Menggantikan sifat malas dengan wajah memelas bisa menghasilkan, lo! Yaitu dengan memanfaatkan orang-orang baik yang nggak tegaan. Orang baik memang sangat mudah untuk di manipulasi, karena mereka biasanya sangat gampang terenyuh dan tersentuh setiap melihat wajah yang di seting sememelas mungkin, terlebih lagi jika ditambah dengan tampilan dibuat lusuh sehingga mencitrakan seolah penderitaan tak pernah mau pergi dari hidup mereka. Maka tak jarang, tipe-tipe orang seperti ini selalu dijadikan "ATM berjalan" untuk dikeruk isinya oleh para manipulator tadi.
Apakah jika ada orang yang tidak mau berbagi, tidak mudah tersentuh dan tidak terenyuh oleh panampilan maupun suatu kejadian yang menuntut empati bukan merupakan orang baik? Gak gitu juga, sih. Karena sebenarnya konsep berbagi atau sedekah tidak bisa kita terapkan hanya dengan melihat dari outfit-nya yang terlihat miskin saja, tetapi kita juga harus memilah mana yang memang terlihat membutuhkan dan mana yang terlihat meminta-minta untuk dijadikan sebuah profesi. Jika seseorang sudah menjadikan mengemis sebagai profesi, maka saya lebih memilih untuk tidak memberi se-menyedihkan apapun kelihatannya. Setidaknya itulah prinsip saya. Ini bukan sebuah alasan pembenaran untuk tidak memberi, tetapi lebih pada ke-tepat sasaran pada siapa kita berbagi.
Maaf, koreksi saya jika salah. Yang saya tahu, mengemis adalah perbuatan yang boleh dilakukan, tetapi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Syaratnya adalah si orang yang mengemis berada dalam kondisi darurat, ketika kondisi daruratnya sudah gugur, maka orang tersebut harus kembali melakukan atau mencari pekerjaan untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya dengan tidak meminta-minta. Maka kesimpulannya, silahkan mengemis tetapi tidak untuk dijadikan profesi, melainkan hanya ketika ada pada kondisi di mana jika kita tidak memenuhi kondisi tersebut maka kondisi kita sangat rentan.
Tetapi, semua syarat dan ketentuan yang berlaku seakan tidak lagi berlaku. Perhatikan saja bagaimana banyak sekali di jalanan, lampu merah, bus kota, emperan toko, dan tempat-tempat lain yang mereka anggap sangat strategis untuk melancarkan aksi, mereka semua hadir ada di sana. Kebanyakan dari apa yang mereka lakukan itu adalah sebuah kamuflase dari mampu membuat diri mereka jadi terlihat tidak mampu. Tak jarang mereka melakukan kebohongan-kebohongan dengan berpura-pura cacat agar dapat meyakinkan orang-orang supaya mau memberi. Seiring dengan bagusnya potensi di bisnis ini, maka pelaku-pelaku yang menjalani bisnis ini juga semakin marak karena sangat potensial untuk mendulang rupiah demi rupiah tanpa dituntut terlalu lelah, hanya modal berani malu saja.
Dan ketika jumlah mereka semakin banyak, kompetitor pun semakin merajalela, maka hukum ekonomi pun berlaku, harus ada inovasi-inovasi agar mereka bisa bertahan dalam persaingan bisnis ini. Misalnya dengan menyaru sebagai pengamen dengan modal kemampuan dan alat musik seadanya. Tetapi yang mereka jual bukan suara, melainkan rasa iba. Pernah saya temui di bus seorang pengamen yang, maaf, Â tunawicara alias bisu membawa gitar kecil usang.
Entah training motivasi seperti apa yang sudah diikuti oleh pengamen tersebut sampai-sampai dia berani menjual suara dia tidak miliki disertai permainan gitar yang tidak paham dengan kuncinya, hanya asal genjreng saja. Kemudian anak kecil yang berkamuflase sebagai pedagang cobek yang di pikul, mereka berharap ada yang terjerat oleh rasa iba yang mereka tebar sehingga ada yang tidak tega kemudian membeli jualannya. Atau emak-emak yang berjualan sapu lidi sambil menggendong anak kecil tanpa baju, mereka tidak menjual sapu lidi, melainkan berharap dikasihani dengan mengatakan bahwa sedang cari uang untuk membeli susu anak.
Sering sekali kita temui kasus-kasus mereka yang berprofesi sebagai pengemis justru jauh lebih berduit ketimbang yang memberi. Salah satunya adalah pengemis bernama Suwadi, pria asal Mojokerto ini viral di tahun 2015 silam karena ketika terkena razia dan ditanya penghasilannya, dia memberi keterangan bahwa pendapatanya adalah 15 juta dalam sebulan. What! itu melampaui UMR Jakarta dan dia tak harus berlelah-lelah bekerja di pabrik atau sejenisnya. Rata-rata sehari penghasilan Suwadi adalah 300 ribu sampai 500 ribu. Dan yang bikin kaget lagi ketika rumahnya ditelusuri oleh Dinas Sosial Sidoarjo, Suwadi tinggal di rumah yang jauh lebih bagus daripada rumah tetangganya. Percayalah, banyak sekali Suwardi yang lain yang kita tidak sadari.
Ini adalah sebuah masalah sosial. Masalah yang sebenarnya sudah ada solusi dari pemerintah dengan memberikan pembinaan-pembinaan, tetapi mendapat uang dengan cara mudah selalu membuat mereka melakukan kembali. Apakah mereka mengganggu? Bagi saya tegas saya katakan sangat mengganggu. Karena keberadaan mereka membuat setiap fasilitas umum jadi tidak terasa nyaman.
Oleh karena itu, salah satu solusi yang bisa diterapkan untuk  masalah ini sepertinya penertiban dan pembinaan saja tidaklah cukup, harus ada kesadaran dari masyarakat pengguna fasilitas umum yang lain untuk tidak memberikan mereka kemudahan-kemudahan dalam upayanya mencari uang. Karena segala sesuatunya kembali pada hukum sebab dan akibat. Mereka tidak akan hadir jika tidak ada lagi yang memberi mereka rupiah-rupiah tersebut. Sama halnya dengan hukum dagang, jika suatu produk tak ada yang membeli, maka produk tersebut lama-lama akan menghilang dengan sendirinya di pasaran.
Tulisan ini pernah tayang di web cangkeman pada tanggal 12 July 2022 ditulis oleh Latatu Nandemar