Ingatlah bahwa setiap tempat pasti memiliki rahasia, sejarah, atau kisah tersendiri. Tidak peduli apakah itu perumahan atau perkantoran; pedesaan atau perkotaan; kawasan proletar atau elit. Semua pasti memilikinya. Entah itu kisah tragis; dramatis; hingga horor. Salah satunya adalah sebuah kisah sosok perempuan merah penghuni sebuah kantor yang berada di Jalan Sudirman.
Â
Tidak begitu jelas identitas dari perempuan merah itu. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah hantu; ada juga yang mengatakan bahwa dia adalah entitas dari iblis; tapi bagi yang menyangkalnya menganggap bahwa dia adalah manusia biasa yang usil atau memiliki niat jahat. Gambaran fisiknya juga tidak begitu detail, selain digambarkan sebagai sosok perempuan yang memakai pakaian serba merah. Tidak ada informasi lebih daripada itu. Karena sebagian besar orang yang pernah berjumpa dengannya, mereka akan hilang secara misterius, sehingga memunculkan teori bahwa perempuan itu gemar menculik pekerja kantor yang lembur untuk dibawa ke alamnya.
Â
Asal-usulnya juga tidak valid dan berselit-selit. Ada yang mengatakan bahwa perempuan itu adalah arwah dari mantan karyawati yang bunuh diri, tapi ada juga yang mengatakan bahwa dia adalah iblis kuno penunggu tanah gedung. Entah mana yang benar, tapi cerita-cerita dari eksistensi perempuan merah itu sudah mengakar, sehingga menjadi sebuah legenda di kantor itu. Lebih-lebih perempuan itu masih aktif dan meneror para pekerja yang sedang lembur di sana, sehingga menciptakan kengerian dan rasa enggan saat mendapat jatah lembur.
Â
Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini. Entah melalui investigasi polisi, maupun paranormal. Tetapi semuanya tidak ada yang membuahkan hasil. Tampaknya tidak ada yang tahu pasti cara untuk mengusir atau mengalahkan perempuan merah tersebut, selain menghindari kerja lembur demi tidak berjumpa dengannya.
Â
****
Â
Kisah perempuan merah mulai gempar, sejak sebuah kejadian yang terjadi di bulan Juni tahun 2016. Tatkala ada seorang perempuan berusia muda yang baru saja diterima kerja sebagai karyawati, di sebuah kantor yang terletak di Jalan Sudirman, bernama Jeje. Baginya itu seperti sebuah mimpi, di mana dia dapat bekerja di sebuah kantor yang berada di kawasan elit Jakarta. Apalagi bekerja di sebuah bangunan pencakar langit modern dan megah, sehingga dapat memberikan kesan positif untuknya. Terlebih lagi ruang kerja Jeje berada di lantai 12, dengan meja kerja yang terletak di dekat jendela besar ruangan, sehingga dia dapat melihat dan menikmati lanskap indah Kota Jakarta.
Â
Di hari-hari awal kerja, semua berjalan dengan normal. Jeje berkenalan dan beradaptasi dengan lingkungan kerjanya. Berkat sifat Jeje yang rendah diri dan mudah bergaul, dia dapat berbaur dengan para pekerja lainnya, sekaligus mendapat teman-teman baru. Bahkan Jeje juga dapat mengenal karakter dari para pekerja di sana. Menurutnya, meski mereka semua adalah orang yang terpelajar, tapi mereka sering membicarakan topik supernatural atau perihal di luar logika sehat. Topik yang paling sering mereka bicarakan adalah sosok perempuan merah penghuni kantor.
Â
Jeje tampak acuh tidak acuh terhadap topik tersebut. Sebab Jeje adalah orang yang berpikiran alamiah. Meskipun begitu, dia masih dapat merasakan sensasi kengerian dari cerita tersebut, sehingga membuat dirinya selalu bergidik setiap kali mendengarkannya. Hingga pada satu malam telah mengubah segala-galanya.
Â
Setelah dua minggu Jeje diterima kerja, secara mendadak dia mendapat tugas untuk menyelesaikan laporan bulanan, yang akan menjadi bahan rapat antar perusahaan pada keesokan harinya. Laporan itu sangat banyak dan harus selesai pada hari itu juga, sehingga tidak memberikan pilihan selain kerja lembur.
Â
****
Â
Malam itu terasa sangat berbeda. Meski ada jendela besar yang memperlihatkan keindahan Kota Jakarta di malam hari; bangunan-bangunan pencakar langit yang berdiri gagah dan menghiasi tiap sudut kota; lampu-lampu jalan dan gedung yang bervariasi dan indah; tapi itu semua tidak dapat mengobati atmosfer ruang kerja yang terasa kurang bersahabat di malam hari.
Â
Di sana tampak Jeje yang sedang sibuk menatap layar komputer. Dia tidak sendirian, karena juga terdapat beberapa pekerja lainnya yang ikut lembur. Jumlah mereka tidak banyak - tidak lebih dari lima orang - dan jaraknya juga berjauhan dengan Jeje. Semuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sehingga tidak ada interaksi di antara mereka. Jeje hanya mengetahui keberadaan mereka dari suara keyboard dan mouse yang berbunyi lantang dan intensif.
Â
Hingga pada satu waktu, seketika tercium bau bunga melati yang muncul secara misterius. Bau itu sangat menyengat dan mengganggu konsentrasi Jeje, sehingga dengan spontan dia menanyakan fenomena tersebut ke pekerja lainnya. Namun tidak ada respon, selain suara keyboard dan mouse yang masih sekar. Karena tidak ada yang menghiraukan, maka Jeje lekas melihat ke sekelilingnya. Lantas dia sangat terkejut; tidak ada orang di ruang kerjanya; kondisi ruangan terlihat sedikit gelap karena sebagian lampu telah dipadamkan. Tampaknya semua pekerja telah pulang, sehingga tiap meja kerja terlihat hampa dan bersih, sekaligus tidak ada tanda-tanda aktivitas yang masih berlangsung.
Â
Suara keyboard dan mouse juga ikut hilang secara gaib, saat mata Jeje menangkap keadaan di sekelilingnya. Sedangkan bau bunga melati masih tercium. Jeje bergidik ngeri saat mengalami kejadian tersebut. Walaupun begitu, dia masih berusaha mengendalikan pikirannya dengan hal-hal positif, demi mencegah serangan panik di batinnya. Apalagi pekerjaanya masih belum selesai, sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam.
Â
Lalu Jeje lekas menyelesaikan sisa pekerjaannya, agar dia bisa cepat pulang dan tidak mengecewakan atasannya. Sampai beberapa waktu kemudian, seketika terdengar suara kursi gerak yang datang dari arah kiri Jeje. Sontak Jeje terkejut dan segera melihat ke asal suara. Tetapi dia tidak menemukan apa-apa, selain sebuah kursi kantor yang tampak terdorong menjauh dari meja kerja. Perihal itu makin membuat dirinya merasa tidak nyaman dan ngeri. Meskipun begitu, dia masih dapat mengendalikan diri dan beranggapan bahwa itu hanyalah ulah angin.
Â
Arkian, Jeje kembali memalingkan pandangannya ke layar komputer, dan seketika dia mendapati seorang perempuan yang sedang berdiri di balik meja kerjanya. Jeje menjerit histeris saat melihat kehadiran perempuan tersebut, meski pada akhirnya dia kembali tenang setelah mengenalnya sebagai salah seorang teman kerja.
Â
"Puspita?" ujar Jeje, "Kamu belum pulang?"
Â
"Belum." jawabnya, "Aku baru aja kelar."
Â
"Kalau begitu, boleh tidak temenin aku?" tanya Jeje, "Aku takut sendirian di sini."
Â
"Oh, boleh. Boleh." jawab Puspita.
Â
Lalu Puspita segera berpindah tempat dan duduk di sebuah kursi kantor yang ada di samping kanan Jeje. Alhasil rasa kengerian kini telah memudar. Seakan kehadiran dari Puspita telah memberi keberanian penuh pada batin Jeje, sehingga aktivitas kembali berjalan dengan penuh gairah.
Â
****
Â
Satu jam kemudian, Jeje berhasil menyelesaikan seluruh tugasnya dan bersiap untuk pulang. Sewaktu Jeje sedang membereskan barang-barangnya; mendadak ponselnya berdering; menandakan ada sebuah panggilan masuk. Lalu Jeje lekas mengambil ponselnya dan melihat isi panggilan tersebut. Tiba-tiba matanya terbelalak; jantungnya berdetak kencang; bahwa panggilan itu datang dari Puspita.
Â
Jeje segera mengintip ke arah Puspita yang masih duduk santai di kursi kantor dengan pandangan yang kaku ke depan. Karena masih syak, maka dia segera mengangkat panggilan itu.
Â
"Hai Je! Hari Sabtu ini sibuk tidak? Aku mau ajak kamu nongkrong bareng di daerah selatan."
Â
Suara itu terdengar sangat mirip dengan Puspita, sehingga membuat Jeje kian kebingungan dan bergidik ngeri. Beberapa upaya telah dilakukan untuk memastikan keaslian suara tersebut. Tetapi hasilnya tetap sama, bahwa suara itu benar milik Puspita. Jika yang menelponnya adalah Puspita, lalu siapa yang sedang duduk di sebelahnya?
Â
Arkian ingatan Jeje kembali terbang ke beberapa jam yang lalu -sewaktu jam pulang kerja - bahwa dia melihat Puspita pulang lebih awal setengah jam, karena ada urusan keluarga. Tetapi yang membuat Jeje makin merasakan kengerian yang dramatis adalah pakaian yang dipakai Puspita sangat berbeda. Hari ini Puspita memakai kemeja cokelat tua dengan rok kini hitam, sedangkan sosok Puspita yang berada di sebelahnya memakai gaun panjang berwarna merah yang solid.
Â
Tiba-tiba memori Jeje berpindah ke kisah mengerikan dari sosok perempuan merah penghuni kantor. Terlebih lagi aroma bunga melati makin tercium kuat, seolah datang dari sosok yang sedang duduk di sebelahnya. Lantas secara perlahan-lahan, Jeje segera mengambil barang-barangnya, dan bergegas pergi menuju ke pintu keluar ruang kerja.
Â
Ketika baru beberapa langkah Jeje lalui, seketika dirinya dikejutkan oleh suara bunyi tulang patah yang ganjil, sehingga terdengar seperti suara derik.
Â
"Kamu mau ke mana, Je?" tanya sosok yang menyerupai Puspita.
Â
"Aku... aku mau pulang dulu. Soalnya sudah larut." jawab Jeje berusaha untuk tetap tenang.
Â
"Kamu benaran mau pulang, atau mau lari?" balasnya, "Mau lari setelah mengetahui identitas asliku?"
Â
Lantas sosok itu tertawa dengan suara yang menakutkan. Perihal itulah membuat Jeje menjerit histeris, dan bergegas lari keluar dari ruang kerja, sekaligus menuju ke lorong lift.
Â
Ketika Jeje hendak memasuki lorong lift; seketika perempuan itu keluar dari salah satu pintu lift dan menghadangnya. Di saat itulah Jeje dapat menyaksikan wujud mengerikan dari perempuan merah. Dia memiliki tekstur tubuh yang tidak wajar dan sulit dijelaskan oleh jangkauan pikiran manusia. Tubuhnya menyemburkan aroma bunga melati yang menusuk hidung. Wajahnya pucat menakutkan, serta tertutup setengah oleh rambut panjangnya yang terurai berantakan. Tatapannya sangat tajam dan ngeri, sehingga sangat tidak nyaman untuk dilihat.
Â
Lalu perempuan merah itu melaju mendekat ke arah Jeje dengan gerakan yang kaku dan aneh. Setiap gerakan dari tubuhnya selalu mengeluarkan suara tulang patah yang terdengar seperti suara derik. Bergidik ngeri Jeje saat melihat perempuan itu, sehingga dia berteriak ketakutan;
Â
"Tidak! Menjauh dariku!"
Â
Secara mendadak langkah perempuan itu menjadi cepat. Kontan Jeje makin histeris dan bergegas lari menghindari perempuan itu. Di waktu yang bersamaan, mata Jeje berhasil menangkap sebuah pintu tangga darurat yang terletak di depan toilet umum. Tanpa berpikir panjang; Jeje segera masuk ke pintu tangga darurat tersebut; memilih untuk memakainya meski dirinya berada di lantai 12.
Â
Setibanya di dalam tangga darurat; Jeje lekas menuruni tiap anak tangga; lantai demi lantai; dengan diiringi oleh suara derik yang mengancam. Ketika dia sudah melalui semua lantai; akhirnya dia tiba di sebuah lantai dengan dinding yang bertuliskan lantai G; lantas dia merasa lega dan bergegas menuju ke pintu keluar.
Â
Sesudah keluar dari pintu darurat, seketika Jeje terkejut setengah mati. Dia kembali lagi ke ruang kerjanya yang berada di lantai 12; dalam kondisi yang mengerikan; absurd; serta sulit dideskripsikan secara akal sehat. Semua layar komputer di ruang kerja itu menyala, serta mengeluarkan cahaya cacat dan suara bising yang mirip tawa iblis jahat yang mengerikan. Di dalam layar komputer itu, terlihat gambar distorsi dari wajah orang-orang yang menjerit meminta pertolongan. Keadaan kian mencekam, saat darah mulai mengalir deras dari tiap sudut ruangan - termasuk dari layar komputer - dan darah itu mulai menciptakan sebuah genangan di lantai ruang kerja. Sedangkan lampu ruangan menyala dan mati dengan sendirinya, serta warnanya mulai berubah secara perlahan, menjadi merah darah. Jeje hanya bisa menyaksikan fenomena tersebut dengan kengerian kronis.
Â
Suara derik kembali muncul; menandakan kehadiran dari sosok perempuan merah. Lantas Jeje menjadi kalut dan menjerit kesetanan, sambil melihat ke sekelilingnya. Sampai saat pandangannya tiba di arah yang berlawanan; muncul sepasang tangan pucat dan berkuku panjang yang langsung menangkap pundaknya. Kemudian sepasang tangan itu menghadapkan wajah Jeje ke muka si pemilik, yang tidak lain adalah si perempuan merah.
Â
Di saat itulah Jeje dapat merasakan langsung sensasi horor secara nyata. Dia melihat wajah dari perempuan merah yang distorsi, sehingga menciptakan sebuah visual yang cacat menakutan.
    Â
"Siapa kamu? Setan! Iblis! Monster! Lepaskan aku!" teriak Jeje.
Â
"Betul." balas perempuan itu sembari menyeringai terkutuk, "Aku adalah setan! Aku adalah iblis! Aku adalah monster! Kamu tidak akan pernah kulepaskan! Kamu tidak akan pernah bisa lepas dariku! Aku akan membawamu ke alamku! Agar kamu bisa menjadi budak dan koleksiku! Kamu akan bersamaku untuk selama-lamanya!"
Â
Lantas perempuan itu mendorong tubuh Jeje masuk ke dalam genangan darah. Lalu keadaan menjadi gelap gulita dan hanya menyisakan jeritan giris Jeje.
Â
****
Â
Beberapa waktu kemudian, terdapat seorang satpam yang sedang berpatroli di dalam gedung. Setibanya di lantai 12, secara mendadak dia mendengar suara jeritan perempuan yang datang dari dalam ruang kerja. Lantas satpam itu segera menuju ke lokasi - tempat asal suara - sambil melaporkan perihal tersebut ke rekan-rekannya.
Â
Setibanya di ruang kerja, dia tidak menemukan apa-apa di sana. Tidak ada orang. Semua barang tertata dengan rapi dan semestinya. Tidak ada perihal yang ganjil. Namun satpam itu tidak langsung mempercayai matanya, karena dia merasa yakin telah mendengar suara jeritan yang datang dari dalam ruang kerja. Lantas dia segera mengelilingi tiap sudut ruangan demi mencari sumber suara tersebut.
Â
Namun satpam itu tetap tidak menemukan keganjilan yang mencolok. Walhasil dia kembali melapor kepada rekan-rekanya, bahwa keadaan masih aman. Sesudah dari itu, dia segera keluar dan mengunci pintu ruang kerja. Di waktu yang bersamaan, sebuah layar komputer di meja kerja Jeje menyala secara tiba-tiba. Di dalam layar itu, tampak wajah distorsi Jeje yang sedang menjerit meminta pertolongan.
Â
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H