Tiba-tiba saya merasa semriwing membaca membaca tulisan admin Kompasiana, lupa judulnya. Pokoknya pemantik topik Pilihan Ini. Seandainya bisa ingin saya katakan, ah min, kamu berhasil memancing saya. Meski biasanya saya kurang tertarik menulis dengan tema-tema yang sudah ditentukan, baeklah, saya ikut kali ini.Â
Sejujurnya sebelum topik ini muncul di Kompasiana, saya juga sudah mendengar keluhan tersebut. Kebetulan saya seorang afiliate di tiktok, mau gak mau, sering terperosok melihat hal-hal yang viral, apa saja. Sebab muncul terus di timeline saya.
Termasuk si bapak pemilik Cafe yang mengeluh, mengharapkan agar mahasiswa yang bergerombol tersebut, mbo yao beli dong minuman atau makanan disana. Masak rame-rame ngerjain tugas berjam-jam, kadang sampai cafe mau tutup pun harus menunggu mereka, yang beli cuma 1 (satu) orang ? Nah kan itu bikin cafe rugi. Kata si Bapak tersebut.
Ya saya paham, dan bisa  membayangkan. Tetapi sejurus kemudian, seketika saya teringat masa-masa puluhan tahun lalu. Saat dimana saya pada tanggal-tanggal muda menunggu dengan harap-harap cemas kiriman wesel pos dari kampung. Kiriman bapak saya, yang cuma 75 ribu. Psttt, tenang angka itu belum cukup melarat, mengingat ada teman saya yang dikirim bapaknya cuma 50 ribu. He, bayangkanlah itu tahun berapa (Ah, masih muda kok saya, he).Â
Meski prihatin, saya mengenang masa-masa itu dengan indah, dengan semangat egaliter, yupz. Makan di warteg kampus, saya ingat nama Wartegnya " Warteg Bu Wito". Menunya cuma sayur gori dan goreng tempe, menghemat. Sebagai menu tambahan kalau-kalau malam saat belajar atau mengerjakan tugas saya lapar, saya beli beberapa bungkus mie instan, merknya Super Mie. Haha, saat itu hanya ada itu saja mie instan.Â
Andai pada masa itu sudah marak cafe-cafe dengan free wifi seperti saat ini, mungkin sesekali saya juga akan ikut ajakan teman saya untuk ngumpul di cafe anu, cafe itu, mengerjakan tugas. Dan sangat mungkin saya juga tidak akan beli makanan atau minuman disana, meski saya sangat ingin. Alasannya sebab saya harus hidup sederhana dan ngirit. Tetapi sesekali pastilah saya beli, ice lemon tea atau kopi hitam tanpa gulanya.Â
Kemudian kalau kembali ke masa kini, ke isu yang lagi naik daun, fenomena mahasiswa rame-rame ngumpul di Cafe ngerjain tugas tapi gak pesan makanan dan minuman, kalaupun pesan paling 1, 2 orang. Dan kondisi seperti itu jika terus menerus merugikan bagi pengusaha cafe. Bikin mereka empeg. Pengeluaran gak imbang dengan pemasukan dan berpotensi merugi.
Sampai disini saya agak sebal juga. Sebal pada situasi tersebut. Seharusnya ya win-win solution. Pihak cafe kasih diskon harga khusus mahasiswa, jadi mahasiswa yang mungkin saja kebanyakan adalah anak rantau, atau mahasiswa yang keuangannya tipis tertolong. Di sisi lain. mahasiswa mbo yao tahu diri juga, kalau sudah ada kemudahan, diberi harga khusus untuk mahasiswa ya belilah makanan dan minumannya.
Saya bayangkan sejatinya pengusaha cafe harus bersyukur kalau cafenya dijadikan tempat ngumpul mahasiswa untuk mengerjakan tugas, kenapa ? ya dengan adanya mahasiswa yang ramai, cafenya jadi rame. Para Gen Z itu bisa menjadi agen promosi secara tidak langsung. Lah ihat saja postingan di sosmed mereka, entah IG, tiktok, dll. Biasanya suka tampil tu, lagi bikin tugas, jepret. Tak lama kemudian Tampil suasana sibuk, laptop menyala,  minuman, entah jus atau es kopi, dan tentu saja nama cafe akan disebutkan. Kan, kan.
Saya melihat Kebanyakan cafe di Palembang sudah mulai mengusung konsep paket Co Working space untuk mahasiswa. Mereka menyediakan ruangan dengan kursi dan meja yang sangat mendukung suasana belajar dan tugas kelompok. Ada free Wifi, ruangan AC, colokan charger laptop dan HP disediakan banyak, interior yang cakep dan bikin nyaman. serta tentunya makanan dan minuman dengan harga bandrol untuk mahasiswa.Â