Sedari tadi layar komputer itu hanya ditatapnya,
Ya,, dia berencana segera melakukannya,
Kerjasama segera antara hati, keyboard dan pikirannya, tampillah barisan kalimat itu,.....
Hai selingkuhanku sayang,
Apa kabarmu? Sudahkah kau memikirkan diriku sehari ini?
Saya sudah semoga kamu juga.
Selingkuhanku sayang,..
Meski ini sudah kukatakan ratusan kali, tapi rasanya tidak basi, bahwa sekali lagi kukatakan kau amat sangat berarti.
Meski cinta sejatimu bukan untukku, meski rayuan mautku bukan takdirmu.
Hari-hari merajut cerita bersamamu serasa tidak ada habisnya, aku juga tidak habis pikir, kemana saja aku selama ini dengan takdir cintaku,
Sehingga untuk menikmati  tawaku seperti denganmu ini, rasanya langka.
Maka tidak lain dan tidak bukan, Aku bertekuk lutut atas pesonamu, aku semakin menggila, atau tepatnya, aku semakin terpenjara. Bagaimana tidak? tawaku renyah tetapi hatiku gundah. Tangisku hampir sirna tapi gelisah masih ada. Tahukah kau rasanya terpenjara? Ya seperti hari yang sekarang kita miliki. Penjara cinta, katamu.
Selingkuhanku sayang,
Tidak ada sedetikpun hariku bersamamu yang tidak seru, semuanya biru!. Aku tidak pernah ragu tepatnya aku tidak sempat berpikir, meski hanya untuk sekedar ragu.
Namun beberapa menit di hari kemarin, entah mengapa aku sempat berpikir.
Ketika kau membagi kegelisahanmu, tentang takdir cintamu. Marahnya, sedihnya, kesalnya, menyebalkannya, putus asanya, kebenciannya, harapannya, membuat aku terhenyak.
Itu semua adalah serupa denganku, mirip, bagai pinang dibelah dua, bahkan ini mungkin tiga empat dan seterusnya.
Maksudnya tidak ada bedanya aku dengan dia! Jika dia marah seperti itulah kiranya diriku, pun jika dia putus asa dan sebagainya...
Hanya satu yang tidak sama, dia tidak bertemu kembali dengan seseorang yang membuat dadanya berdesir ketika kuliah, ya mungkin dia marah, benci, kesal dan putus asa, sendiri saja.
Atau... belum saja waktu itu tiba bagi dirinya.
Dan bila itu tiba padanya,..hhh,....hh....
Selingkuhanku sayang,
Dan bila itu tiba padanya,
Apakah kamu rela?
Selingkuhanku sayang,
Bila itu tiba pada takdir cintaku, ternyata aku tidak rela!
Silahkan seribu umpatan, doa neraka atau nyanyian setan kau limpahkan padaku.
Aku tidak akan memungkirinya. Bagiku, kau masih tetap malaikat penyelamatku.
Dengan pesonamu, kau yang telah menyadarkanku, bahwa aku harus berusaha,
Mencintai kekurangsempurnaan cinta yang kumiliki ini dengan caraku yang paling sempurna.
Salam,
Lelakimu
Dia mengakhiri kalimatnya, agenda selanjutnya apakah akan disampaikan secara lisan atau tulisan, masih menjadi teka-teki.
Yang jelas hal itu telah menjadi tekad bulatnya.
Untuk disampaikan,
segera...
nanti saja...
segera...
nanti saja.....
segera,... dst
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H