Lato-lato, sebuah alat permainan tradisional yang saat ini sedang viral. Terdiri dari dua buah bola kecil dari bahan keras yang disambungkan dengan seutas tali.
Cara memainkannya adalah dengan menempatkan jari kita di tengah tali penyambung dan kemudian membenturkan dua bola keras tersebut dengan cara diayun-ayunkan terlebih dahulu sehingga menghasilkan suara berisik yang khas ketika alat permainan ini sukses dimainkan.
Dan ternyata tidak hanya anak-anak yang menggemarinya, banyak juga orang dewasa yang turut memainkan alat permainan yang menurut info di sebuah acara TV, dahulunya lato-lato adalah sebuah senjata, bukan alat permainan.
Bahkan seorang anggota polisi yang menggemari lato-lato ada yang dikenai sanksi ringan karena membuat video tutorial cara memainkan lato-lato ini. Entah apa alasan sang atasan mengapa membuat video tutorial permainan ini harus dikenai sanksi?
Kehadiran permainan ini disambut cukup baik oleh berbagai kalangan, terutama orang tua yang ingin anak-anak mereka tidak terus-terusan berada di depan gadget. Ya, permainan ini dianggap bisa membuat anak-anak teralihkan dari ketergantungan mereka terhadap teknologi yang bisa berakibat buruk untuk anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.
Tetapi, seiring waktu, media-media di TV mulai memunculkan pemberitaan yang mengarah pada dampak negatif permainan ini. Informasi tentang seorang anak yang tangannya bengkak karena berbenturan dengan bola keras tersebut. Kemudian ada lagi berita tentang kepala seorang anak yang benjol besar karena tali pengikat bola kerasnya terlepas pada saat bermain dengan alat ini. Dan lain sebagainya.
Pemberitaan-pemberitaan ini tentu saja akan menggiring opini para orang tua. Dengan menggunakan kata "menimbulkan korban" pada cedera-cedera pelaku permainan ini, tentu akan membuat permainan ini dianggap berbahaya level tinggi oleh para orang tua. Sehingga nantinya mereka akan berpikir ulang untuk mengizinkan anak mereka memainkan permainan ini.
Tetapi, bukankah karakteristik permainan tradisional memang begitu, selalu melibatkan fisik dan pikiran sehingga menuntut fisik dan juga pikiran untuk berkembang agar bisa menyelesaikan permainan dan berhasil keluar menjadi pemenang.
Kita lihat saja salah satu contoh pada permainan tradisional yang lain, permainan egrang misalnya. Permainan ini adalah permainan dengan menggunakan bambu yang dibuat sedemikian rupa agar bisa dipijak oleh sepasang kaki, kemudian kita dituntut untuk bisa berdiri dan berjalan bahkan berlari dengan seimbang dengan bertumpu pada pijakan tersebut. Itu sangat membutuhkan kemampuan untuk menyeimbangkan.
Satu contoh lagi ada yang namanya gobak sodor. Sebuah permainan yang dimainkan secara berkelompok tanpa menggunakan alat apapun. Tetapi, meski tanpa alat, permainan ini menuntut anak-anak kita menjadi lincah, tangkas dan kuat seperti slogan pada sebuah iklan susu anak. Pada permainan ini satu kelompok harus bisa lolos dari sergapan kelompok lain untuk bisa memasuki wilayah yang dijaga tersebut.