Mohon tunggu...
Elfish Angelic
Elfish Angelic Mohon Tunggu... Supir - Suka baca yang tidak terbaca

Mari berbagi...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

PBB Gratis, Terobosan Pajak Jokowi?

4 Februari 2015   19:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:50 1505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_394966" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Kabar gembira bagi pemilik rumah, ada rencana bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang akan memperjuangkan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah huni, tempat ibadah dan bangunan sosial kepada Kementerian Keuangan. Mendengar kata pajak, bagi sebagian pemilik rumah - terutama di pedesaan - ibarat sebuah momok. Tidak menakutkan, tapi cukup merisaukan.

Pembebasan pajak bagi hunian ini merupakan terobosan kecil yang berdampak psikologis yang besar bagi rakyat di negeri yang sudah merdeka ini. Perlu diingat, pajak adalah simbol atau alat pemerasan yang dilakukan pemerintahan kolonial supaya dapat menguasai dan merampas hasil bumi serta lahan penduduk jajahannya. Adalah pantas meringankan beban masyarakat dari pungutan PBB setiap tahun meski pajak sejak kemerdekaan tentu berbeda dari pajak sinting masa penjajahan.

Menurut menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan, PBB seharusnya ditarik hanya satu kali pada saat warga membangun rumah huni, bukan membayar setiap tahun. Kecuali berlaku bagi bisnis kontrakan atau kos, restoran, hotel yang mempunyai nilai komersial.

Nah, dari pernyataan Menteri di atas, kita sering melihat sebenarnya bukan hanya orang miskin atau hampir sejahtera saja yang butuh keringanan pajak. Kita yang sedang ingin membeli rumah sederhana saja sebenarnya amat diberatkan oleh pajak tinggi dari developer. Apalagi ada juga sebagian kita yang kesulitan bayar pajak dari rumah huni warisan orang tua sementara mereka tidak sesukses orang tua dimaksud.

Contohnya, banyak ahli waris di kawasan elitE Menteng, Jakarta Pusat yang terpaksa menjual rumah masa kecilnya pada kalangan orang kaya baru, bahkan kepada orang asing karena sulit bayar pajak. Rumah-rumah itu anehnya dengan mudah dialihfungsikan menjadi tempat usaha dan kantor yang tidak sesuai dengan peruntukannya, peRmukiman. Sulit bayar pajak itu adalah konsekuensi dari kemampuan keuangan mereka menurun, ada yang karena ayahnya pensiun dari jenderal, ada juga yang saling mengandalkan antarsaudara yang belum sepakat atas pembagian warisan. Mereka jadi asing di negeri/kampungnya sendiri. Banyak warga asli pindah (tepatnya tersingkir) karena nggak sanggup bayar PBB di kawasan tertentu.

Pada bagian lain, PBB sering juga disalahartikan sebagai bentuk keabsahan kepemilikan atas lahan. Di Ibu Kota Jakarta misalnya, membayar pajak dua tiga tahun terakhir di kawasan hijau milik negara, di pinggir sungai dan pantai dijadikan bukti kepemilikan sah atas okupasi lahan. Bahkan, ada juga yang memperjualbelikan hingga menambah kerumitan sistem pertanahan nasional.

Di sisi lainnya, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan kewajibannya ketika terjadi bencana yang menimpa pemukiman warganya. Selama ini, banyak pemerintah selalu terlambat atau bahkan terkesan lepas tangan manakala ada bencana kebakaran dan atau bencana lain yang merenggut rumah warganya. Padahal (meski bukan asuransi) pajak bumi dan bangunan bisa juga diartikan sebagai bentuk "asuransi kehadiran pemerintah" ketika sedang dibutuhkan. Rakyat harus jadi tuan rumah di negeri sendiri.

Semoga Kemenkeu menerima usulan dari Kementrian Agraria dan RT, dan mengubah cara pandang kita bahwa "pajak untuk kesejahteraan adalah pajak yang tidak membebani".

Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun