Ketika malam ini tiba dengan suara cicak terdengar di dinding kamarku, tiba-tiba saja aku diingatkan pada sebuah rasa yang telah lama kupunya. Aku muak. Muakku sudah memuncak. Tak lagi sekedar merasa jengah atau muak yang biasa. Tapi muak yang sebenarnya muak. Muak padamu. Muak padanya. Muak pada mereka. Bahkan muak pada diriku sendiri. Taukah kau, aku muak ? mungkin tidak. Dari luar, aku terlihat biasa-biasa saja. Betapa kesan mudah ditipu oleh penampilan.
Taukah kau bagaimana rasanya muak yang sebenarnya muak ? Kuberi tau kau. Mendekatah, kubisiki....
"Bila kau enggan dengan semua hal, dengan rasa ingin menendang semua hal di dekatmu. Lalu kau enggan memandang dirimu di cemin, itulah muak yang sebenarnya muak...."
Bagaimana, kau pernah merasa begitu ? Kalau belum syukurlah. Artinya muakmu belum memuncak. Taukah kau mengapa aku muak yang sebenarnya muak.... ? Karena....., karena kata-kata sampah selalu terdengar. Apa saja yang kulihat, dimana saja aku berada, kata itu terdengar. Terdengar dengan lantang dan membahana. Sampah !. Sampah ! Sampah!. Begitulah katanya. Taukah kau suara siapa itu ...? Akan kuceritakan padamu, sebentar lagi.
Ya, kata sampah itu berasal dari sesuatu. Sesuatu yang menari di kepalaku. Sesuatu di kepalaku itu menganggap semua hal yang kulihat adalah sampah. Bahkan suara itupun mengatakan kalau dirikupun sampah. Bagaimana aku tidak muak pada semua hal, bahkan kepada diriku sendiri..!?. Semua yang kulihat telah menjadi sampah. Bahkan aku melihat diriku telah menjadi sampah. Sampah terhitam dan terkotor yang pernah ada. Sebab itulah aku muak. Muak yang sebenarnya muak.
Suatu hari, akan kuceritakan lagi sebab kenapa suara itu berkata "Sampah". Kau, sering-seringlah berkunjung kemari. Kisah ini akan terus berlanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H