Mohon tunggu...
ellyzan katan
ellyzan katan Mohon Tunggu... -

Alumni Universitas Islam Riau. PNS di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab. Kep. Anambas, Provinsi Kepulauan Riau.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Ada Lapangan, Pantai Pun Jadi

9 Januari 2014   11:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

TAK ADA LAPANGAN, PANTAI PUN JADI

Oleh: Ellyzan Katan

Kebutuhan akan fasilitas umum bagi setiap daerah, di mana pun berada, pastilah sama. Masyarakat akan membutuhkansarana untuk berolah raga, berkumpul dengan sesama, memberikan pendidikan umum terhadap anak-anak, dan tentunya menjadi tempat bertukar informasi serta pengalaman antara satu keluarga dengan yang lainnya. Yang pasti, keberadaan sarana publik, dalam segala bentuk menjadi suatu hal yang mutlak dalam pengembangan suatu daerah. Namun tidak demikian hal yang terjadi di Desa Terempa Timur, Kec. Siantan, Kab. Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau. Desa yang dikenal desa di atas air itu hanya memiliki satu lapangan bola yang sebenarnya patut disebut lapangan pasir, karena lapangan itu dipenuhi oleh hamparan pasir yang mirip tepi pantai.

Bila dipijak terasa lebut dan sangat gembur. Tentunya lapangan bola yang tidak memenuhi standar itu menjadi rebutan bagi penduduk dalam melakukan aktifitas olah raga. Sementara dari jumlah penduduk, Desa Terempa Timur telah mencapai 378 jiwa. Akibatnya banyak generasi yang masih dianggap anak-anak, tidak mendapatkan jatah bermain di lapangan faporit itu.

Kebanyakan dari anak-anak Antang, salah satu kampong di Desa terempa Timur, memanfaatkan pantai sebagai lahan bermain. Mereka lebih leluasa berlari di tepian pantai yang sedang surut tanpa membimbangkan soal apa pun. Tidak ada yang menggangu. Tidak ada yang harus dihiraukan. Dan yang paling menyenangkan adalah, di saat bermain, mereka tenggelam dalam suasana. Ada genangan air yang sesekali membuncahkan lumpur ke badan. Dan ada kulit-kulit kerang yang sesekali mengganggu telapak kaki. Untungnya tidak ada kaki yang sampai terluka. Ya, barangkali bermain di tepi pantai yang sedang kering lebih menyenangkan jika dibandingkan bermain di lapangan pasir.

Ada hal menarik untuk dicatat ketika menyaksikan kesibukan anak-anak bermain di tepi pantai. Mereka seolah berlomba dengan waktu. Ketika air pasang, semuanya harus berhenti bermain. Padahal, mengingat di laut Cina Selatan sekarang sedang berada dalam musim Utara, angin berhembus kencang, hujan tumpah terus, suhu terjun bebas, dan yang paling parah, jadwal surutnya air laut menjadi tidak jelas.

Itulah sebabnya, mereka harus bergerak cepat. Bila air laut sedang surut, ramai-ramailah mereka berteriak, “Serbuuuuu!!!” dua tiga orang akan langsung bermain di pantai sedikit berbatu itu. Dan yang paling menegangkan, ada di antara anak-anak seusia sekolah dasar itu yang langsung terjun dari pelantar (jembatan). “Maiiiiiiinn!!!”

Mereka pun langsung bertemu di tengah hamparan pasir basah yang baru saja ditinggalkan air laut. Seolah tidak terganggu dengan waktu yang menjelang maghrib, kesibukan mereka benar-benar begitu semarak. Ya, semarak menghabiskan waktu. Dan tentunya semarak bermain di tepi pantai.

Sepertinya, tidak ada lapangan bukanlah menjadi soal. “Kami masih ada pantai yang dapat dijadikan pengganti lapangan.

Tepi pantai saat air laut sedang surut. Di sinilah anak-anak Antang bermain. Terkadang mereka menghabiskan waktu hingga menjelang maghrib.

Untuk sebagain orang, kondisi yang terdapat di Antang ini memang agak sulit untuk diterima. Bukan mengapa, tepi pantai yang biasa dijadikan sebagai sarana bermain ini tidak seperti lapangan futsal di kota-kota besar sana. Tidak ada karpet, tidak ada pelindung dari panas atau hujan, dan tentunya tidak adapendingin ruangan. Yang ada hanya sedikit hamparan pasir putih, berbatu, dan tentunya basah. Air laut masih meninggalkan jejaknya di pasir.

Namun bukan itu yang menjadi soal. Catatan pentingnya adalah ketersediaan sarana untuk bermain dalam bentuk apapun akan sangat membantu dalam proses kreatifitas seorang anak. Ha, mudah-mudahan dalam jangka waktu beberapa tahun belakang, belum akan ada yang membangun. Maklum, lokasi seperti terlihat di gambar atas adalah lokasi orang lain. Bukan lokasi yang tidak bertuan.

Bila sang tuan hendak membangun, timbullah pertanyaan. “Ke mana kami akan bermain? Kami sudah tidak ada pantai lagi.” Sungguh menyedihkan. Untuk daerah baru seperti Kepulauan Anambas, ketersediaan sarana publik masih belum bisa terpenuhi secara maksimal oleh pemerintah daerah. Ini bukan disebabkan tidak adanya lahan, dana,atau apa pun namanya, melainkan belum terpikir untuk sampai ke situ. Pasalnya, daerah yang memiliki nilai ekspor ikan napoleon yang lumayan besar itu masih sibuk berbenah dari sisi infrastruktur kunci, jalan, pelabuhan, gedung perkantoran pemerintah, dan pendewasaan dalam berpolitik. Khusus untuk memberikan lapangan yang sedikit nyaman bagi anak-anak di kampong-kampong, masih berada dalam antrian.

Hanya saja kapan, entahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun