Mohon tunggu...
Elna Lalita
Elna Lalita Mohon Tunggu... Ibu anak satu -

Ibu anak satu. Doyan ngemall, makan, nyanyi, dan menari.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Berkawan dengan Pajak

13 Juni 2012   10:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:02 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi sebagian besar orang, terutama bagi mayoritas mereka yang sudah berpenghasilan, pajak merupakan momok yang dengan siaga dihindari. Bagaimana tidak. Pajak merupakan ‘bonus’ biaya beban kehidupan mereka. Dengan seenaknya, pemerintah memotong penghasilan mereka dalam jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit dibanding dengan kerja keras mereka untuk memperoleh penghasilan tersebut. Berbagai modus penggelapan dan upaya penghindaran pajak makin banyak dan beragam saat ini. Ditambah dengan insiden pajak ‘Gayus Tambunan’, semakin besar pula argumen dan keraguan dalam membayar pajak.

Sebagai generasi penerus Indonesia selanjutnya, merupakan tonggak pergerakan bangsa Indonesia untuk meraih cita-citanya. Ada berbagai pilihan jalan yang dapat kita pilih untuk dapat melaksanakan hal itu. Namun apapun jalannya, ada satu kesamaan yang mengikat kita : Pajak. Sebagai calon Subjek Pajak Indonesia beberapa tahun ke depan, alangkah baiknya bila kita mengenal terlebih dahulu calon ‘teman’ kita di masa depan ini.

Pertama, mari kita sekilas meninjau asal mula dan sejarah pajak di Indonesia.

Sistem perpajakan sebenarnya sudah dianut Indonesia sejak zaman kerajaan-kerajaan dahulu. Pada waktu itu, rakyat wajib membayarkan pajak kepada pemerintahnya. Pajak tersebut lebih umum disebut dengan istilah upeti. Atas panen mereka, rakyat wajib menyetorkan sedikit hasil mereka kepada raja sebagai bentuk rasa terima kasih atas perlindungan dan segala yang telah diberikan raja kepada mereka. Pada zaman tersebut, rakyat menerima dan memenuhi kewajiban mereka dalam perpajakan dengan tulus karena mereka merasakan apa yang telah raja lakukan untuk mereka secara langsung.

Kemudian dimulailah zaman penjajahan. Pada zaman tersebut, pajak juga diberlakukan di Indonesia dengan istilah yang berbeda pula. Yang sangat membedakan dengan masa lalu adalah, bila pada zaman sebelumnya rakyat membayar pajak karena suatu keharusan yang dilandasi kesadaran, pada zaman ini pemungutan pajak lebih beraspek pada keharusan yang dipaksakan, istilah hiperbolisnya - pemerasan. Baik dari cara perolehan pajak, hingga alokasi pajak yang hampir tidak dirasakan oleh rakyat Indonesia. Pada zaman ini pula, muncul berbagai macam pajak seperti misal Pajak Tanah yang dicetuskan oleh Letnan Jendral Raffles. Mungkin mulai saat ini lah mulai tumbuh bibit kebimbangan dalam jiwa bangsa Indonesia dalam pembayaran pajak.

Lalu, apa definisi pajak untuk saat ini?

“There are only two certainties in life: Death and taxes.” - Benjamin Franklin

Menurut Pasal 1 ayat 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah "Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Pajak merupakan sebuah hal pasti yang pasti dilalui oleh manusia yang beradab. Pajak ada dalam setiap aspek kehidupan kita, sejak pertama kali kita dilahirkan hingga kita meninggal. Pajak sendiri merupakan sumber penghasilan terbesar suatu negara. Apa fungsi penghasilan negara tersebut tidak jauh berbeda dengan fungsi penghasilan kita sehari-hari: Untuk memenuhi berbagai kehidupan, baik primer, sekunder, maupun tersier. Seperti halnya bila kita tidak memiliki uang untuk bertahan hidup, suatu negara pun dapat kewalahan bila penghasilan yang ia terima tidak sesuai dengan yang ia butuhkan. Pajak memiliki berbagai fungsi yang vital dalam kehidupan masyarakat. Selain sebagai sumber kas pemerintah, pajak merupakan suatu sarana pemerintah untuk mengontrol inflasi di suatu negara. Dapat dibayangkan bila tingkat inflasi negara terlalu tinggi dan krisis ekonomi berkepanjangan terjadi. Akan ada banyak kericuhan dan ketegangan dalam masyarakat. Sebaliknya bila inflasi terlalu rendah tanpa adanya stimulus, roda perdagangan akan melambat dan krisis ekonomi pun akan terjadi kembali.

Bila kita perhatikan dari definisi pajak di atas, maka kita telah dapat menjawab argumen keengganan Subjek Pajak untuk membayar pajak dikarenakan mereka tidak merasakan hasil dari pajak yang mereka bayarkan. Pembayar pajak tidak akan mendapat timbal balik secara langsung, atau dengan kata lain secara tidak langsung. Pajak yang terkumpul di seluruh negeri, dikumpulkan menjadi satu yang untuk kemudian didistribusikan untuk pembangunan negeri ini. Seadil dan serata mungkin. Karena harus diakui bahwa ketimpangan sosial di Indonesia masih belum bisa tergolong rendah. Dengan pajak, pulau Jawa sebagai pulau dengan kontributor pajak terbesar di Indonesia dapat membagikan hasil mereka ke pulau Papua yang mungkin penghasilan dan pembangunan mereka belum seberapa. Dan bila kita menengok hal-hal kecil yang ada di sekitar kita, kita dapat melihat betapa banyaknya hasil pajak yang tidak kita sadari: Lampu di jalan raya, kabel-kabel listrik, jalan tol, dan sebagainya.

Betapa besarnya konstribusi pajak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan saya yakin, sebagai manusia modern, tanpa artikel kecil inipun pasti kita semua telah mengerti dan memiliki kesadaran yang baik dalam pembayaran pajak tanpa harus diganggu oleh insiden ‘Karena nila setitik, rusak susu sebelanga’ ala ‘Gayus Tambunan’. Yang harus kita basmi adalah koruptornya, bukan pajaknya.

Jadi, kawan-kawan generasi penerus, siap mencintai pajak?

ELNA LALITA
Mahasiswa Prodip III Spesialisasi Pajak
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun