“Aku nggak mau Akuntansi aku pengen dekave (DKV; Desain Komunikasi Visual), pleaseeeeee….”
“ Tante, bilangin donk sama Ayah, jangan terlalu urusin cita-cita gue , please….”
“ Ya tante ya?...ya..?..ya? ..please….”
Bagi sebagian besar orang tua yang kini memiliki putra atau putri yang duduk di Kelas 3 SMA/ MA/ SMK/ SMEA , rasanya tidak asing dengan penggalan kalimat diatas. Demikian dengan saya, meski hanya sekedar imbas dari permohonan menjadi “juru bicara” bagi keponakan saya kepada orang tuanya, terutama ayahnya.
Belum juga UAN (Ujian Akhir Nasional) dijalani, tapi mereka rata-rata sudah dibuat “keriting” dengan agenda tentang SNMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri), bahkan juga seleksi dari perguruan tinggi swasta. Karena kini, perguruan tinggi swasta tertentu mulai diperhitungkan kualitasnya, kurikulumnya, dosennya, fasilitasnya, menawarkan beasiswa atau beberapa pertimbangan lainnya.
Sejujurnya kalau dulu jamannya saya kuliah, rata-rata calon mahasiswa melirik perguruan tinggi swasta setelah jelas nasibnya nggak diterima di perguruan tinggi negeri, tapi sekarang tidak demikian adanya. Bahkan beberapa universitas swasta cukup percaya diri untuk menggelar ujian pada hari yang sama dan mengharuskan registrasi atau daftar ulang segera.
Bisa kita bayangkan, kuliah jaman sekarang harus menggunakan strategi. Apalagi bagi yang memiliki kepandaian dan dana pas-pasan, semakin “keriting" saja, artinya jika salah langkah, biaya bahkan impian masa depan bisa jadi taruhannya.
Pilihan program studi yang beraneka ragam, jadwal test yang hampir bersamaan, kondisi persaingan, yang sengit, dimana jumlah bangku yang tersedia berbanding terbalik dengan para pendaftar, ditambah lagi biaya kuliah, yang bagi sebagian masyarakat, masih dalam hitungan angka selangit itu, lagi-lagi semakin membuat pusing kepala, “bikin mumet..mett…”, kata kakak saya.
Bahasan semakin menjadi meriah, meski pilihan jurusan atau program studi (prodi) semakin beragam, tetapi jurusan favorit tetap itu-itu melulu. Mengapa yang favorit menjadi itu-itu melulu? Sebut saja, Jurusan ; Ekonomi, Teknik, Kedokteran, Komunikasi dsb..
Karena hampir sebagian besar peminat jurusan atau prodi diatas, berasumsi dan memiliki orientasi bahwa jurusan atau prodi diatas adalah bidang yang menjanjikan. Bisa segera bekerja , karir terang, masa depan cemerlang. singkatnya, diterima bekerja menjadi tujuan akhir.
Keruwetan bertambah lagi, ketika calon mahasiswa dihadapkan pada “selera” untuk memilih jurusan atau prodi yang kurang direstui orang tuanya. Sebagai donatur utama atau atas nama kasih dan sayangnya, orang tua tidak rela kalau pilihan yang dituju, kurang jitu.
Tidak peduli minat dan kemampuan anaknya, yang jelas jangan sampai setelah lulus kuliah anaknya hanya menambah daftar antri pengangguran saja.
Tak ayal lagi, fenomena kalimat semacam paragraph awal diatas, menjadi mengemuka. Bagi sebagian orang tua, hampir pasti bahasa keponakan saya itu cukup membuat merah telinga. Meski sejujurnya kalau kita mau coba pahami maksudnya, saya merasa bahwa kalimat keponakan saya itu bermaksud memohon untuk diberi kepercayaan, memilih jurusan atau prodi yang akan ditempuhnya, sesuai minatnya dengan penuh tanggung jawab.
Ini bukan perkara mudah. Beberapa orang tua masih belum bisa merelakannya. Bagi mereka, anaknya masih belum bisa dilepas sepenuhnya, untuk memilih jurusan yang akan dijalani. Mereka tetap berpikir bahwa jurusan yang tepat akan memudahkan proses kehidupan anaknya ketika bekerja.
Apakah selalu hasil perburuan ilmu selama kuliah itu mengena/ tepat sasaran ketika bekerja?
Setidaknya saya punya beberapa cerita,
Kira-kira 5 tahun yang lalu, saya bergabung di salah satu advertising agency, jabatan saya account manager, saya dan tim menghandle beberapa company dengan brand yang lumayan banyak dan aktif. Dalam satu tim, saya bekerjasama dengan tim media, kreatif dan account management. Di bagian account management, saya membawahi 2 senior account executive (AE) dan satu junior AE.
Tetapi yang membuat saya ingat sampai sekarang adalah, dalam tim tersebut, saya memiliki seorang senior AE, dengan usia 2 tahun lebih tua dari saya, bahkan dia S2-lulusan Amerika pula. Meski menyadari usia belum tentu menunjukkan senioritas. Tetap saja, dengan lugunya saya sempat bertanya, mengapa dia bersedia bergabung dalam tim saya. Sementara secara usia dan bahkan Ilmu yang ditempuhnya, bisa jadi dia lebih senior.
Dalam suatu perbincangan ketika makan siang, terbukalah informasi itu bagi saya. Teman saya itu mengatakan, bahwa dia memilih jurusan kuliah atas pilihan orang tuanya, yang dia tidak terlalu suka, serta menyadari bahwa dunia komunikasi membuatnya tertarik, untuk itu dia rela bergabung di sebuah advertising agency dan memulai karirnya dari bawah.
Pun demikian dengan art director yang menjadi andalan tim kami dalam membuahkan sebuah desain iklan. Art director teman saya itu, bukan lulusan Desain Komunikasi Visual, Ia mengaku Kuliah Hukum, sempat bekerja di pengadilan negeri selama setahun, sebelum akhirnya dia memutuskan keluar dan mengikuti kuliah Desain Grafis.
Teman saya sesama account manager tidak jauh beda, dia adalah seorang arsitektur. sempat juga bekerja di sebuah konsultan properti.
Semua teman-teman saya diatas, ketika saya tanya, mengapa berani keluar dari bidang yang dipelajari maupun karir yang digelutinya sebelumnya, sebagian besar mengaku, menyadari bahwa “passion-nya” tidak sama dengan ilmu yang digelutinya ketika kuliah.
Adalah bukan perkara mudah bagi sebagian orang, bertekad “menyeberang” ke bidang lain, seperti teman-teman saya itu, apalagi bila dihadapkan dengan masalah usia, persaingan apalagi anggapan takut tidak bekerja.
Meski ada juga yang beranggapan profesi “menyeberang” adalah hal yang wajar, sebagai bagian dari proses beradaptasi dan mencari jati diri. Akan tetapi, apabila ada bidang yang bisa menjadi minat dan bakat, lalu kita geluti dan pelajari sedari dini, kenapa tidak?
Rasanya saya semakin percaya untuk membantu keponakan saya, mengatakan minatnya kepada ayahnya. Setelah sesuatu yang saya pahami dari kisah teman-teman saya diatas, saya gabung dengan informasi yang saya baca di Harian Kompas, judulnya; “Dua Juta Diploma dan Sarjana Menganggur”(Kompas, 19 Peb 2010).
Angka diatas mengemuka dalam diskusi ”Siap Hadapi Tantangan Dunia Kerja dengan Pendidikan Berfokus Karier”, Tanggal 18 Pebruari di Jakarta. Di Kompas itu disebutkan , tanpa ketrampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja, kualitas lulusan perguruan tinggi tidak maksimal berkembang. Selain itu banyak calon mahasiswa yang cenderung memilih program studi hanya berdasarkan tren yang ada, karena permintaan orang tua atau keluarga dan pengaruh teman sebaya.
Untuk itu, perdebatan memilih jurusan kuliah yang represif, hanya mengedepankan tujuan supaya “laku”/diterima kerja, tanpa mempertimbangkan minat dan bakat anak, selayaknya kita hindari.
Digantikan dengan langkah-langkah yang memberikan wadah untuk berkembang dan meyakini minat anak, seluas-luasnya.
Bahkan di beberapa sekolah, biasanya dilakukan psikotes, sehingga memungkinkan untuk memberikan dukungan cita-cita yang dilandasi data, juga menghindari dugaan memilih program studi hanya berdasarkan trend atau ikut-ikutan teman semata.
Selain itu, perlu dicatat, bahwa generasi sekarang dikenal dengan “melek gadget”, bahasan apa yang tidak mereka “lahap” dengan mudahnya, di tambah eksistensinya dalam suatu komunitas yang mereka miliki, rasanya semakin memudahkan bagi mereka untuk menggali informasi sebesar-besarnya, termasuk info seputar pendidikan. Inipun terbuka bagi para orang tua tentunya. “Jangan buta on line”, kata keponakan saya.
Yang tidak kalah penting, meyakini bahwa pendidikan adalah bekal untuk menjalani kehidupan dengan penuh tanggung jawab , penuh minat, semangat dan kegembiraan dalam menjalaninya.
Menjadikan cita-cita semata-mata supaya “dapat diterima bekerja” setelah kuliah, selain memberi arti sempit bagi fungsi pendidikan juga tidak didasarkan pada sikap menghargai hak dan minat anak.
Akan lebih terasa bijak, meski butuh kepercayaan besar untuk meyakininya, bahwa selain mempunyai cita-cita; memiliki kemampuan untuk diterima di lapangan kerja, kenapa juga tidak menciptakan lapangan kerja?
“Pendidikan bukan persiapan untuk hidup, Pendidikan adalah hidup itu sendiri “(John Dewey),
Saya akan sampaikan kata bijak diatas kepada kakak saya, serta berdiskusi, mungkin sedikit beradu argumentasi, demi menjalankan amanah atau pesan penuh harap dari keponakan saya tercinta, diatas.
Sudahkan Bapak dan Ibu mengalami hal yang sama?
Salam Kompasiana ! :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H