Hujan sedang turun. Tepat saat jari-jemariku ingin menulis di dinding ini. Tak ada yang istimewa dengan hujan itu. Suara tetesnya terdengar biasa saja. Hanya, sesekali terdengar pula suara guruh menderu diantara rinainya. Seperti tangisan langit. Sedang Mona, entah dimana. Mona telah pergi. Maka bagiku, hujan ini seperti tangisan Mona.
"Mona Kenapa ? Mona dimana ?.., suaramu terdengar diantara rinai hujan itu.
Maaf, aku tak punya waktu lagi untuk menjawab pertanyaanmu. Sebab waktu telah membeku di jantungku. Kalau kau mau. Carilah Mona disana. Pada dinding menganga yang bercerita tentang Mona. Mungkin disana. Disana. Atau disana.
Sebelum hujan ini reda dan aku pergi. Kukatakan padamu...., Mona adalah cinta yang menganga ketika luka tak lagi miliki makna. Mona adalah rasa lelah setelah terbang tinggi dan jauh hingga sayap tak lagi bisa dikepakkan. Sedang kau, seperti yang pernah kukatakan, kau hanya benalu. Benalu di pohon itu. Bagaimana kau paham makna lelah setelah terbang tinggi dan jauh yang Mona rasa, sedang sayap kau tak punya ...!?
Maka Monapun berkata, "Siapakah kau dan aku..?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H