Jejak mistis dipohon jengkolÂ
Berkutak setiap hari dengan rutinitas yang seabrek dari pagi sampai sore membuat hati sedikit Jenuh. Untuk itu malam harinya saya menyempatkan diri berkeliling Kandis bersama anak lajang saya sekaligus membangun kedekatan saya dengannya.Â
Sebagai seorang ibu, saya harus menyiasati bagaimana waktu yang sudah saya habiskan dengan rutinitas yang sibuk ini bisa tergantikan oleh waktu yang sedikit ini, walau adanya di malam hari sehabis Maghrib atau isya, untuk membina komunikasi yang lebih baik bersama si lajang.Â
Jadi tak jarang kami berlama-lama mondar mandir dijalanan pada malam hari sambil cerita ini itu layaknya ibu dengan anaknya. Anak saya pun tak malu membawa saya dengan sepeda motornya kemanapun saya inginkan. Dengan sabar saya jadi ibu sekaligus teman curhatnya dia, diatas motor tua yang kami punya.
Kadang malah dia yang mengajak saya keluar karena terkadang merasa sangat gerah dirumah. Atau ada sesuatu yang mau diceritakannya kepada saya, sebagai teman curhatnya. Suasana yang panas membuat kami semakin enjoy berlama-lama diluar rumah ketika malam hari. Terutama pada malam-malam dia tidak ada jam kuliyah.
Jadilah kami berdua ibu dan anak layaknya anak jalanan yang berkeliling sepanjang jalan. Dari ujung ke ujung kami sering berputar bolak balik dimalam hari. Sedangkan ayahnya di rumah bermain sama si kecil.Â
Anehnya, ketika itu waktu menunjukkan jam sepuluh malam. Kami sudah terbiasa melewati jalan menanjak yang ada ditepi kebun sawit itu. Memang ada rumah penduduk tapi letaknya agak berjauhan.
Nah pas lampu sepeda motor mengarah kebawah pohon jengkol yang ada dipinggir jalan menanjak itu, kami melihat sosok anak kecil dengan sangat jelas. Kami pun mau berhenti dan berusaha menaiki tanjakan itu. Dengan sorotan lampu sepeda motor yang terus mengarah ke tempat anak itu berdiri.Â
Dalam hati saya sangat penasaran. Anak siapa yang malam-malam ada dibawah pohon jengkol itu. Baru saja akan sampai disitu eh... tau-taunya sosok anak kecil itu sudah tidak ada.Kami berdua heran. Si lajangku terus mengegas sepeda motornya dengan sangat kencang.Â
Sambil bertanya kepada saya. " Bu itu tadi anaknya siapa ya." "Sudahlah nak kita jalan aja, dak usah dipikirkan. Mereka ada di alamnya kita pun ada di alamnya kita. Jadi kita tak ada yang saling mengganggu," saya jawab aja begitu. Untuk menghilangkan rasa penasarannya anak saya. Padahal bulu kudukku sudah berdiri. Iiih...serem...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H