"Di mana kegilaan berhenti dan kenyataan dimulai?" - H. P. Lovecraft, The Shadow Over Innsmouth.
Â
Namaku Lucy. Aku adalah salah satu penduduk Desa Pyawwtae dan seorang siswi sekolah menengah atas. Tetapi sekarang aku adalah satu-satunya penyintas di desaku. Saat ini aku sedang dalam keadaan sekarat. Tubuhku telah dipenuhi luka, sehingga aku telah kehabisan banyak darah. Aku tidak tahu seberapa lama lagi aku dapat bertahan. Yang pasti itu tidak akan lama lagi. Walakin, sebelum aku menghembuskan nafas terakhirku, aku ingin menceritakan sebuah kejadian yang telah menimpa desaku.
Â
Desa Pyawwtae adalah sebuah desa, di salah satu negara di Asia Tenggara. Dulunya Desa Pyawwtae adalah sebuah desa yang damai dan makmur. Para penduduknya memiliki jiwa gotong royong yang tinggi, sehingga angka kejahatan di desaku sangat rendah atau hampir tidak ada. Selain itu, kegiatan mereka sehari-hari adalah berkebun, bersawah, beternak, berdagang, dan sebagainya. Di desa ini masih banyak pepohonan yang rimbun, ditambah dengan letak desa yang berada di kaki gunung, sehingga memberi kesejukan surgawi bagi penduduk Desa Pyawwtae. Seakan-akan Desa Pyawwtae adalah sebuah surga nyata di permukaan bumi. Namun, semua itu tinggal kenangan.
Â
Tatkala di pagi hari yang cerah, aku sedang berjalan menuju ke sekolahku, yang - kebetulan - terletak tidak jauh dari rumahku, sekaligus satu-satunya tempat pendidikan yang ada di desaku. Pada hari itu, suasana desa tampak normal. Para penduduk beraktivitas seperti biasanya. Akan tetapi, tidak ada yang menyangka bahwa semua itu akan berakhir untuk selamanya.
Â
Seketika aku melihat sebuah pesawat terbang yang sedang melintasi desaku. Bentuknya seperti sebuah pesawat kargo militer dengan warna abu-abu tua. Pesawat itu terbang rendah dan terlihat tidak stabil. Sekilas aku melihat sebuah asap tebal di salah satu baling-baling pesawat, yang berada di sayap kanan pesawat itu. Alhasil, fenomena tersebut telah menarik perhatian para penduduk desa.
Â
Kemudian, pesawat itu mulai mengarah ke suatu tempat - masih bagian dari Desa Pyawwtae - yang dipenuhi dengan pepohonan. Kalakian, pesawat itu mendarat dan meledak seketika. Para penduduk desa yang melihat itu langsung bergegas menuju ke arah pesawat itu jatuh. Aku tidak mengikuti mereka dan hanya menyaksikan peristiwa tersebut, sembari mengabadikannya dengan ponselku.
Â
****
Â
Setibanya aku di sekolah; peristiwa tersebut telah ramai diperbincangkan oleh teman-teman di kelasku, termasuk para guru yang sedang mengajar. Tidak lupa juga aku membagikan video rekaman kecelakaan tersebut ke beberapa teman sekelasku, untuk menambah topik pembicaraan. Sewaktu kita sedang sibuk membicarakan kecelakaan tersebut, seketika terdengar sebuah pengumuman yang dibacakan melalui speaker kelas; bahwa sekolah akan diakhiri lebih awal, karena telah terjadi kerusuhan dimana-mana. Selain itu, pihak sekolah juga akan mengevakuasi semua murid dengan bus sekolah yang tersedia, ke tempat yang lebih aman.
Â
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi pengumuman itu dibacakan dengan panik. Walhasil, para siswa yang mendengarnya juga menjadi ikut panik dan mulai membereskan diri. Selain itu juga, aku merasa ragu bahwa bus sekolah dapat mengevakuasi kita semua. Karena jumlah bus sekolah hanya lima buah dan setiap bus hanya dapat menampung 30 orang. Sedangkan jumlah di setiap kelas ada 25 hingga 30 siswa, dengan tiga kelas di setiap angkatannya. Kalakian di sekolahku terdapat 12 angkatan; tergabung dari sekolah dasar, hingga sekolah menengah atas. Alhasil, evakuasi seluruh siswa dengan bus sekolah terdengar mustahil untuk dilakukan.
Â
Seketika terdengar rentetan suara raungan binatang yang menyeramkan dari depan gedung sekolah. Lantas semua siswa mulai melihat keluar, melalui jendela kelas masing-masing. Di luar sana, mereka mendapati sebuah pemandangan yang mengerikan. Keadaan sangat kacau dan terlihat kerusuhan dimana-mana. Kami melihat ada beberapa penduduk desa yang berubah menjadi agresif, kemudian menyerang siapa-pun yang mereka temukan.
Â
Para penduduk yang agresif itu memiliki warna kulit yang pucat seperti mayat dan mengeluarkan darah dari segala lobang yang ada di tubuh mereka, seperti; mata, hidung, telinga, mulut, dan - kemungkinan juga - lubang kemaluan dan dubur. Mereka semua menyerang orang yang mereka temukan dengan sangat bengis, seperti makhluk asing yang mengerikan. Mereka langsung memukul mangsanya dengan brutal, kemudian mencabik-cabik, dan memakannya hidup-hidup. Sedangkan penduduk yang berhasil selamat, tapi mendapat luka gigit atau cakar dari makhluk itu; hanya membutuhkan waktu 30 detik untuk terinfeksi dan menjadi salah satu dari mereka.
Â
Suasana itu terlihat seperti di film zombie. Namun, mereka berbeda dengan zombie yang biasa kita lihat, yaitu bergerak seperti tidur berjalan dan mengeluarkan suara seperti orang mengigau. Mereka semua seperti binatang buas yang dapat berlari, melompat, memanjat, dan berteriak selayaknya kera rabies.
Â
Pemandangan horor tersebut, telah berhasil membuat salah seorang siswi di kelasku - yang menyaksikan peristiwa itu - langsung menjerit histeris. Alhasil, suara jeritannya berhasil menarik perhatian para makhluk itu, dan mereka langsung bergegas menyerang ke arah gedung sekolahku. Lantas kami langsung berlari berhamburan tanpa arah untuk menjauhi jendela kelas. Walhasil, itu semakin menciptakan suara gaduh yang tidak terkendali, sehingga semakin mengundang mereka untuk menyerang gedung sekolahku.
Â
Dalam hitungan detik, mereka sudah sampai di gedung sekolahku. Ada yang masuk melalui pintu gerbang sekolah. Ada juga yang masuk melalui jendela, dengan memecahkan kaca kelas. Tidak sampai satu menit, mereka sudah memasuki sekolahku dan mulai menyerang para siswa, guru, atau siapa-pun orang yang mereka temukan. Mereka dapat berlari dengan sangat cepat, selayaknya seekor Citah. Alhasil, tidak ada seorang-pun yang mampu menghindari kejarannya. Keadaan semakin diperburuk dengan belum tersedianya bus sekolah untuk mengevakuasi semua siswa, sehingga jumlah korban tidak dapat terhindarkan. Walhasil, evakuasi menjadi gagal total dan berakhir tragis.
Â
Aku menyaksikan dengan mataku sendiri, bagaimana para temanku, para guruku, dan para pekerja di sekolahku yang dianiaya, lalu dicabik-cabik dengan sadis oleh para makhluk itu. Peristiwa itu telah menguras seluruh kekuatan di tubuhku, sehingga aku hanya bisa berdiri mematung. Walakin, ada sebuah tangan yang menarikku dengan kuat. Saat aku menoleh ke arah pemilik tangan itu; aku mendapati seorang satpam sekolah, yang langsung menyuruhku untuk berlari ke belakang bangunan sekolah.
Â
Perintahnya telah memberiku sebuah harapan dan kekuatan baru, sehingga aku langsung menurutinya dan bergegas lari ke lorong menuju belakang bangunan sekolah. Namun nahas, baru beberapa langkah aku berlari; salah satu makhluk itu langsung menerkam dan mencabik-cabik satpam itu. Di tengah keadaan yang sekarat, dia masih sempat memerintahku untuk segera lari tanpa melihat ke belakang. Arkian, kepala satpam itu langsung dihancurkan oleh makhluk itu, dengan beberapa kali hantaman. Lantas, aku hanya bisa berlari sambil menahan tangis. Seakan-akan rasa takut dan bersalah telah mencamuk hatiku.
Â
Sesampainya di bangunan belakang sekolah, aku mendapati dua orang guru yang sedang memerintahkan lima orang siswa untuk memanjat pagar dinding sekolah. Lantas kedua guru tersebut juga memerintahku untuk melakukan hal serupa. Aku langsung menuruti perintah mereka dan mulai memanjat pagar dinding - yang membatasi sekolah dengan perkebunan singkong - dengan bantuan dari sebuah tangga bambu.
Â
Setelah aku - bersama kelima siswa tersebut - berhasil melewati pagar dinding sekolah; seketika ada beberapa siswa yang berlari ke arah dua guru tersebut. Namun nahas, para makhluk itu telah berhasil mengejar dan menangkap mereka semua. Lantas salah seorang guru langsung memerintahkan kami - yang berhasil melewati pagar dinding - untuk segera berlari menyelamatkan diri. Tanpa berpikir panjang, kami semua berlari meninggalkan kedua guru dan para siswa yang masih tertinggal di dalam sekolah. Aku tidak tahu apakah kedua guru itu berhasil menyelamatkan diri atau tidak. Karena setelah mereka memberi perintah, aku hanya mendengar suara jeritan yang memilukan, dengan diiringi oleh suara raungan para makhluk terkutuk itu.
Â
Aku terus berlari sembari menutup kedua telingaku, agar aku tidak mendengar suara mereka yang menjadi mangsa para makhluk itu. Kemudian rasa penyesalan mulai hadir mengutuk diriku, karena telah meninggalkan mereka yang masih tertinggal di dalam gedung sekolah. Hal yang bisa aku lakukan sekarang ini adalah berlari bersama lima siswa yang berhasil selamat, meskipun kami tidak tahu arah tujuan kami. Yang kami harapkan adalah berlari sejauh mungkin dari gedung sekolah.
Â
Kami terus berlari, sampai akhirnya kami tiba di sebuah jalan raya di desa kami. Disana keadaan sangat kacau. Banyak perumahan yang telah dirusak oleh para makhluk itu. Alat transportasi banyak yang dirusak hingga terbakar. Kebun dan sawah telah berubah menjadi ladang pembantaian. Kebakaran terjadi di beberapa tempat, seperti di rumah penduduk, tempat belanja, hingga tempat perkebunan. Bahkan hewan-hewan ternak juga ikut menjadi santapan mereka. Seakan-akan Desa Pyawwtae telah berubah menjadi sebuah neraka yang merangkak di permukaan bumi.
Â
Seketika, salah satu mata makhluk itu berhasil menangkap keberadaan kami dan meraung ganas. Lantas kami langsung berlari berhamburan, sehingga - secara tidak sadar - kami telah berpencar satu sama lainnya. Aku tidak tahu kemana harus pergi, selain menuju rumahku. Karena bagiku, disana adalah satu-satunya tempat yang aman. Entah itu pilihan yang bodoh atau pintar, karena hanya itu yang ada di pikiranku sekarang.
Â
****
Â
Setibanya di depan halaman rumahku, aku melihat keadaan rumah yang sudah berantakan. Lantas itu telah membuatku menjadi panik akan kondisi kedua orang tuaku. Tetapi hatiku kembali lega, setelah melihat ayah dan ibuku yang sedang mengintip dari balik pintu rumah.
Â
"Lucy! Masuk kesini!" ujar ayahku.
Â
Lantas aku langsung berlari ke arah ayahku dan memeluknya sambil menangis seperti bayi. Kalakian, aku bergegas masuk ke dalam rumah dan - tidak kuduga - salah satu makhluk itu telah melihat keberadaan kami, lalu mulai berlari dan menyerang ke arah kami berada. Lantas ayahku langsung mendorongku masuk ke dalam rumah dan memasang tubuhnya sebagai perisaiku. Kemudian ayah langsung mengeluarkan sebuah golok dan mulai menyerang makhluk itu. Walhasil, terjadi sebuah perkelahian sadis di antara mereka berdua.
Â
Akrian, perkelahian berhasil dimenangi oleh ayah dengan menggorok leher makhluk itu, hingga hampir putus. Akan tetapi, ayah juga mendapat banyak luka cakar dan gigit di sekujur tubuhnya, sehingga hanya tinggal menunggu waktu untuk terinfeksi dan berubah menjadi salah satu dari makhluk itu.
Â
Aku yang melihat itu, seketika merasa sesak di dadaku. Aku sangat tidak ikhlas ayahku menjadi salah satu dari mereka. Lantas aku langsung berlari ke arah ayahku sembari menangis dan menjerit memanggilnya. Tetapi langkahku ditahan oleh ibuku dan dia langsung membawaku - secara paksa - masuk ke dalam rumah. Dalam sisa detik terakhir, aku melihat ayahku tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca, sambil mengarahkan golok ke arah lehernya. Kemudian, pemandangan terhalang oleh pintu rumah, dengan diikuti oleh suara daging yang tersayat keras. Aku tidak dapat berkata apa-apa setelah mendengar itu, selain menangis di dalam pelukan ibu - yang ikut menangis - atas kepergian ayah.
Â
****
Â
Hari demi hari telah berlalu. Suasana Desa Pyawwtae telah berubah menjadi desa mati. Banyak mayat yang membusuk dan tergeletak - secara acak - di tiap sudut desa. Aku tidak tahu sudah beberapa hari telah aku lewati. Tidak ada tanda-tanda pertolongan datang di desaku. Seakan-akan Desa Pyawwtae telah dilupakan oleh pemerintah. Atau mungkin, mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi di desa ini?
Â
Persediaan makanan semakin menipis. Semua jaringan komunikasi dan listrik telah terputus, sejak hari pertama tragedi dimulai. Walhasil, aku tidak dapat menggunakan ponselku untuk meminta bantuan atau mencari informasi. Seolah-olah kami sedang diisolasi bersama dengan para makhluk terkutuk itu.
Â
Setiap malam, mereka selalu mengeluarkan suara raungan yang mengerikan, sehingga terdengar seperti setan yang sedang bersenandung. Alhasil, suara itu telah membuatku bergidik ngeri dan tidak bisa tidur setiap kali mendengarnya. Aku tidak mengerti mengapa mereka melakukan itu. Apakah itu cara mereka berkomunikasi? Atau mungkin, mereka sedang bernyanyi untuk merayakan hasil perburuan mereka?
Â
Selain itu, kami telah menutup semua pintu dengan furnitur-furnitur yang ada di rumah kami, dan semua jendela dengan kayu atau lemari. Â Agar keberadaan kami tidak terdeteksi oleh mereka; sekaligus menghambat serangan mereka, bila mereka telah mengetahui keberadaan kami. Walhasil, kami hanya dapat melihat keluar dari sela-sela kecil yang ada di jendela.
Â
Apabila berdasarkan pengamatan yang berhasil kulihat; secara fisik para makhluk itu telah berevolusi menjadi sebuah sosok yang lebih mengerikan. Pada awalnya, mereka terlihat seperti orang biasa dengan kulit pucat dan darah yang mengalir keluar dari setiap lubang di tubuh mereka. Sekarang kulit mereka berwarna abu-abu pucat, dengan tubuh yang kurus. Seluruh rambut di tubuh mereka telah rontok, sehingga mereka menjadi gundul. Telinga mereka memanjang seperti telinga Goblin. Mata mereka mulai berubah menjadi besar dan berwarna kuning pucat. Mulut mereka juga melebar, dengan bibir yang berwarna hitam pekat. Semua kuku mereka mulai meruncing dan memanjang, serta berwarna hitam. Kali ini wujud mereka sangat mengerikan dan dapat memberiku sebuah mimpi buruk yang abadi.
Â
Mereka semua berkeliaran di sekitar rumah penduduk - terutama pada malam hari - untuk mencari manusia hidup yang tersisa. Mereka semua berjalan dengan merangkak. Tidak jarang mereka menggedor-gedor rumah atau membuat suara bising yang mengganggu, agar orang yang ada di dalam rumah tersebut mengeluarkan - sedikit - suara atau pergerakan yang dapat mereka deteksi. Bila berhasil, maka mereka akan menerobos masuk ke dalam rumah tersebut dan memangsa orang di dalamnya. Selain itu, mereka terlihat lebih agresif dan kuat. Bahkan mereka dapat menghancurkan jendela dan pintu rumah tetanggaku, menggunakan tangan kosong dengan sangat mudah.
Â
Sampai akhirnya, mereka tiba di rumahku. Pada awalnya mereka hanya menggedor-gedor pintu dan jendela rumahku. Lantas aku bersama ibu langsung bersiaga, dengan setiap pisau di tangan kami. Kemudian mereka mulai mencakar dinding dengan kuku mereka, sehingga menciptakan suara yang mengganggu di telinga kami. Namun, kami masih bisa bertahan dari suara cakaran dinding itu. Arkian, mereka mulai melompat ke atas atap rumahku dan membuat suara gaduh disana. Tidak jelas apa yang mereka lakukan, tapi mereka terdengar seperti sedang mengacak-acak atap rumahku.
Â
Setelah berapa waktu telah berlalu, akhirnya mereka berhenti. Kami mengira bahwa mereka sudah menyerah, dan pergi mencari mangsa di rumah lain. Lantas kami langsung menghela nafas dan saling memeluk satu sama lain, untuk melampiaskan rasa bahagia dan takut yang telah mendera kami. Akan tetapi, ternyata kami salah.
Â
Tiba-tiba terdengar suara batu besar yang mendarat di atas atap rumahku, sehingga membuat kami - secara refleks - menjerit kaget. Sontak makhluk itu mulai meraung ganas dan menyerang rumahku dari segala arah. Ibuku langsung mendorongku masuk ke dalam kamar tidurku, lalu mengunciku di dari luar. Aku yang tidak berdaya hanya bisa menahan tangis dan rasa takut, sembari menggenggam pisau dapur.
Â
Tidak lama kemudian, aku mendengar suara gaduh di luar kamar tidurku. Kalakian, terdengar suara ibuku yang sedang melawan mereka dengan segala cara. Namun, akhirnya dia kalah karena jumlah mereka yang banyak dan serangan yang agresif. Setelah itu, aku mulai mendengar suara ibuku menjerit pilu, dengan diikuti oleh suara kulit dan daging yang dirobek-robek, serta tulang yang dipatahkan. Dari suara tersebut, aku sudah dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka sedang mencabik-cabik ibuku dengan sadis.
Â
Setelah suara gaduh itu berhenti; keheningan kembali menyelimuti diriku, yang sedang menangis seorang diri di dalam kamar yang gelap. Namun keheningan itu kembali lenyap, setelah ada ketukan di pintu kamarku.
Â
"Lucy... Lucy..." terdengar suara pria bernada kelam, yang sedang memanggil namaku. "Lucy... Aku tahu kamu ada di dalam sana. Ayok buka pintu ini! Di luar sudah aman!"
Â
Aku bergidik ngeri saat mendengar suara itu, sehingga membuatku semakin menjauhi pintu kamarku. Meskipun kalimatnya berusaha meyakinkanku, tapi aku sangat tidak mempercayainya. Karena aku tahu bahwa suara itu berasal dari makhluk terkutuk itu. Tampaknya mereka telah berevolusi, sehingga mampu berbicara seperti manusia normal. Bahkan, aku tidak tahu darimana mereka mengetahui namaku.
Â
"Lucy... Buka pintunya!" ujarnya, dengan nada suara yang terdengar lebih kelam daripada sebelumnya, "Lucy... Tidak ada gunanya kamu bersembunyi! Bergabunglah bersama kami! Kami berjanji, bahwa itu tidak akan terlalu buruk untukmu!"
Â
Aku hanya bisa menutup kedua telingaku.
Â
"Apabila kamu bergabung bersama kami, kamu tidak akan menderita seperti sekarang!"
Â
Lantas kalimat itu diakhiri dengan suara cekikikan yang mengerikan dan diikuti oleh sesama makhluk terkutuk itu, sehingga suara tersebut mulai menyelimuti seluruh ruang kamarku yang gelap dan kosong ini. Seolah-olah mereka semua sedang menanamkan teror di dalam benakku.
Â
Arkian, mereka mulai mencakar-cakar pintu kamarku sembari menyebut namaku dengan nada yang lebih kelam lagi. Sontak, aku langsung mengarahkan mata pisau ke arah pintu, untuk berjaga-jaga bila mereka berhasil menerobos masuk.
Â
Tidak lama kemudian, salah satu tangan makhluk itu berhasil menghancurkan pintu kamarku, sehingga menciptakan sebuah lubang. Sontak aku menjerit ketakutan. Kemudian, makhluk itu menarik kembali tangannya yang kurus dan berlumuran darah itu, lalu mengintip ke dalam kamarku.
Â
Aku tidak dapat melihat wajah mereka dengan jelas, karena suasana ruangan yang sangat gelap. Tetapi, aku dapat melihat kedua mata besar yang berwarna kuning pucat, dan - secara samar - mulut mereka yang sedang menyeringai.
Â
"Lucy... tidak ada gunanya kamu bersembunyi!" ujar makhluk itu, "Kamu pikir kamu akan selamat? Tidak Lucy! Kamu akan menjadi seperti kami! Atau mungkin, kamu akan menjadi hidangan penutup!"
Â
Aku hanya bisa menatap kedua mata besar itu, sambil menangis dan berkeringat. Tubuhku bergetar hebat setelah mendengar ucapan itu, sekaligus menyaksikan mereka menertawakanku dengan mulutnya yang lebar dan berlumuran darah. Â Akan tetapi, semua itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba mereka berhenti - seakan mendengar sesuatu - dan meninggalkan rumahku dengan terburu-buru. Alhasil aku dapat bernafas dengan lega, meskipun ada rasa bimbang yang telah menghantui pikiranku. Apakah mereka benar-benar sudah pergi? Apa yang membuat mereka pergi? Mengapa mereka tidak langsung membunuhku? Bagaimana mereka dapat berbicara? Darimana mereka mengetahui namaku? Dan yang terutama, bagaimana dengan keadaan ibuku?
Â
Lantas aku mulai mengintip keluar melalui lubang pintu kamarku, yang telah dirusak oleh salah satu dari mereka. Di luar sana terlihat kosong, selain tubuh ibuku yang berserakan di lantai; tercabik-cabik tidak beraturan dan organ tubuh yang terpisah satu sama lainnya. Melihat itu aku hanya bisa menangis. Aku merasa menyesal atas ketidakmampuanku untuk melindungi orang-orang disekitarku. Aku menyesal karena banyak orang telah mati, hanya demi melindungi diriku yang bodoh dan lemah ini. Walhasil, aku telah kehilangan teman-temanku, guru-guruku, hingga kedua orang tuaku. Seakan-akan aku telah kehilangan semua harta yang paling berharga dalam hidupku.
Â
Lantas, aku membulatkan tekadku untuk berhenti bersembunyi. Aku memutuskan untuk keluar dari persembunyianku untuk mencari jalan keluar dari bencana ini. Meskipun itu sangat beresiko, tapi aku merasa bahwa ini satu-satunya yang terbaik bagiku. Sebab, semua orang akan mati pada akhirnya. Akan tetapi, aku ingin memilih cara matiku sendiri. Aku tidak ingin mati sebagai pengecut! Mungkin ini adalah pilihan yang bodoh dariku; tapi dengan menyaksikan orang-orang yang kukenal dan kucintai telah mati di depan mataku, itu adalah sebuah siksaan yang paling kejam bagiku.
Â
Saat kucoba membuka pintu kamarku, sepertinya ibu telah menyingkirkan kuncinya, sehingga aku terpaksa harus keluar melalui jendela kamarku. Kemudian aku mulai menyingkirkan lemari baju yang menutup jendela kamarku. Lalu aku keluar bersama sebuah pisau, satu-satunya senjata yang aku miliki. Setibanya di luar rumah, aku hanya mendapati sebuah desa mati yang gelap. Suasananya sangat mirip seperti desa hantu. Meskipun di awal aku merasa bergidik; tapi aku memilih untuk tetap melangkah maju untuk mencari pertolongan, keluar dari desa ini, dan membunuh para makhluk terkutuk itu jika mereka menyerangku.
Â
****
Â
Setelah berjam-jam aku menelusuri desaku, aku tidak menemukan adanya tanda kehidupan. Seolah-olah, aku adalah satu-satunya orang yang berhasil selamat di desa ini. Meskipun terkesan sebuah mukjizat, tapi itu sangat menyakitkan bagiku. Aku telah dihantui oleh rasa bersalah, karena telah selamat dari tragedi ini dan membiarkan orang-orang di desaku mati terbunuh. Semua ini tidak membuatku bersyukur, melainkan sebuah penyesalan tanpa batas.
Â
Sewaktu aku sedang berjalan, sembari menyalahi diriku sendiri; aku mendengar suara keramaian - secara samar - di sebuah alun-alun desa. Lantas aku langsung bergegas menuju ke arah datangnya suara tersebut, sembari mengendap-ngendap dan bersembunyi di balik pepohonan. Di sana aku menemukan banyak tentara bersenjata lengkap dan modern, yang sedang membuat sebuah kamp militer, sehingga banyak sekali tenda di sana. Di tempat itu juga, aku melihat semua makhluk itu telah dimasukkan ke dalam kandang, yang terbuat dari logam dan mengurung mereka. Kemudian, para tentara itu mengirim para makhluk - yang terkurung - itu ke sebuah tempat di luar desaku dengan truk, melalui sebuah hutan yang lebat dan gelap. Perihal yang mengganjal di pikiranku adalah para makhluk itu tidak melawan dan menuruti perintah dari para tentara itu dengan patuh.
Â
Lantas aku mulai menelusuri kamp tersebut, sembari bersembunyi di balik pepohonan dan semak-semak yang rimbun, dengan diselimuti oleh kegelapan malam. Hingga aku sampai di salah satu tenda; aku mendengar sebuah percakapan para tentara, yang membahas sebuah proyek rahasia militer, sekaligus laporan mengenai kronologi bencana yang telah menimpa desaku.
Â
Kemudian aku mengintip - dengan hati-hati - melalui jendela tenda itu. Di dalam sana aku melihat seorang tentara - kemungkinan seorang pemimpin di kamp tersebut - sedang berbincang-bincang dengan beberapa rekannya, yang terlihat seperti petinggi militer. Lantas, karena merasa penasaran, aku mulai mendengarkan percakapan mereka. Untungnya penjagaan tidak terlalu ketat. Mungkin karena mereka telah mengira bahwa seluruh penduduk desa telah mati, sehingga mereka merasa bahwa tidak ada pengganggu yang dapat mendengarkan percakapan rahasia mereka. Atau mungkin, mereka semua sedang sibuk mengurusi makhluk-makhluk itu.
Â
Setelah aku mendengar semua percakapan mereka, aku mendapatkan sebuah informasi yang sangat mengejutkan, atau lebih tepatnya sebuah kebenaran yang gila. Ternyata pesawat yang waktu itu jatuh di desaku adalah pesawat militer yang sedang mengangkut banyak tabung berisi virus, menuju ke markas rahasia militer yang terletak balik gunung, tempat desaku berada. Namun karena kesalahan teknis, telah menciptakan sebuah ledakan di salah satu baling-baling pesawat, sehingga pesawat itu jatuh di desaku. Selain itu, pesawat tersebut dijadwalkan tiba di markas rahasia militer pada dini hari, tapi terlambat selama empat jam dengan alasan yang kurang jelas. Alhasil, mereka masih melakukan penyelidikan lebih dalam, mengenai penyebab dari ledakan dan keterlambatan tersebut.
Â
Virus itu adalah sebuah senjata biologis yang menjadi salah satu proyek pengembangan senjata militer. Setiap orang yang terinfeksi oleh virus tersebut, maka dia akan menjadi agresif dan tidak terkendali. Lalu dia akan menyerang siapa saja yang dia temukan, kemudian menganiaya dan mencabik-cabiknya. Bahkan, virus tersebut dapat membuat si korban berevolusi menjadi sebuah monster yang lebih ganas dan memiliki kecerdasan seperti manusia, atau - mungkin - dapat melampauinya. Walhasil, mereka menamai orang yang terinfeksi tersebut sebagai ThirÃo dengan kode TH-096. Mereka yang sudah terinfeksi tidak dapat disembuhkan, sehingga satu-satunya cara adalah membunuhnya. Walakin, mereka dapat dijinakan seperti binatang peliharaan. Tetapi orang yang bisa menjinakannya hanya orang-orang tertentu, yang sudah terlatih dari pihak militer.
Â
Sewaktu pesawat itu jatuh di Desa Pyawwtae, secara otomatis telah merusak semua tabung berisi virus tersebut, sehingga virus mulai menyebar keluar. Pada awalnya virus itu menginfeksi beberapa awak kapal yang selamat dari kecelakaan tersebut. Namun keadaan semakin memburuk, setelah para penduduk desa berdatangan untuk menolong, sehingga para awak kapal - yang sudah terinfeksi - mulai menyerang mereka. Karena virus tersebut adalah senjata biologis, jadi virus tersebut dapat menyebar dengan sangat cepat. Walhasil, tidak butuh enam jam untuk bisa menginfeksi sepertiga penduduk Desa Pyawwtae.
Â
Kemudian, mereka juga menegaskan bahwa mereka memang diperintahkan untuk tidak menyelamatkan para penduduk desa. Karena itu dapat membocorkan proyek rahasia mereka ke publik. Maka itulah mereka memutuskan jaringan komunikasi dan listrik di Desa Pyawwtae. Kalakian, mereka juga menutup segala akses transportasi ke desaku, agar tidak ada orang luar yang dapat memasuki Desa Pyawwtae. Mereka melakukannya dengan membuatnya seperti sedang terjadi sebuah bencana alam, sehingga tidak terlihat seperti penutupan akses transportasi.
Â
"Hei! Siapa di situ!"
Â
Tiba-tiba terdengar suara orang yang menggertakku. Lantas, tanpa berpikir panjang atau melihat sekelilingku, aku langsung bergegas lari masuk ke dalam hutan. Kemudian para tentara itu mulai menembak ke arahku dengan membabi buta, sehingga aku mendapat tiga butir peluru di tubuhku. Alhasil, aku terjatuh ke tanah dan - tidak kuduga - ternyata itu adalah dataran miring, yang mengirimku ke dalam jurang yang gelap.
Â
****
Â
Setelah aku terbangun dari kegelapan, aku menyadari bahwa diriku telah berada di sebuah hutan yang terletak di perbatasan desaku dengan desa tetangga. Akan tetapi, aku telah mendapati sekujur tubuhku yang penuh dengan luka, akibat terjatuh dari jurang. Aku berusaha untuk bangkit, tapi rasa sakit telah menyiksaku dengan sangat kejam. Aku tidak dapat menggerakkan kedua kakiku. Setelah kulihat lebih jelas, ternyata kedua kakiku telah patah dengan sangat parah, sehingga aku dapat melihat kedua tulang kering dan tulang betisku yang menyembul dari kakiku, bersama darah yang mulai mewarnai seluruh kakiku menjadi merah. Walakin, itu belum seberapa buruk dengan tiga luka tembakan di tubuhku, dengan salah satunya telah mengenai dada kananku.
Â
Lantas, dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku menyeret tubuhku yang sekarat ini, menuju ke sebuah tempat yang menurutku aman. Akan tetapi, aku hanya mampu menyeretnya sepanjang tiga meter dari tempatku terbangun. Sebab, aku sudah tidak kuat lagi. Rasanya sangat sakit. Akhirnya, aku memutuskan untuk bersandar di salah satu pohon yang berada di dekatku.
Â
Kemudian aku langsung meraih ponselku, dan tidak kuduga bahwa aku telah mendapati sinyal di tempat ini. Meskipun sinyal tersebut tidak begitu kuat, tapi aku akan berusaha memanfaatkannya sebaik mungkin. Yang jelas, aku tidak dapat meminta bantuan. Karena pelaku di balik tragedi ini adalah pihak militer, yang sudah mungkin tidak bisa ditindak atau diharapkan.
Â
Akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan segala kesaksianku untuk ditunjukkan ke publik, mengenai tragedi yang telah menimpa Desa Pyawwtae, desaku yang tercinta ini. Setelah ceritaku berakhir, aku langsung bergegas mengunggahnya ke salah satu sosial media. Setelah semua itu telah berjalan sesuai rencana, aku hanya bisa menunggu sambil menikmati sisa nafasku.
Â
Selang beberapa waktu kemudian, aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahku. Aku mulai menyadari, bahwa ajal sudah dekat. Para tentara bersenjata lengkap mulai menghampiriku, yang sedang duduk tidak berdaya di bawah pohon. Setelah mereka merasa yakin bahwa aku adalah orang yang mereka cari, lantas salah satu dari mereka mulai berjalan mendekatiku. Kemudian dia mengeluarkan pistol otomatis dan mengarahkannya ke keningku. Aku hanya bisa menyaksikannya, sembari tersenyum kecil dan menutup kedua mataku. Setelah itu hanya ada kegelapan di pandanganku dan suara ledakan pistol.
Â
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H