Mohon tunggu...
Fitri Syayidah Elok Faiqoh
Fitri Syayidah Elok Faiqoh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wife, Mom, Writer

Be Your Self

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Laki-laki Tua

11 Oktober 2017   15:26 Diperbarui: 11 Oktober 2017   15:49 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.erabaru.net

Laki-laki tua itu sesekali mengambil nafas, mengayuh sepeda di bawahnya terik matahari dzuhur, ketika lampu merah menyala bising kendaraan sekitar memecah keheningan telinga laki-laki tua itu, sembari menunggu lampu hijau menyala, ia tengok sasuatu yang ia bonceng, berharap aman dan tidak akan terjatuh saat ia akan melaju mangayuh kencang sepeda yang sama sepertinya

Sepeda tua peninggalan dulu saat laki-laki tua itu masih muda, bermanja bercerita dengan sang bapak tercinta. Namun, lama sudah laki-laki tua itu ditinggal mati sang bapak, diantara ribuan manusia berkendara lebih mewah darinya berlomba-lomba melaju jalur yang dituju saat lampu hijau menyala

Apalah daya, ia hanya laki-laki tua yang mengayuh sepeda, kadang ia sempat tak bisa bernafas lega, polusi memenuhi nafasnya, terik matahari membalut tubuhnya dengan keringat bercucuran, kayuhan kaki yang lelah akan jarak yang tertempuh

Dunia ini keras "fikirnya" tak satupun orang menyamainya dengan kendaraan yang ia punya sekarang, teknologi sudah lebih canggih, bekerja pun harus paruh waktu demi sesuap nasi untuk anak istri

Sepeda kayuh buntut ini adalah milik laki-laki tua, setiap kenangan yang tercermin dimasa dulu sebelum bapak meninggal, bapak adalah bapak sekaligus ibu dalam rumah kayu ini

Rumah kayu yang terbangun di atas tanah orang, orang bilang kami orang miskin, orang bilang kami tidak berpendidikan, tapi kami masih punya rasa sopan santun, punya rasa menghormati antara sesama, kami juga berusaha mandiri tidak meminta sesuap nasi walaupun yang kami makan hanyalah daun-daun sawah yang bisa kami makan

Setiap hari itu-itu saja, tak pernah bosan untuk mencari dan mencari, membawa pulangpun hati sudah sangat senang dan bersyukur atas nikmat tuhan yang masih beriringan dalam hidup ini, kalaulah ada waktu laki-laki tua itu menggerong-nggorong tanah persawahan, meminta tanah untuk memberinya binatang yang banyak orang kadang jijik

"cari apa bapak" Tanya gadis yang sengaja lewat

Sambil tersenyum laki-laki tu itu menjawab "cari cacing neng"

Gadis itu pun tersenyum berjalan meninggalkan jalan yang terlewatinya, sambil berfikir untuk apa cacing? Memancing ataukah dijual ke pengepul cacing? Ah mana ada di daerah ini pengepul cacing, adanya pengepul sampah

Akankah yang orang bilang kami ini adalah orang miskin, orang yang tidak berpendidikan, kami bisa menyekolahkan anak kami? Akankah anak kami cukup menjadi seperti kita? Tuhan.. adakah keadilan bagi orang pinggiran seperti kami.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun