Kabupaten Bandung, 1 Desember 2023 -- Desa Sapan, perlahan-lahan, telah menjadi narasi hidup bagi ribuan warga yang terus berjuang menghadapi cobaan yang sama setiap tahun: banjir. Bapak Sutrisno, seorang kepala keluarga berusia 45 tahun, membuka pintu rumahnya untuk berbicara tentang pengalaman hidupnya yang terpenuhi oleh air sungai yang tak pernah kenal lelah.
Duduk di ruang tamu yang seadanya yang telah beberapa kali menjadi arena pertarungan melawan genangan air, Bapak Sutrisno dengan lesu membuka pembicaraan. "Saya lahir dan besar di Desa Sapan. Ini tempat yang saya cintai, tapi belakangan, rasanya semakin sulit untuk mencintai kampung halaman ini."
Bapak Sutrisno menuturkan bagaimana banjir telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya dan keluarganya. "Saya tidak ingat kapan banjir pertama kali datang. Itu sudah seperti bagian dari kalender tahunan kami. Musim hujan tiba, dan air sungai naik. Musim kemarau datang, dan kami hidup dalam bayang-bayang ancaman musim hujan berikutnya."
Dia melanjutkan, "Ketika saya masih kecil, kami sering bermain di sekitar sungai ini. Itu adalah tempat yang penuh keceriaan. Tapi seiring berjalannya waktu, sungai ini menjadi semacam monster yang menghancurkan harapan kami setiap tahun."
Pertanyaan tentang upaya penanganan banjir dari pihak berwenang membuat Bapak Sutrisno menggelengkan kepala. "Mereka datang, melakukan proyek-proyek normalisasi, membangun tanggul, dan memberikan janji-janji manis. Namun, hasilnya belum pernah sesuai harapan. Banjir tetap menjadi mimpi buruk kami."
Bapak Sutrisno juga menyoroti dampak ekonomi yang terus melanda para warga Desa Sapan. "Saya bekerja sebagai buruh bangunan. Setiap kali banjir, pekerjaan terhenti. Baik itu proyek-proyek yang harus saya kerjakan atau pekerjaan lain di desa ini yang ikut terganggu. Pendapatan kami menurun, dan kebutuhan sehari-hari semakin sulit dipenuhi."
Ketidakpastian yang melekat dalam kehidupan sehari-hari di Desa Sapan membuat rencana dan impian keluarga Bapak Sutrisno seringkali terpaksa tertunda. "Saya bercita-cita untuk memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak saya. Tapi setiap banjir, kami harus menghabiskan uang untuk membersihkan dan memperbaiki rumah. Maka, pendidikan anak-anak saya menjadi taruhan," ungkapnya dengan suara yang penuh penyesalan.
Dalam kesendirian rumahnya yang kini menjadi panggung cerita hidupnya, Bapak Sutrisno menjelaskan tantangan psikologis yang harus dihadapi keluarganya. "Anak-anak saya takut dengan bunyi deras air yang melanda rumah kita. Saya dan istri berusaha menyembunyikan kekhawatiran kami agar tidak mengganggu mereka, tapi sejujurnya, setiap hujan deras, kami hidup dalam ketakutan."
Walaupun demikian, semangat perjuangan keluarga Bapak Sutrisno tidak pernah luntur. Dalam wajahnya yang penuh ketabahan, dia berbicara tentang upaya bersama warga Desa Sapan untuk saling membantu di saat-saat sulit. "Gotong-royong masih hidup di sini. Kami membantu tetangga membersihkan lumpur, menyediakan makanan bagi yang membutuhkan, dan saling memberi semangat. Itu satu-satunya cara kami bisa melalui ini."