini dan beberapa di antaranya telah diidentifikasi tidak terdapat yang berisi tentang informasi tentang daerah, melainkan lebih kepada ibadah dan tasauf.

Seperti koleksi yang dimiliki oleh almarhum Bapak Muhammad Alimun atau lebih dikenal dengan Atok Bok yang berjumlah 4 buah, yang masih dalam kondisi bagus dan beberapa dalam bentuk lembaran. Yang menarik dari koleksi tersebut adalah salah satu di antaranya merupakan salinan dari kitab karya ulama Aceh, yakni Syaikh Nuruddin Ar Raniry yang berjudul Asrar al insaan. Selain itu juga tentang do'a ajaran dari anak Orang Arab tahun 1897 yang datang di Mentok dan Shalawat Sultan Mahmud.

Bagian awal manuskrip Asrar Al Insan. Sumber Foto : Dokpri
Bagian awal manuskrip Asrar Al Insan. Sumber Foto : Dokpri
Selain itu terdapat satu buah yang dipegang oleh Bapak Mini (Mang Mini) yang berisi tentang ibadah sehari-hari, mulai dari masalah wudhu, mandi wajib, bersin, mendirikan rumah, khutbah Jum'at dan lainnya.

Manuskrip ini ditulis olah Muhammad Yasir (Atok Sir) pada tahun 1970an di buku tulis biasa.

Manuskrip yang ditulis oleh Muhammad Yasir (Atok Sir)
Manuskrip yang ditulis oleh Muhammad Yasir (Atok Sir)
Pada awalnya keluarga almarhum tak pernah tau perihal manuskrip tersebut, baru setelah beliau meninggal diketahui.

Seperti kata salahsatu anaknya, "memang benar kami tidak pernah mengetahui tentang manuskrip tersebut, karena memang disimpan rapi oleh almarhum. Bahkan lebih tau duluan ponakan dari sebelah saudara almarhum yang tau", terang anaknya yang bernama Dayang (panggilan sehari-hari).

Manuskrip di Peradong. Sumber Foto : Dokpri
Manuskrip di Peradong. Sumber Foto : Dokpri
Sebenarnya masih banyak lagi manuskrip yang ada tersebut, tetapi sebagian telah menyebar ke luar Peradong, seperti yang ada di tangan Bapak Bujang dan Bapak Jufri yang berada di Mentok.
Lembaran manuskrip di Peradong . Sumber Foto : Dokpri
Lembaran manuskrip di Peradong . Sumber Foto : Dokpri
Menurut Bapak Samsudin (Mang Suden), manuskrip tersebut awalnya ditulis oleh Haji Batin Sulaiman yang merupakan tokoh agama yang menyebarkan Islam di sekitaran Simpang Teritip, yang makamnya berada di Dusun Menggarau - Peradong. Kemudian disalin ulang oleh murid-muridnya dan disebarkan seterusnya, tradisi tulis-menulis arab melayu tersebut hingga tahun 1970an.

Setelah tahun tersebut, tidak murni lagi pakai arab melayu, tetapi telah dicampur dengan tulisan latin, dan selanjutnya di era tahun 1990-an hanya dengan tulisan latin saja, tambahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun