Peradong. Manuskrip/naskah kuno merupakan hal penting bagi setiap daerah yang ada di Indonesia, pasalnya kerap kali manuskrip tersebut memuat berbagai informasi tentang daerah tersebut. Seperti manuskrip Babad Tanah Jawa yang menceritakan tentang sejarah Jawa, manuskrip Babad Diponegoro, manuskrip Hang Tuah, dan lain sebagainya.
Di Bangka sendiri ada beberapa manuskrip yang memberikan informasi tentang sejarah pulau Bangka. Sayangnya keberadaan manuskrip tersebut ada di Belanda semua.
Selain manuskrip yang berisi tentang informasi suatu daerah, terdapat juga manuskrip lain. Misalnya manuskrip tentang ibadah, tasauf, fiqih, dan lain sebagainya.
Rata-rata manuskrip tersebut ditulis menggunakan bahasa jawi (arab melayu atau dalam bahasa setempat sering disebut dengan arab gundul). Di antara manuskrip yang ada tersebut tersebar di seluruh pulau Bangka, di antaranya terdapat di Desa Peradong Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat.
Nama Peradong sendiri bukanlah nama yang akrab di telinga masyarakat Bangka pada umumnya, karena peradong bukanlah sumber informasi atau pusat pemerintahan kala itu, sehingga tidak begitu dikenal. Tetapi siapa sangka dibalik itu semua, ternyata di Peradong menyimpan barang unik, yakni manuskrip.
Manuskrip yang terdapat di Peradong, yang ada saat ini dan beberapa di antaranya telah diidentifikasi tidak terdapat yang berisi tentang informasi tentang daerah, melainkan lebih kepada ibadah dan tasauf.
Seperti koleksi yang dimiliki oleh almarhum Bapak Muhammad Alimun atau lebih dikenal dengan Atok Bok yang berjumlah 4 buah, yang masih dalam kondisi bagus dan beberapa dalam bentuk lembaran. Yang menarik dari koleksi tersebut adalah salah satu di antaranya merupakan salinan dari kitab karya ulama Aceh, yakni Syaikh Nuruddin Ar Raniry yang berjudul Asrar al insaan. Selain itu juga tentang do'a ajaran dari anak Orang Arab tahun 1897 yang datang di Mentok dan Shalawat Sultan Mahmud.
Manuskrip ini ditulis olah Muhammad Yasir (Atok Sir) pada tahun 1970an di buku tulis biasa.
Seperti kata salahsatu anaknya, "memang benar kami tidak pernah mengetahui tentang manuskrip tersebut, karena memang disimpan rapi oleh almarhum. Bahkan lebih tau duluan ponakan dari sebelah saudara almarhum yang tau", terang anaknya yang bernama Dayang (panggilan sehari-hari).
Setelah tahun tersebut, tidak murni lagi pakai arab melayu, tetapi telah dicampur dengan tulisan latin, dan selanjutnya di era tahun 1990-an hanya dengan tulisan latin saja, tambahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H