Di perjalanan ini kulihat daun jatuh dan berguguran ke bumi. Terbang melayang bersama tiupan angin yang kencang. Bertumpuk lalu berserakan di atas tanah yang luas.Â
Daun jatuh melambangkan perpisahan antara pohon dengannya. Musim berganti, bak daun yang jatuh ke bumi. Lepas, melayang dan hancur tanpa bekas di sini. Semua akan berlalu terus begitu sampai waktu yang Tuhan tentukan.Â
Tak dapat dihindari karena semua itu sudah ditakdirkan akan seperti itu. Tak ada yang bertahan selamanya jika waktunya sudah tiba. Walau sekuat apapun daun berpegang kepada dahan jika sudah datang waktunya tanpa angin pun dia akan terbang melayang.Â
Menuju tempat peraduan dan terbaring indah di sana sampai hancur jadi humus. Cacing tanang akan menikmati setiap kehancuran itu dengan gembira ria. Berpesta pora dengan rezeki yang datang kepadanya.Â
Nasib daun tinggal sekedar nama bahkan tak lagi di kenang kalau dulu dia pernah ada di tempat terindah. Menyaksikan setiap pancaran sinar mentari yang datang kepadanya. Tersenyum indah bersama kicauan burung yang bertengger dihamparannya.Â
Saat terlepas dari ranting yang lemah, nasibnya perlahan berubah, seiring warna yang dia punya. Hijau, menguning lalu membusuk dan tertusuk. Ribuan telapak kaki bahkan tak enggan untuk menginjaknya. Tak peduli seberapa sakit yang ia rasa.Â
Beginilah nasib daun yang malang. Kadang bukan hanya diinjak, tapi disulut dengan api yang sangat panas, hingga jadi abu dan debu yang berterbangan. Daun menyadari hidup itu tak selamanya indah dan akan terus menari di sana. Tapi ada saatnya semua akan kembali ke habitatnya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI