Mohon tunggu...
Elly Suryani
Elly Suryani Mohon Tunggu... Human Resources - Dulu Pekerja Kantoran, sekarang manusia bebas yang terus berkaya

Membaca, menulis hasil merenung sambil ngopi itu makjleb, apalagi sambil menikmati sunrise dan sunset

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Taukah Kau, Aku Muak ?

9 Juli 2011   12:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:48 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ketika malam ini tiba dengan suara cicak terdengar di dinding kamarku, tiba-tiba saja aku diingatkan pada sebuah rasa yang telah lama kupunya. Aku muak. Muakku sudah memuncak. Tak lagi sekedar merasa jengah atau muak yang biasa. Tapi muak yang sebenarnya muak. Muak padamu. Muak padanya. Muak pada mereka. Bahkan muak pada diriku sendiri. Taukah kau, aku muak ? mungkin tidak. Dari luar, aku terlihat biasa-biasa saja. Betapa kesan mudah ditipu oleh penampilan.

Taukah kau bagaimana rasanya muak yang sebenarnya muak  ? Kuberi tau kau. Mendekatah, kubisiki....

"Bila kau enggan dengan semua hal, dengan rasa ingin menendang semua hal di dekatmu. Lalu kau enggan memandang dirimu di cemin, itulah muak yang sebenarnya muak...."

Bagaimana, kau pernah merasa begitu ? Kalau belum syukurlah. Artinya muakmu belum memuncak. Taukah kau mengapa aku muak yang sebenarnya muak.... ?  Karena....., karena kata-kata sampah selalu terdengar. Apa saja yang kulihat, dimana saja aku berada, kata itu terdengar. Terdengar dengan lantang dan membahana. Sampah !. Sampah ! Sampah!. Begitulah katanya.  Taukah kau suara siapa itu ...? Akan kuceritakan padamu, sebentar lagi.

Ya, kata sampah itu berasal dari sesuatu. Sesuatu yang menari di kepalaku. Sesuatu di kepalaku itu menganggap semua hal yang kulihat adalah sampah. Bahkan suara itupun mengatakan kalau dirikupun sampah. Bagaimana aku tidak muak pada semua hal, bahkan kepada diriku sendiri..!?. Semua yang kulihat telah menjadi sampah. Bahkan aku melihat diriku telah menjadi sampah. Sampah terhitam dan terkotor yang pernah ada. Sebab itulah aku muak. Muak yang sebenarnya muak.

Suatu hari, akan kuceritakan lagi sebab kenapa suara itu berkata "Sampah". Kau, sering-seringlah berkunjung kemari. Kisah ini akan terus berlanjut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun