Apa jadinya jika jiwa yang lembut, bahkan sangat lembut itu ditampar dengan kekerasan yang tiada lembut-lembutnya?
***
"Kalau lihat si ibu marah-marah ke anaknya gitu orang lain kayak juga berfikir kalau itu anak tiri/angkat. Padahal anak kandung.....ya walaupun anaknya kadang agak bandel, cuma metode pendidikannya aja yang menurut saya kurang pas."
Dari seseorang yang berbagi cerita kepada saya, tentang seorang ibu yang sering memarahi anaknya.
"Saya cuma kasian liatnya, kadang si anak sampai ngejar ibunya sambil minta maaf." Lanjutnya.
"Hmm... malah pas anaknya ke dapur nyari makan aja juga dimarahi, padahal klo ibu liat anaknya makan banyak kan malah seneng."
Saya menyimaknya, dan selintas bayangan tentang itu muncul. Bagaimana bisa? Tak adakah rasa bersalah selepas marah? Pernah seorang ibu juga bercerita kepada saya, bagaimana anaknya begitu memancing kesabarannya hingga meletuplah amarah itu. Tapi setelah itu, si Ibu merasa bersalah. Ia memandangi anaknya setiap malam kala tidur dan meneteslah air matanya sebagai wujud penyesalan.
Rasulullah SAW. pernah menegur Ummu Fadhl ketika merenggut anaknya secara kasar karena pipis di dada Rasulullah. "Pakaian yang kotor ini dapat dibersihkan dengan air," kata Rasulullah Saw, "tetapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan jiwa anak ini akibat renggutanmu yang kasar?" Ust. Mohammad Fauzil Adhim--Saat Berharga untuk Anak Kita.
Dari Rasulullah SAW lah kita harus banyak belajar tentang bagaimana seharusnya akhlak kita terhadap anak-anak. Marah memang hal yang manusiawi, tapi mengedepankan nafsu tanpa mempergunakan akal apakah masih bisa dikatakan manusiawi?
Sungguh bukan fisik itu yang saya takutkan terluka. Tapi ruh dan jiwa yang berada di dalamnya. Pada jejak luka yang bisa saja tertinggal, akan berbekas pula pada karakternya mendatang. Dan satu hal yang saya khawatirkan, yaitu mengerasnya fitrah hati yang lembut.
Waktu mendengar cerita yang demikian, kadang ingin rasanya pada saat itu memeluk dan mengenggam tangannya. Tidakkah kamu juga merasa seperti itu? Tapi entah saat itu pula setengah tubuh kita mengalami hemiparesis. Sebagian terasa melemah, namun tak sepenuhnya lumpuh. Kita hanya mampu menatap opera yang begitu menyayat hati, yang tak jarang membuat air mata tertahan. Dan lagi, kita kehilangan momen untuk melindungi ruh dan jiwa itu. Begitu banyak alasannya. Satu hal yang pasti, kita tidak berdaya.
Karena hampir sebagian kita hanya mampu menjadi penonton, begitu juga dengan saya pada suatu ketika saat melihat hal yang sama. Saat di tempat umum, saya melihat seorang ibu memarahi anaknya karena minta dibelikan sesuatu...Namun ibu itu justru memakinya dengan kata-kata yang buruk. Bodoh, cerewet, cengeng, dan beberapa kata yang sangat menyakitkan hati bahkan saking marahnya si Ibu mencubit anaknya sampai menangis. Apapun itu sungguh tak benar menurut saya, apalagi di depan umum. Dan pada kasus yang baru saja saya ceritakan, itu bukan pula wilayah saya, untuk melakukan sebuah tindakan pada "sang ibu dan sang anak tersebut", karena kami baru saja saling melihat. Dan belum saling mengenal.