Mohon tunggu...
Elnado Legowo
Elnado Legowo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Kata-kata memiliki kekuatan untuk mengesankan pikiran tanpa menyempurnakan ketakutan dari kenyataan mereka. - Edgar Allan Poe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perumahan di Tanah Terkutuk - Part 2: Sejarah Berdarah yang Terlupakan

15 September 2022   11:15 Diperbarui: 15 September 2022   11:24 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: YouTube Manggala Migi

(Klik ini untuk lihat part sebelumnya.)

Harus kuakui, bahwa pemandangan di Perumahan Lili sangat tidak sehat dan mengintimidasi saat malam. Sangat hening dan juga dingin akan hawa mau hujan. Pohon-pohon bengkok beserta tumbuhan-tumbuhan liar dan lebat, makin menambah impresi tidak bersahabat sekaligus membutakan.
 
Bahkan senter yang kami bawa masih kurang membantu mata kami. Tampaknya senter bercahaya 10.000 hingga 50.000 lumens sangat dibutuhkan, tapi tentu itu akan sangat menarik perhatian. Ditambah lagi dengan pemandangan dari rumah-rumah yang bobrok, kian memberi kesan apokaliptik yang mengerikan.
 
Di tengah penelusuran yang menegangkan itu, seketika terdengar suara pria yang menegur kami. Sontak kami terkejut dan mengarahkan cahaya senter ke asal suara. Lantas kami melihat seorang pria paruh baya; berambut perak yang panjang terikat; serta berkacamata bundar.
 
"Ngapain kalian di sini?" tanya pria itu dengan nada tidak ramah, "Tidak seharusnya kalian ada di tempat ini!"
 
Lantas Pak RT membalas pria itu;
 
"Maaf... Kedatangan kami di sini untuk mengejar pelaku penculikan anak-anak, yang barusan terjadi di perumahan kami. Sekaligus mencari dua orang warga yang hilang dari kemarin."
 
"Oh... Jadi begitu ya?" jawabnya, "Baik! Aku akan bantu kalian, tapi kalian harus dengar baik kata-kataku. Kalau tidak, kalian tidak akan selamat!"
 
Kami terkesiap saat mendengar kalimat itu. Banyak dari kami yang melempar pertanyaan gemetar dan risi ke pria tersebut. Sampai akhirnya Pak RT bertanya dengan nada yang konfrontasi;
 
"Kenapa kami harus mengikuti kata-katamu? Siapa kamu? Dan sedang apa juga kamu di sini?"
 
Lantas pria itu tertawa kecil dan membalas;
 
"Aku adalah Kapoer. Mantan penghuni Perumahan Lili. Dan kedatanganku di sini adalah untuk membalas kematian istri beserta anakku! Aku sudah mempelajari sejarah dari perumahan ini, dan kini aku paham bahwa yang akan kita hadapi ini, bukanlah suatu yang remeh. Melainkan sangat berbahaya!"
 
Kemudian Kapoer membuka cerita gelap dan berdarah tentang latar belakang Perumahan Lili, yang terlupakan kepada kami.
 
****
 
Dulu wilayah Serpong hanyalah sebuah daerah hutan karet yang luas, dan diisi oleh beberapa desa yang tidak padat. Namun pada tahun 1890, ada seorang saudagar Belanda bernama Diederik van Dijk, yang berambisi menguasai daerah tersebut untuk dikelola menjadi perkebunan karet atas nama keluarganya. Sebab pada masa itu, karet menjadi salah satu komoditas yang paling dicari dan memiliki nilai jual yang tinggi.
 
Diederik van Dijk adalah saudagar Belanda yang dikenal arogan, kikir, tamak, dan licik. Alhasil dia sangat dibenci oleh kaum bumiputra maupun sesama orang Belanda lainnya. Selain itu, dia adalah salah satu orang Belanda yang membenci sebuah novel roman, yang menggambarkan nasib buruk rakyat bumiputra yang terjajah, berjudul "Max Havelaar" karya Multatuli -- nama pena dari Eduard Douwes Dekker -- dengan menghujatnya sebagai buku bodoh dan menyesatkan. Diederik van Dijk memiliki keluarga yang berisikan dua anak kecil -- putra sulung dan putri bungsu -- beserta seorang istri yang cantik. Mereka semua adalah orang berdarah asli Belanda. Mereka semua berambut pirang dan memiliki mata yang berwarna biru langit.
 
Awalnya Diederik ingin membeli hutan karet, sekaligus mempekerjakan para penduduk lokal sebagai pekebun. Tetapi tidak semua penduduk lokal -- dari beberapa desa -- mau menerimanya. Bagi yang menolak; mereka beralasan bahwa hutan tersebut adalah milik leluhur mereka, sehingga tidak boleh diberikan begitu saja ke orang lain.
 
Berbagai upaya negosiasi telah dilakukan oleh Diederik, tapi semuanya tidak membuahkan hasil. Akhirnya dia memilih jalur kekerasan, demi mengusir para penduduk lokal yang menolak bekerja sama. Lantas Diederik mengerahkan para pendekar bayaran -- atau sering disebut preman -- sekaligus polisi-polisi militer yang korup.
 
Akhirnya penggusuran beserta pembantaian besar-besaran terhadap penduduk lokal terjadi selama seminggu di sana. Salah satu desa yang terkena dampak dari aksi berdarah tersebut, tidak lain adalah sebuah desa yang berada di tepi paling belakang hutan karet. Desa tersebut memiliki penduduk yang mayoritas adalah penganut ilmu gaib, dan sering disebut sebagai Untul Angkarama, atau penyembah Raja Hijau.
 
Desa Untul Angakarama itu berhasil dibumihanguskan, dan hampir semua penduduknya terbunuh. Sedangkan yang berhasil selamat, mereka memilih lari ke daerah tetangga yang jauh dari lokasi pembantaian. Salah satu yang ikut jadi korban adalah seorang tokoh desa. Di sisa nafas terakhirnya; si tokoh desa mengutuk Diederik bersama keluarganya, dan tanah yang mereka rampas dari Desa Untul Angkarama tidak akan pernah bisa dihuni oleh siapapun.
 
Sehabis peristiwa itu, Keluarga Diederik berhasil menguasai hutan karet bersama para penduduknya -- yang menerima tawaran atau memohon belas kasihan -- secara utuh. Lalu Diederik juga mengubah hutan itu menjadi perkebunan. Bahkan Keluarga Diederik juga membangun sebuah rumah besar di atas tanah Desa Untul Angkarama, karena lokasinya yang sejuk serta memiliki panorama yang molek. Meski dia mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak atas aksinya, tapi Diederik berhasil lolos dari tuntutan hukum berkat koneksinya dengan Openbaar Ministerie atau Kejaksaan di era Belanda.
 
Tanda-tanda dari kengerian mulai terjadi, setelah setahun mereka tinggal di atas tanah tersebut. Putri bungsu Diederik yang masih berusia 12 tahun, sering bermimpi buruk yang membuatnya mengigau rancu. Awalnya mereka hanya menganggap itu sebagai perihal yang alami. Namun itu terus terjadi setiap malam, dan kian hari makin buruk. Bahkan mimpi buruk itu tidak hanya menyerang putri Diederik; tapi juga ke putra sulungnya, lalu ke istrinya, hingga ke Diederik itu sendiri.
 
Isi dari mimpi mereka serupa. Mereka mimpi berada di tengah-tengah ritual satanisme; dikelilingi oleh para penduduk lokal yang mereka bantai; dan semua penduduk lokal itu berpenampilan rusak menakutkan serta berlumuran darah. Para penduduk lokal itu melontarkan kalimat yang tidak mereka pahami, tapi mereka tahu bahwa itu semacam mantra.
 
Beberapa upaya penyembuhan telah ditempuh. Mulai dari memanggil dokter, psikiater, pemuka agama, hingga ahli spiritual lokal. Tetapi semuanya tidak berbuah manis. Alih-alih membaik; mereka malah memburuk; baik secara fisik maupun mental.
 
Fisik mereka mengalami distorsi yang mengarah ke wujud yang lebih menakutkan dan sulit dianalisis oleh kata-kata. Secara mental mereka mengalami penyusutan dramatis. Bahkan naluri manusia mereka makin pudar, dan berganti dengan naluri hewan. Mereka sangat tempramental, sering mengigau, dan gemar memakan daging mentah.
 
Itu semua berlangsung selama delapan bulan, sampai akhirnya terjadi peristiwa mengerikan di perkebunan karet milik Keluarga Diederik. Di mana semua pekerja -- baik itu pekebun, pelayan, hingga penjaga -- ditemukan mati dan berserakan di perkebunan karet, termasuk di dalam maupun sekitar rumah Keluarga Diederik. Semua jasad mereka dalam keadaan hancur akibat dikunyah, dicakar, dan dicungkil. Sedangkan seluruh Keluarga Diederik menghilang tanpa jejak.
 
Pihak kepolisian segera diturunkan untuk menginvestigasi pembunuhan itu, termasuk mencari keberadaan Keluarga Diederik yang menjadi tersangka utama. Tetapi pada akhirnya, mereka menempuh jalan buntu. Lalu pihak kepolisian memilih untuk mengambil kesimpulan malas dan aman; bahwa pembunuhan ini disebabkan oleh serangan hewan buas, yang pada masa itu masih berkeliaran di tempat tersebut.
 
Bagi publik yang kritis, mereka tidak langsung mempercayainya. Lantas banyak pihak yang membentuk tim independen untuk menyelidiki kasus tersebut. Namun tidak sedikit dari mereka yang menghilang selama proses penyelidikan. Alhasil banyak pihak -- terutama para penduduk sekitar -- yang mulai menyangkutpautkan dengan perihal mistik.
 
Lantas mereka menjauhi dan melarang siapapun untuk datang ke wilayah itu, sehingga tidak ada satupun orang yang berani membangun pemukiman di sana. Jika ada; maka mereka akan mengambil jarak yang jauh dari hutan karet milik Keluarga Diederik. Akhirnya perkebunan Keluarga Diederik jadi terbengkalai begitu saja, dan diselimuti oleh banyak misteri, cerita seram, serta kegilaan yang sulit diimajinasikan.
 
Akan tetapi, semuanya memudar seiring berjalannya waktu. Saat perang kemerdekaan Indonesia, banyak orang yang mulai melupakan kengerian di perkebunan karet milik Keluarga Diederik. Walaupun begitu, mereka masih terlalu takut untuk mendatangi wilayah tersebut.
 
Setelah Indonesia merdeka; pembangunan rumah, infrastruktur, dan pembangunan lainnya mulai dilakukan secara masif. Sampai-sampai pada 15 tahun yang lalu -- akibat ketidaktahuan, minim riset, dan terkuburnya sejarah tersebut -- pengembang ingin memperluas pembangunan perumahan, dan secara tidak langsung mereka melakukannya di atas tanah Desa Untul Angkarama.
 
Walhasil teror dan mimpi buruk kembali bangkit, menghantui dan meneror para penghuni baru di atas tanah tersebut. Namun nahas, kengerian itu telah memakan banyak korban, dan di antaranya adalah anak beserta istri dari Kapoer.
 
Bahkan Kapoer juga ikut menyaksikan, sewaktu sosok bayangan putih sedang mengunyah wajah hingga leher istrinya, dan mencengkram sekaligus mencakar tubuh anaknya dengan kuku-kuku yang tajam. Itu adalah ingatan terburuk yang membekas dan terus menyiksa batinnya selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, Kapoer bersumpah untuk membalas kematian istri dan anaknya.
 
****
 
Kapoer menutup ceritanya dengan penuh emosional. Semua orang yang mendengarnya hanya terdiam cengang. Tetapi, karena masih ada keraguan di dalam pikiranku, lantas aku menanyakan sumber informasi dari sejarah kelam tersebut.
 
Kemudian Kapoer menjelaskan bahwa semua dia dapatkan dari sebuah buku harian tua. Buku itu dia temukan di balik balok-balok kayu lantai kamar, yang ada di loteng rumah tua milik Keluarga Diederik, yang masih berdiri hingga saat ini dan berada tersembunyi di tepi ujung Perumahan Lili.  Kapoer menemukan buku harian itu, saat dia sedang menyelidiki pelaku pembunuh keluarganya beberapa tahun yang lalu. Apabila berdasarkan analisanya, buku itu ditulis oleh seorang pelayan rumah Keluarga Diederik, dengan memakai Bahasa Belanda.
 
Sedangkan untuk peristiwa pembunuhan para pekerja Keluarga Diederik; itu Kapoer dapatkan dari koran maupun laporan kepolisian zaman Belanda, yang kini tersimpan di Lembaga Kearsipan Nasional. Sebab di buku harian itu tidak menceritakan peristiwa pembantaian tersebut, karena -- diduga kuat -- si penulis ikut terbunuh saat kejadian berlangsung.
 
Kami kembali terkejut dan bingung, saat mendengar keberadaan rumah Keluarga Diederik di dalam Perumahan Lili. Sampai-sampai Pak RT kembali bertanya demi meyakinkan apa yang dia dengar. Lantas Kapoer menjawab dengan tegas, bahwa memang benar ada. Menurut Kapoer, rumah itu masih berdiri karena pihak pengembang sengaja tidak meratakannya. Tetapi untuk alasannya masih tidak jelas dan terkesan disembunyikan, sehingga melahirkan berbagai macam asumsi.
 
Ada yang mengira karena masalah perizinan. Sebab rumah Keluarga Diederik adalah rumah antik dan merupakan warisan sejarah dari peninggalan Belanda yang harus dilestarikan. Tetapi ada juga yang mengira, karena banyak pekerja yang diganggu sampai dicelakai oleh bayangan-bayangan putih. Entah mana yang benar, tapi Kapoer lebih mempercayai asumsi kedua.
 
Bagi Kapoer, bayangan-bayangan putih itu suka berkeliaran di rumah Keluarga Diederik untuk mengamati, mengintai, dan berburu makhluk hidup yang masuk ke wilayahnya, di waktu-waktu tertentu. Tetapi setelah itu, mereka akan kembali ke sarangnya yang tersembunyi. Pemikiran itu diperkuat, karena rumah itu sudah beberapa kali didatangi dan diperiksa -- baik itu oleh warga, polisi, hingga Kapoer sendiri -- tapi mereka tidak menemukan apa-apa. Namun karena makin sedikit makhluk hidup yang masuk dan ada di sana; entah itu hewan-hewan liar, para tunawisma yang menumpang hidup, ataupun para begundal yang bersembunyi; akhirnya memaksa mereka untuk keluar berburu ke daerah sekitar, termasuk ke perumahan kami yang jaraknya sangat dekat.
 
Selepas dari penjelasan dan ceritanya yang panjang lebar, Kapoer meminta kami agar memprioritaskan penyelamatan anak-anak yang diculik oleh bayangan putih. Dia meyakini bahwa kedua warga itu -- Adang dan Bagyo -- sudah dibunuh, karena mereka telah hilang dari kemarin. Sedangkan nasib dari anak-anak itu masih ada peluang selamat meski makin menipis tiap waktunya, karena kejadiannya baru saja terjadi. Kapoer juga mengaku bahwa dia tahu di mana mereka -- anak-anak itu -- berada, dan meminta kami cukup mengikutinya saja.
 
Sontak kami terdiam sejenak, dan saling menatap ragu satu sama lain. Perihal ini menciptakan suasana yang canggung, sehingga membuatku kembali bertanya ke Kapoer;
 
"Jika kamu mengetahui itu, kenapa kamu tidak melaporkannya ke polisi?"
 
"Aku sudah beberapa kali melaporkannya ke polisi. Namun mereka mencarinya di tempat yang salah, sehingga mereka tidak menemukan apa-apa. Aku juga sudah menjelaskannya ke mereka, tapi mereka tidak mau mendengar dan malah menertawakanku." jawabnya.
 
"Kalau begitu... Kenapa kamu tidak coba mengalahkannya langsung?" balasku.
 
Tiba-tiba Kapoer menatap tajam ke arahku dan menjawab;
 
"Apakah kamu tidak menyimak kata-kataku tadi? Sosok yang akan kamu dan sesamamu hadapi itu adalah sosok yang sangat berbahaya dan berjumlah banyak! Hanya orang bodoh dan gila yang mau menghadapinya sendirian tanpa persiapan matang!"
 
Keadaan semakin memerangahkan, namun Kapoer kembali mengingatkan kami untuk mengesampingkan semua pikiran negatif dan rasa ingin tahu lebih dalam. Karena itu hanya menunda proses penyelamatan. Kami yang masih ragu, hanya menatap Pak RT. Lalu Pak RT memberi isyarat, bahwa kami harus mengikuti Kapoer.
 
Akhirnya kami segera melakukan apa yang Kapoer katakan. Walaupun kami semua masih menaruh curiga dan keraguan terhadapnya; seolah dia memiliki niat terselubung yang buruk. Walakin, untuk saat ini kami tidak punya pilihan lain, selain percaya dan mengikutinya.
 
Sebelum kami melanjutkan penelusuran, Kapoer meminta kami untuk mengambil benda-benda yang sekiranya bisa dijadikan senjata, demi melindungi diri maupun menyerang. Kapoer beralasan bahwa untuk mengalahkan para bayangan putih itu, jelas membutuhkan senjata; bukan dengan tangan kosong.
 
Alhasil para warga mulai berpencar dan mengambil benda-benda yang mereka anggap bisa dijadikan senjata. Rata-rata mereka mengambil balok kayu sisa reruntuhan rumah. Sedangkan aku tidak ikut pergi mencari benda-benda itu, karena aku sudah mengantongi sebuah pisau lipat mini di dalam saku celanaku, dan selalu kubawa ke manapun aku pergi.
 
Di sisa waktu itu, aku menyempatkan diri bertanya ke Kapoer -- yang sedari tadi hanya diam menunggu para warga -- apakah dia sudah memiliki senjata. Lantas Kapoer mengiyakan, dan menunjukkan sebuah pisau belati yang terikat aman di sabuk celana dan aman tersembunyi. Aku bergidik saat melihat senjata itu, tapi Kapoer menenangkanku bahwa dia tidak akan memakainya untuk melukai orang lain.
 
Lalu para warga mulai kembali dengan senjatanya masing-masing. Alhasil kami mulai melanjutkan pencarian, dan melaju mengikuti arah Kapoer pergi.
 
Bersambung ke Part 3.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun