Mohon tunggu...
Elnado Legowo
Elnado Legowo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Kata-kata memiliki kekuatan untuk mengesankan pikiran tanpa menyempurnakan ketakutan dari kenyataan mereka. - Edgar Allan Poe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri di Rumah Eyang Jiwatrisna - Part 3 (Tamat)

6 Agustus 2021   20:16 Diperbarui: 30 Desember 2021   20:42 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Klik ini untuk lihat part sebelumnya.)

Pertanyaan prasangkaku ke Eyang Jiwatrisna telah merusak hubungan kami berdua, sehingga dia menghubungi Bagas - melalui telepon rumahnya - untuk segera datang menjemputku. Secara tidak langsung dia telah mengusirku. Tetapi aku tidak menyesalinya; karena aku sendiri sudah resah dengan apa yang telah kualami selama tiga malam di rumahnya yang penuh teror dari sosok yang menakutkan. Alhasil, aku segera merapikan semua barangku ke dalam tas, serta menunggu jemputan Bagas di ruang tamu.
 
Akan tetapi, setelah berjam-jam aku menunggu, Bagas tidak kunjung datang. Eyang Jiwatrisna hanya memberiku secangkir kopi hitam, lalu pergi meninggalkanku seorang diri tanpa memberi sepatah kata-pun. Tampaknya dia sedang menjaga jarak dariku. Walhasil, aku hanya bisa menyeruput kopi hitam tersebut, sambil menanti jemputanku.
 
Setelah beberapa waktu berlalu, aku mulai merasa kantuk dan tertidur di atas sofa; hingga kembali terbangun akibat suara halilintar yang mengamuk di depan rumah. Lantas aku melihat jam tanganku yang sudah menunjukkan waktu telah lewat dari tengah malam. Aku tidak menyangka bahwa aku sudah tertidur sangat lama, tapi yang membuatku bingung adalah Bagas masih belum datang. Kemudian aku bergegas meraih telepon rumah Eyang Jiwatrisna - karena ponselku telah rusak dan tak berfungsi - dan segera menghubungi Bagas. Namun nahas, telepon itu juga tidak berfungsi. Awalnya aku berpikir telah terjadi masalah jaringan sinyal; tapi setelah kuperiksa, ternyata kabel teleponnya telah diputus.
 
Rasa emosi dan kelesah membaur menjadi satu di dalam batinku, sehingga aku mulai mencari Eyang Jiwatrisna di seluruh penjuru rumah. Namun aku tidak menemukannya. Awalnya aku berpikir dia sedang pergi keluar untuk sebuah aktivitas mengerikan seperti malam sebelumnya; tapi itu terbantahkan oleh penemuanku akan sebuah mobil Suzuki Carry Pick-Up tahun 1992 yang masih terparkir di halaman belakang rumah. Eyang Jiwatrisna tidak mungkin pergi tanpa mengendarai mobil itu! Lebih-lebih aku melihat adanya tanda bahwa mobil itu habis digunakan; keadaan mesin yang masih hangat dan banyak lumpur segar di beberapa bagian tubuh dan roda mobil. Aku sangat bersyukur telah mendapatkan bukti sebelum terhapus oleh hujan badai yang akan menerjang.
 
Sewaktu aku sibuk mengamati mobil tersebut, seketika aku mendapati kuburan putri Eyang Jiwatrisna yang telah dibongkar dan menyisakan sebuah lubang kosong. Keadaan semakin buruk, saat di waktu yang bersamaan, aku juga melihat serangkaian jejak kaki - terbuat dari tanah dan darah - yang melaju masuk ke dalam rumah, melalui sebuah pintu di halaman belakang; bekas tempat produksi kain batik yang sekarang telah dipenuhi oleh perabot rumah bekas, salah satunya adalah jendela kamarku yang telah dirusak. Walhasil, penemuan itu telah mempertegas bahwa kejadian semalam adalah nyata.
 
****
 
Arkian, aku mengikuti arah jejak itu pergi; hingga menghilang di bawah lemari buku besar yang terletak di lorong perantara ruang tamu dan halaman belakang rumah, serta terletak di bawah tangga menuju lantai dua. Tampaknya si pemilik jejak itu telah memasuki sebuah tempat rahasia, melalui lemari buku tersebut. Walhasil, entah apa yang merasuki diriku, aku langsung mencari cara untuk menyingkirkan lemari buku itu. Hingga akhirnya aku melihat sebuah patung Jurumeya yang terletak di atas lemari buku. Jurumeya sendiri adalah salah satu tokoh raksasa sebangsa setan - dalam dunia pewayangan - yang sangat sakti dan tidak bisa mati; bertugas sebagai penjaga pintu masuk kerajaan Batari Durga dan mengganggu siapa saja yang memasuki tempat itu.
 
Entah apa yang mengendalikan pikiranku, tubuhku bergerak dengan sendirinya saat aku menatap mata patung Jurumeya; lalu tanganku langsung mendorong hidung bundarnya, sehingga menciptakan suara mesin dan getaran pada lemari buku tersebut. Secara otomatis, lemari buku itu terbuka dan memperlihatkan sebuah lorong dan anak tangga - menuju ruang bawah tanah - yang dibentuk dari batu candi, sekaligus meniupkan udara dingin ke mukaku, beserta bau kemenyan dan rempah-rempah yang menusuk hidung.
 
Aku sangat terperangah melihat lorong itu. Rasa takut dan penasaran semakin bergejolak di dalam batinku, sehingga membuat tubuhku mematung dalam beberapa menit. Seketika - secara samar - aku mendengar suara Eyang Jiwatrisna yang sedang melantunkan sesuatu. Suaranya yang parau dan samar telah menggema di sepanjang lorong; seolah suara itu sedang memanggilku. Lantas aku mulai memasuki lorong yang gelap dan sempit; menuruni setiap anak tangga yang memusingkan dan lembab. Hingga akhirnya aku tiba di suatu tempat yang mirip dengan katakomba yang dibangun dengan batu candi yang suram; berbentuk seperti tabung dengan dihiasi oleh pilar-pilar tidak suci dan sembilan ceruk yang tertata secara berselang-selang beraturan di sekelilingnya; diterangi oleh lentera lilin yang tertempel di setiap sudut dinding katakomba.
 
Di tengah-tengah katakomba itu, aku mendapati Eyang Jiwatrisna yang mengenakan Jawi Jangkep hitam dengan celana kain batik cokelat, sedang melafalkan sebuah mantra dengan bahasa yang sulit kumengerti; semacam bahasa Sansekerta atau - mungkin - bahasa asing yang belum kuketahui. Dia melafalkan mantra tersebut di depan mayat putrinya yang masih terbungkus kain kafan; diletakan secara telentang di atas batu yang berbentuk meja persembahan; dikelilingi empat kemenyan yang terbakar.
 
Perihal yang mengerikan adalah Eyang Jiwatrisna dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki rupa menyeramkan; berdiri mematung seperti boneka horor; menyaksikan ritual tersebut dari dalam ceruk. Secara kasar mereka terlihat seperti manusia biasa, semi-manusia, dan bukan manusia sama sekali. Mereka semua sangat heterogen. Walaupun begitu, aku masih dapat mengenali mereka sebagai penguntit malam di jendela kamarku.
 
****
 
Tidak lama kemudian, Eyang Jiwatrisna mengambil sebuah mangkuk berisi cairan merah yang terdiri dari berbagai macam rempah-rempah, yang telah dicampur dengan beberapa cairan kimia yang tidak kuketahui; lalu menuangkannya ke dalam mulut putrinya. Arkian, Eyang Jiwatrisna mulai kembali berteriak - melafalkan mantra - dengan suara lantang yang bergetar. Kalakian - secara ajaib - mayat putrinya mulai bergetar dan menggeliat; nafasnya terbatuk-batuk; hingga akhirnya dia melompat sambil menjerit lengking.
 
Aku hanya bisa menyaksikan peristiwa tersebut - dari mulut lorong pintu keluar - dengan penuh rasa ketidakpercayaan. Akan tetapi, perihal yang membuatku lebih takjub adalah aku belum menjadi gila saat melihat kejadian tersebut. Padahal, seharusnya aku sudah jatuh pingsan atau berlari seperti orang kesetanan; tapi aku hanya bisa berdiri mematung sambil menyaksikan peristiwa dahsyat itu.
 
"Putriku... putriku yang tercinta!" ujar Eyang Jiwatrisna sambil menahan tangis.
 
Lantas dia langsung memeluk mayat hidup putrinya dengan penuh haru; bagaikan sebuah reuni keluarga yang emosional. Sedangkan putrinya hanya terdiam dingin dan kaku saat menerima pelukan.
 
"Sekarang kita akan kembali bersatu! Tidak ada yang bisa memisahkan kita... meskipun itu maut atau Tuhan!" ujar Eyang Jiwatrisna, "Kini ritual kita akan segera berakhir!"
 
Lalu Eyang Jiwatrisna membalik badan dan memanggilku;
 
"Aku tahu kamu ada di sana. Cepat keluar dan bergabung bersama kami!"
 
Lantas, karena tidak punya pilihan, aku memutuskan untuk datang menghadap Eyang Jiwatrisna. Kalakian - dengan penuh rasa takut - aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.
 
"Jadi... isu itu... ternyata benar?"
 
"Nak... kamu masih muda. Kamu tidak akan paham dengan penjelasanku." jawab Eyang Jiwatrisna.
 
"Tapi itu tidak benar, Eyang!"
 
"Tidak benar? Tahu apa kamu?" balasnya sembari melotot tajam, "Yang tidak benar itu... aku kehilangan keluargaku! Menderita dan kesepian! Padahal... aku selalu menyembah-Nya! Tapi... inikah balasan dari-Nya? Apakah itu benar?"
 
"Tapi Eyang masih punya orang-orang yang peduli!"
 
"Omong kosong! Mereka hanya peduli dengan uangku... tapi tidak dengan penderitaanku!" balasnya penuh amarah, "Orang yang peduli denganku... hanyalah putriku! Tapi maut telah merenggutnya! Sekarang akan kubuktikan... bahwa aku dapat mencundanginya!"
 
Lantas aku hanya bisa terdiam mendengar jawaban itu. Kini aku telah menyaksikan; betapa besar cinta Eyang Jiwatrisna terhadap putrinya, sehingga dia berusaha mengingkari hukum alam, demi bertemu kembali dengan putrinya.
 
"Lalu... mereka?" tanyaku sembari menunjuk orang-orang yang ada di dalam ceruk.
 
"Mereka? Mereka adalah mayat yang kuambil dari permakaman umum... untuk kujadikan sebagai kelinci percobaan dari ritualku." ujarnya dengan dingin, "Tetapi... setelah ini semua berakhir... aku akan menjadikan mereka sebagai budakku."
 
Aku yang mendengar jawaban itu hanya bisa menatap dengan penuh kesangsian dan perasaan ngeri.
 
"Tenang anak muda, mereka tidak akan menyakitimu... kecuali mereka mencium darahmu... atau aku yang memerintahkannya." ujar Eyang Jiwatrisna.
 
Aku yang mendengar itu, hanya bisa berteriak emosional;
 
"Kamu sudah gila!"
         
Tetapi Eyang Jiwatrisna hanya tertawa lepas seperti setan, lalu menatapku dengan penuh teror.
 
"Ritual ini hampir sempurna! Aku harus segera menyelesaikannya!"
 
Kemudian Eyang Jiwatrisna langsung menghunus sebuah keris dan memandikannya dengan kembang tujuh rupa yang telah dicampur oleh minyak dupa.
 
"Apakah kamu tahu... mengapa kamu masih berada di rumah ini?" tanya Eyang Jiwatrisna.
 
Aku hanya menggelengkan kepala dengan gelisah.
 
"Tadi aku menghubungi Bagas untuk menjemputmu. Tetapi dia bilang sedang sibuk kerja, sehingga dia baru bisa menjemputmu di hari esok." ujarnya, "Tiba-tiba aku teringat... bahwa untuk menyempurnakan ritual pembangkitan putriku... aku harus menyiapkan darah pria muda untuk dipersembahkan kepada putriku yang baru hidup kembali!"
 
Seketika dadaku mulai sesak; seakan aku dapat menerka arah pesan yang akan dia sampaikan.
 
"Jika kamu masih di rumah ini, aku tidak perlu repot mencari darah pria muda! Jadi aku bilang ke Bagas untuk membatalkan penjemputanmu! Lalu, kuputus kabel telepon agar tidak ada yang mengganggu!" tambahnya.
 
"Jadi... itu... perbuatan Eyang?" tanyaku bergetar.
 
Eyang Jiwatrisna hanya menganggukkan kepala, sembari tersenyum dursila. Kemudian dia berkata;
 
"Seingatku, aku sudah menuangkan obat tidur ke dalam kopimu, agar aku bisa menjadikanmu tumbal saat kamu masih tertidur. Tapi sayangnya, kamu sudah bangun!"
 
Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan menatap ngeri. Lantas, Eyang Jiwatrisna memerintahkan orang-orang yang di dalam ceruk untuk menangkapku. Alhasil, aku langsung bergegas lari menuju lorong pintu keluar.
 
Namun nahas, mereka berhasil menghadang dan menangkapku di mulut lorong. Kemudian orang-orang terkutuk itu mulai menarik badanku; menyeretku dengan kasar ke hadapan Eyang Jiwatrisna, yang sudah menanti dengan sebuah keris di tangannya. Aku hanya bisa meronta dan berusaha melawan semampuku, dengan melempar serangan asal ke sekelilingku. Namun mereka sangat kuat dan tidak manusiawi! Mereka seperti monster!
 
Awalnya aku sudah putus asa, bahwa aku tidak akan bisa lepas dari genggaman mereka. Tetapi, ternyata aku salah! Tendanganku berhasil menyepak salah satu dari mereka - yang tidak begitu kuat - sehingga terlempar ke arah Eyang Jiwatrisna dan membuat keris yang digenggamnya menusuk lengan kirinya sendiri. Lantas semua orang yang di tempat itu langsung mematung dan menatap Eyang Jiwatrisna. Di saat itulah penjagaan mereka melemah, sehingga aku berhasil melepaskan diri dan menjauh dari mereka.
 
Arkian, mereka mulai mendekati Eyang Jiwatrisna, karena terangsang oleh bau darah yang mengalir keluar dari lengannya. Sedangkan Eyang Jiwatrisna hanya bisa melangkah mundur; melempar perintah gemetar ke mereka; hingga berteriak penuh kengerian. Ironisnya, mereka tidak mematuhi perintahnya dan terus mengejar.
 
Hingga akhirnya, langkah Eyang Jiwatrisna terhenti saat mendapati mayat hidup putrinya telah menghadangnya.
 
"Putriku... jangan lakukan itu! Jangan!" tangis Eyang Jiwatrisna penuh keputusasaan.
 
Putrinya hanya menatap dingin; lalu dia melompat ke tubuh Eyang Jiwatrisna; lantas menggigit leher dan merobeknya. Walhasil, darah mulai berkucuran dengan deras dari leher Eyang Jiwatrisna. Arkian, putrinya mulai memangsa tubuh Eyang Jiwatrisna, sedangkan yang lainnya mulai mengikuti hal serupa. Mereka mencabik-cabik tubuh Eyang Jiwatrisna dengan penuh kekejian; meraung seperti iblis mengerikan; lalu memakan pecahan tubuhnya di depan mataku. Eyang Jiwatrisna hanya bisa menjerit sekarat dengan suara yang membaur dengan raungan mereka, sehingga menciptakan sebuah alunan musik neraka yang menggema di seluruh katakomba. Alhasil, tanpa menunggu waktu lama, aku langsung bergegas lari keluar dari tempat itu; keluar dari rumah Eyang Jiwatrisna dan menerobos hujan badai.
 
Arkian, aku melihat murka halilintar di langit; dibantu dengan tiupan angin puting beliung yang ganas; menghantam rumah Eyang Jiwatrisna secara berulang kali di depan mataku; sekaligus membuat hangus dan menumbangkan beberapa pohon di sekitar rumah. Jiwaku sungguh terguncang hebat saat melihat dinding-dinding rumah yang runtuh, sekaligus mengubur semua orang di dalamnya. Eyang Jiwatrisna telah dikalahkan oleh maut, dan sekarang dia kembali bersatu dengan keluarganya. Aku yang menyaksikan peristiwa dahsyat tersebut, hanya bisa berdoa agar Tuhan mau mengampuni dosa pria tua yang malang itu.
 
****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun