Mohon tunggu...
Elok Faiqotul Himmah
Elok Faiqotul Himmah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sosiologi FISIP UIN Walisongo Semarang

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyebaran Paham Radikalisme Melalui Sosial Media Semakin Meningkat: Bagi Para Remaja Masa Kini

10 Juni 2024   22:44 Diperbarui: 10 Juni 2024   22:51 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Media sosial menjadi sarana pilihan masa kini untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, baik di lingkungan kerja, sekolah, dan lain sebagainya. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein (2010) menjelaskan bahwa media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi yang berbasis internet dan dibangun didasarkan pada ideology dan teknologi web 2.0 serta memungkinkan adanya penciptaan dan pertukaran user-generated content. (Diniaty, 2021)

Hasil survei Alvara Strategic Research tahun 2014 menjelaskan generasi usia 15-34 tahun sangat tinggi tingkat ketergantungannya pada koneksi internet. Hasil penelitian lain menunjukkan mengakses media sosial menjadi tujuan mayoritas remaja menggunakan internet mencapai 64,4% (Pasquala, Sciacca dan Hichy, 2015), terutama dengan menggunakan handphone. Faktanya dampak negatif media sosial juga menjadi salah satu media penyebarluasan tindakan intoleransi, paham radikalisme, terorisme di Indonesia. Radikalisme atau kekerasan dalam agama dan atas nama agama saat ini cukup mengkhawatirkan. (Riyadi, 2016)

Menurut O'Leary, internet telah menjadi ruang revolusi untuk meningkatkan paham keagamaan dan proses desiminasi yang saat ini mengalahkan buku cetak. Oleh sebab itu, perlu digiatkan literasi lewat media sosial maupun situs-situs kegamaan yang moderat di internet sebagai langkah perlawanan terhadap sebaran paham radikalisme yang sengaja disusupkan para teroris melalui internet. Transformasi ideologi radikalisme melalui media sosial akan tersebar secara cepat yang bisa saja menghantam pola pikir remaja dan penduduk Indonesia pada umumnya. Pengamat isu-isu radikalisme Dirga Maulana, menuliskan bahwa internet membekali para ekstremis dengan informasi dan memberikan informasi untuk gerakan ideologis mereka.

Melalui internet, para teroris bisa masuk ke mana saja dengan menggunakan Youtube, Facebook, X, Instagram dan media sosial lainnya untuk mengajak para anak-anak muda untuk melakukan tindak kekerasan dengan dalih agama. Tentu saja, hal ini searah dengan apa yang dikatakan Eric Schmidt dan Jared Cohen dalam bukunya, "The New Digital Age" (2013), yang menggambarkan masa depan gerakan terorisme dengan menggunakan teknologi informasi sebagai sebuah serangan teror. Oleh karena itu, pemerintah dan seluruh stakeholders dalam persoalan ini, harus berani memanfaatkan internet dan media sosial untuk melakukan langkah pencegahan. Adapun, psikologi pengguna media sosial di Indonesia pun masih bisa diarahkan dengan isu-isu sosial yang memiliki muatan keagamaan. Netizen Indonesia akan pro toleransi dan kontra radikalisme jika kampanye pencegahannya dilakukan sebaik mungkin. (Rahmat, 2019)

Di zaman globalisasi yang serba modern ini, remaja semakin lupa dengan perannya sebagai generasi penerus seperti: kewajiban belajar, patuh kepada orang tua, dan juga agama. Canggihnya teknologi, semakin mempermudah budaya asing masuk dan diserap oleh para remaja dengan begitu cepatnya, sehingga menjadikan budaya asli bangsa sendiri tergantikan dan terabaikan. Bagi para tokoh radikal, usia remaja menjadi potential recruitment yang mudah dibujuk. Anak remaja adalah segmen usia yang rentan terhadap keterpaparan paham keagamaan radikal. Sebagian pakar radikalisme dan terorisme menunjuk pada faktor psikologis-sosial sebagai pemicu keterlibatan anak muda dalam fenomena radikalisme seperti:

  • krisis psikologis;
  • identifikasi sosial;
  • pencarian jati diri (Siregar, 2020).

Oleh sebab itu perlu adanya pembentukan sikap seorang pelajar muslim yang cerdas dalam mengelola informasi dan menggunakan sosial media agar terhindar dari berita hoaxs dan radikalisme. Agama Islam mengajarkan pemeluknya untuk saling menghormati, harmonis, damai dan hidup sejahtera. Munculnya garis keras yang mengatasnamakan Islam dalam interaksi antar manusia dimungkinkan oleh kesalahan dalam memahami ayat dalam Alquran. (Diniaty, 2021)

Referensi

Diniaty, d. A. (2021). Penggunaan Media Sosial Dan Pemahaman Tentang Radikalisme Di Kalangan Pelajar Muslim. Jurnal Psikologi, 17, (1), 71.

Rahmat, d. D. (2019). Media Sosial Sebagai Upaya Pencegah Radikalisme. Jurnal Ilmu Komunikasi, 9 (2).

Riyadi, H. (2016). Koeksistensi Damai Dalam Masyarakat Muslim Modernis. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, 1, (18), doi:10.15575/.

Siregar, D. L. (2020). Bahaya Radikalisme Terhadap Moralitas Remaja Melalui Teknologi Informasi (Media Sosial). APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama, 20, (1).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun