Mohon tunggu...
Elok Setiawardani
Elok Setiawardani Mohon Tunggu... -

Baru sadar kalau suka dan sempat menulis belum lama, syukurlah bertemu kompasiana. Menulis,berbagi ilmu dengan kompasioner, tanpa menyerah! :) salam kompasiana..http://eloktenan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Bapakku Jenius, Meski Tak Lulus SMA”

6 April 2010   11:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:57 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di suatu siang, seorang teman, katakanlah namanya Kuntum, mengatakan ini pada saya;

"Saya tidak habis pikir, apa yang dilakukan kedua orang tua saya, waktu saya kecil dulu, rasanya mereka jarang melarang, tapi cukup membuat saya untuk tidak berbuat yang terlarang, rasanya mereka jarang khawatir, tapi cukup membuat saya untuk tidak berbuat yang menghawatirkan"

"he2..."  sahut saya, menjadi pendengar setia

"Lalu kesaktian apa lagi yang kau rasakan? Sahut saya menggoda,

Kuntum  mengatakan banyak hal, tetapi paling tidak beberapa yang dia ingat adalah; dia diperbolehkan kuliah, merantau jauh ke kota yang tentu tidak didampingi kedua orang tuanya, pergaulan bebas merajalela, tetapi tidak tergoda, tetap tertib sholat dan mengaji  dan  satu lagi, yang dia tidak pernah lupa, dia jarang merasa kekurangan, meski kehidupan ekonomi mereka pas-pasan, jauh dari  predikat kaya. Hingga akhirnya kini  mendapat pekerjaan hebat dan sesuai minatnya, meski banyak iming-iming yang indah tapi berbisa, syukurlah tetap dia tidak tergoda.

" Yaaa,,, itu yang indah-indahnya ya? kekurangan saya ya ada, tapi baiknya kita bahas tentang keindahan yang sedang saya syukuri ya? " katanya lagi.

" Saya percaya bahwa semua keberhasilan ini, setelah  Allah memiliki kuasa, saya menyambutnya dengan kerja keras,  dorongan lingkungan, tidak ragu saya menjawab, pastinya berkat orang tua saya,  sungguh saya merasa orang tua saya jenius, meski tidak sampai lulus SMA" , katanya.

Kemudian percakapan itu, berakhir begitu saja, bersamaan dengan pertemuan kami. Saya pikir saya akan mudah melupakannya, ternyata tidak,..

Dan di pertemuan yang terpisah, kembali saya berbincang dengan seorang kerabat yang memilki putra menginjak usia dewasa, sebut saja namanya Hasan, kepada saya dia sampaikan keluhan, betapa kadang-kadang keadilan serasa jauh darinya, dia sudah bekerja keras tapi rejeki ya segitu-gitunya. Ingin sekali dia memberikan kebahagiaan yang bersifat materi, tapi serasa mimpinya itu selalu jauh panggang dari api, maka selanjutnya saya dengarkan beberapa kalimat berandai-andai  yang dilontarkannya;

" Cobaaaa kalau saya punya pekerjaan bagusan dikit, saya sekolahin anak saya setinggi-tingginya"

" Cobaaaa kalau ada uang lebih, bisa saya carikan sepeda motor seadanya, biar anak saya pulang sekolah nggak terlalu kepanasan atau kehujanan lagi"

" Cobaa,,, kalau ada waktu luang, bisa perhatiin anak-anak, biar nggak ikut-ikutan bandel kena pengaruh teman-temannya yang nggak bener......

"Cobaaa....

Beberapa kalimat yang diawali cobaa... dari si bapak saya rasakan hanya semakin menambah kesedihannya saja.

Sama seperti percakapan sebelumnya, saya tidak bisa berbuat banyak, usai begitu saja.

Hingga suatu hari sepulang kerja, ada bazaar buku. Seperti biasa saya pilih beberapa, apalagi karena ada diskonnya tambah semangat saja. "Melahapnya" urusan nanti, tapi  tekad untuk tidak membawanya pulang rasanya sayang untuk dilewatkan he2..

Dan setelah membaca salah satu buku itu, saya rasanya jadi ingin buru-buru bertemu dua orang diatas.

Dalam buku itu, Saya tertarik dengan ulasan bahwa hal yang penting dilakukan orang tua adalah menunaikan kewajiban mendidik, sebagai proses, bukan kewajiban mencetak anak saleh, sebagai hasil. Baik buruk anak berada di tangan Allah, kita tidak berkewajiban mencetak anak saleh. Jika kita sudah bekerja keras mendidik, kemudian bertawakallah kepada Allah, yang di tangan-Nya kebaikan dan keburukan seseorang untuk berharap hasil didikan yang baik. Tidak perlu bersedih lantaran tidak mampu menafkahi anak dengan sempurna, tapi jangan menganggur lantaran keengganan dan kemalasan. Selain juga (ini yang sering saya dengar meski mempraktekkannya tidak semudah mengatakannya); asuhan dan didikan dalam bentuk tindakan, jauh lebih efektif ketimbang bentuk kata-kata.

Seketika itu saya jadi teringat Kuntum, bisa jadi orang tua Kuntum tidak sehebat professor dalam mendidiknya, tapi pola pengasuhan dan tindakan positif bagi anaknya, keteladan dalam kesederhanaan itu sedemikian dasyatnya, kemudian membawa pengaruh bagi kehidupan Kuntum, yang paling tidak hidup  dalam asuhan orang tuanya hingga dia memutuskan untuk menikah.

Untuk Pak Hasan; kekurangan tidak menjadi harga mati untuk tidak melihat kebaikan dan hal-hal yang positif lainnya, yang penting tetap semanggat, nilai-nilai kebaikan dipegang teguh ... selanjutnya Allah yang akan mengaturnya.

Kira-kira begitu ya? ... setuju/tidak ? :)

Bacaan : La Tahzan for Parents, KH Dindin Solahudin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun