Mohon tunggu...
Elly Suryani
Elly Suryani Mohon Tunggu... Human Resources - Dulu Pekerja Kantoran, sekarang manusia bebas yang terus berkaya

Membaca, menulis hasil merenung sambil ngopi itu makjleb, apalagi sambil menikmati sunrise dan sunset

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Yuk Sanah dan Wisma Itu

23 September 2011   13:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:41 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dia berdiri disana telah sejak lama. Tak sekedar berdiri, kadang terbungkuk. Kadang berjongkok lalu berdiri lagi dan berjalan hilir mudik. Tentu saja. Sebab dia Yuk Sanah, salah seorang petugas kebersihan wisma itu. Ya, wisma itu. Sementara tulisan ini sedang anda baca, Yuk Sanah masih berada disana. Tugasnya belum selesai. Hari ini dia kebagian shift siang hingga malam. Paginya, dia masih sempat mencucikan baju tetangga sebelah rumahnya.

Jangan tanya soal gonjang-gonjing seputar wisma itu padanya. Yuk Sanah tak akan menjawab. Dia tak begitu paham soal berita santer pembangunan wisma itu. Bukan saja karena ia tak begitu tahu,  juga karena dia nyaris  tak memiliki waktu untuk ikut menggunjingkan wisma itu.

Di kepalanya cuma ada dua kata, berkerja dan duit. Maka dia bekerja dengan penuh semangat meski keringatnya bercucuran dan dahinya berkernyit. Sebab setelah berkerja (menyapu, menyiram tanaman di wisma itu) dia akan mendapat bayaran atas pekerjaannya. Setelahnya, akan ada beras, meski beras apek,  yang bisa ia masak di rumahnya. Ada sabun mandi  dan odol murahan di kamar mandi. Dan ada sedikit uang untuk jajan dua orang anaknya. Begitulah nasib Yuk Sanah yang harus bertarung hidup semenjak ditingal sang suami oleh kecelakaan tanpa santunan itu.

Angin mengenai wajah Yuk sanah. Perempuan itu menyipitkan matanya. Bukan. Bukannya Yuk Sanah tak paham pada berita yang sesekali ia dengar lewat angin soal Wisma itu. Hanya, ia enggan untuk bicara. Toh tak ada yang bisa ia lakukan kecuali berdoa agar pembangunan wisma itu berjalan lancar dan iapun lancar menerima gaji.  Setelah itu, semoga Tuhan memberikan jalan terbaik bagi terungkapnya kebenaran atas wisma itu. Itulah doanya.

Tepat ketika Yuk sanah melepaskan doanya itu, saya melunglai.  Saya terkulai oleh sinar mata Yuk Sanah yang tadi menyipit. Sinar mata yang seolah berkata,

"Dasar kau wartawan racun..., kerjamu cuma menambah runyam masalah....".

Kamera yang saya pegang jatuh seketika. Padahal, perempuan itu tak mengatakan apa-apa. Bahkan memandang sayapun tidak. Sungguh, kasihan sekali Yuk sanah. Begitukah ? Bukan, sungguh kasihan pada saya. Saya yang hanya bisa menggunjing dan  meributkan pembangunan Wisma itu tanpa bisa memberi solusi. Padahal ada berpuluh bahkan beratus orang kecil serupa Yuk Sanah yang  meletakan harapan hidup di Wisma itu.

Oh, saya kehilangan kata-kata untuk menuliskan berita saya atas wisma itu. Padahal hari ini saya baru menulis dua berita tentang gonjang-ganjing seputar wisma itu. Oh, tidak....

Hanya kisah yang dibawa ilalang. Ilalang yang tumbuh di sekitar wisma itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun