Teman, terasakah olehmu, sama seperti saya?
Saya dalam beberapa hal terjebak dalam bahasan atau kegiatan yang tidak menomorsatukan esensi atau hakikat atau inti atau hal yang pokok.
Ya dengan malu saya akui. Sejujurnya rasa itu bersumber dari segala arah, maksudnya, bisa orang lain yang tidak sadar esensi dan saya merasakannya atau sebaliknya saya yang tidak paham esensi sehingga orang lain yang kena imbasnya.
Hmmm,… kalau yang bersumber dari orang lain, tidak usahlah panjang lebar kita membahasnya, kalau harus disebutkan, yang agak melekat di ingatan saya adalahhasil akhir Pansus DPR tentang hak angket Bank Century, ketika itu, pulang kerja, saya mendengar berita di radio dalam mobil saya, tentang usulan opsi baru, yakni opsi A digabung dengan opsi C. Sejujurnya saya bukan pengamat politik, amat sangat bukan, tetapi saya hanya mengkonsumsi berita, memasukkan dalam otak saya dan melogika, hasilnya, menurut pikiran saya itu tidak masuk akal, tidak sadar esensi. Saya hanya bergumam dalam hati, “oalah,,,ngono yo ngono ning mbok ojo ngono” (gitu ya gitu, tapi mbok ya jangan gitu)
Ah tapi dengarlah komentar para nara sumber di radio saya ketika itu, dicampur dan diadu antara pro dan kontra, mengandalkan bahasan dari nara sumber yang sok ilmiah dan pandai berkata-kata, kalimatnya sedemikian rupa, terdengar intelek atau seakan-akan intelek sudah jadi bias, apalagi untuk saya yang awam ini he2.., hingga peta bahasan lama-lama bergeser, kalau ibarat warna, dari putih jadi abu-abu bahkan dari abu-abu bisa tampak hitam. Dari yang sependapat dengan saya, menjadi sedikit memakluminya atau bahkan sama sekali mementahkan rasa saya tentang opsi diatas.
Akhirnya saya hanya cukup tidak peduli, paling dalam hati saya bergumam “ hakikat kok dibalik-balik, sudahlah mungkin banyak kajian atau info lainnya yang saya tidak ikuti dari awal”, begitu pikir saya.
Kalau sudah begini saya jadi ingat kata-katanya Tukul Arwana, kira-kira begini; “ Lebih baik bodoh tapi ora minteri, dari pada pinter tapi sukanya mbodohi orang lain” hi2…
Hingga sabtu pagi, saya membaca tulisan Effendi Gazali, di halaman Opini, Kompas, 6 Maret 2010, saya kutip kalimat yang ini ; “Amat sulit memahami rasionalitas dari mereka yang mengusulkan opsi A digabung dengan Opsi C menjadi sebuah obyek voting baru. Kita tidak perlu menjadi pakar ilmu roket untuk mengatakan opsi A (yang essensinya mengindikasikan “not guilty") memiliki kontradiksi internal hakiki dengan opsi C ( yang basisnya mengindikasikan “guilty“)
“Hmm,,,,,” ketika itu saya membaca koran sembari mesam-mesem sendiri J
Mau tahu, sesuatu yang tidak sadar pokok bahasan, bersumber dari perbuatan saya?
Ini sederhana, mungkin nggak level sama bahasan yang kondang diatas, tapi buat saya ini juga bisa jadi bahan telaah, khususnya buat saya.
O iya, ini tidak kalah seru sekaligus tidak kalah memalukannya, (alamak mau2nya saya berbagi tentang hal ini).
Begini ceritanya,..
Dua bulan yang lalu, kesabaran saya sedang diuji, pembantu rumah tangga, biasa saya dan anak saya panggil “mbak”, mendadak pulang dan tidak bisa kembali karena sesuatu alasan. Maka mau tidak mau saya harus hunting yang baru. Satu, dua, hingga tiga orang gonta-ganti nggak jelas, hingga saya sedikit putus asa dan capek nge-briefnya alias memberi pengarahannya, sudah paham, bulan depannya ganti atau pulang, begitu seterusnya.
Hingga akhirnya yang ketiga, sudah mengendur semangat saya. Ritual yang biasa saya lakukan dengan memberikan brief jelas dan lengkap baik via lisan dan tulisan, saya tidak lakukan, tepatnya, saya kurangi.
Ya, saya hanya melulu menuliskan info tentang jadwal, nomor telp penting, menu masakan dsb. Meski masih saya beri visualisasi biar menarik. Pikir saya, daripada tulisan melulu, brief untuk si mbak saya beri simbol2 juga alias gambar yang menarik.
Itupun termasuk pada jadwal menu masakan sehari-hari. Senin sampai dengan Jumat saya sudah tulis lengkap, “ah,, mantap dah” pikir saya. Serasa mbak di rumah sudah seperti tim kreatif ketika dulu saya kerja di advertising agency …brief lengkap dengan data, deadline, mandatory dll…Semuanya harus jelas, lengkap tapi tidak boleh bertele-tele he2…
Hingga suatu hari, terasalah keganjilan itu.
Kadang-kadang karena takut lupa, saya tempel pesan di kulkas, supaya si mbak tinggal baca dan bereslah agenda dengan si mbak. Tapi kok beberapa pesan di tempelan kulkas dia tidak laksanakan? Ketika saya tanya, jawabnya hanya lupa, maaf besok tidak diulangi.
“Ya sudahlah sabarrr.., daripada ganti lagi, artinya nge- brief lagi”, pikir saya.
Suatu hari saya sempat pastikan, “ Mbak apaada yang ditanya tentang jadwal atau info2 yang saya kasih buatmu? Ada yang ndak jelas?”
Si mbak menjawab “tapi saya kalo kecil2 ndak bisa baca, bu”. Maka keesokan harinya saya cetak dengan teks yang lebih besar.
“Beres!”, pikir saya.
Tetapi lama-lama, masalah juga melanda menu masakan yang tidak sesuai dengan jadwal. Kadang suatu hari lauknya overlapping, sayurnya pake’ ayam, lauknya pake’ ayam lagi, atau sehari sayuran dua macam, tapi tanpa ada lauk, dst. Bekal anak untuk ke sekolah juga meleset dari daftar.
Agak habis kesabaran saya. Tapi saya tetap harus bertahan.
Hingga suatu malam, anak saya membukakan mata hati saya dan dengan malu saya menyadari; SAYA BUTA ESENSI
Anak usia 6 tahun yang baru senang-senangnya baca-tulis itu berkata pada saya,
“ Ibu maaf ya” katanya.
“ Kenapa nak? Kok minta maaf”
“ Soalnya ituuuuu buuu…” kata dia lagi
“ Itu apa?, jawab saya penasaran
“ Itu lhooo… kata mbak kayaknya ibu kecewa ya? masaknya salah”
“ Terus? “
“ Iya itu kan soalnya gara-gara aku? “
“ Gara-gara kamu?,.. gimana sich, nak?
“ Iya soalnya aku lupa nggak bantu mbak bacain menunya???...
“ Maksudnya? “
“ Iyaaa,… mbak kan nggak bisa baca”
“Ya Allah”,……. desis saya dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H