Dulu setiap kali mendengar SJW, pikiran dan telinga saya selalu beda frekwensi alias gak nyambung. Setiap kali mendengar atau membaca kata  "SJW" di twitter dan lain sebagainya, ingatan saya langsung hinggap ke "Sakit Jiwa", apalah coba!? Kan jauh panggang dari api.
Tapi itu dulu. Lama-lama saya kompromi juga. Saya mulai mencari tau apa itu mahluk yang disebut SJW.  Rupanya ya... barang lama, istilah baru. Kawan-kawan yang bergelut pada masalah kemanusiaan dan concern disana sekarang dilabeli  Sosial Justice Warrior (Pembela Keadilan sosial) disingkat SJW. SJW 4.0, ya SJW yang berada pada masa industrial 4.0, masa kini. Orang-orang yang perduli pada kelompok marginal, terpinggirkan dan kurang beruntung.
Dan istilah SJW sendiri kadang tidak disukai oleh orang yang melakukan aktivitas sosial tersebut. Katanya karena konotasi SJW itu agak negatif. Tidak lagi dimaksudkan sebagai orang/kelompok orang pembela keadilan bagi kelompok marginal dan terpinggirkan tadi. Tapi lebih kepada orang yang dianggap sok-sokan peduli. Peduli ecek-ecek karena ada kepentingan, katanya. Â Ketika di dunia sosmed orang-orang pembela ketidak adilan tersebut dijuluki SJW, ini menimbulkan ketidaknyamanan. Sebagian katanya menggerutu, ketika perduli kita langsung dijuluki SJW.
Buat saya pribadi, ya para aktivis haruslah tetap concern pada aktivitasnya. Concern pada niat suci. Perduli karena niat baik ingin menegakkan keadilan bagi orang/kelompok oarng yang termarginalkan tersebut. Soal konotasi negatif orang, ya tepiskan saja. Â
Lain halnya ketika aktivis memang ada kepentingan pribadi. Misal memuaskan kepentingan pihak donor. Pokoknya hajar bleh membela pihak yang bayar (kata sebagian teman-teman saya) dan abai pada kehati-hatian dan sikap bijak yang sejatinya harusnya juga menjadi pertimbangan. Â
Misal menampilkan ketidak adilan yang dilihatnya pada suatu kawasan konflik tanpa unsur kehati-hatian dan filter, tanpa cover both side kedua belah pihak yang bertentangan. Tak sependapat, langsung main blokir, wew. Dialah yang maha benar dengan segala cuitannya. Jika seperti itu, ya saya kira wajar akhirnya SJW itu punya konotasi negatif.Â
Jika istilah SJW kita kembalikan ke khittahnya, maka siapakah SJW 4.0 sejati kita hari ini ? Kita, maksudnya bagi kawan-kawan Kompasianer. Jawabannya bermacam-macam. Bagi saya pribadi kalau di Kompasiana, ya pak Bamset alias Bambang Setyawan. Pak Bamset Best Citizen Journalis and People Choice di Kompasiana Tahun 2016.Â
Pak Bamset yang sekarang menjauh dari hiruk pikuk  tapi tetap eksis membantu sesama di kawasan beliau tinggal. Orang tua jompo yang ditinggalkan sanak saudaranya. Nenek-nenek yang hidup sendiri di rumah tidak layak. Perawan tua  nestapa dan melarat yang ditinggalkan keluarganya. Embah-embah sepuh, tuli, melarat dan pikun dia bedah rumahnya mengajak beberapa orang yang perduli di sekitarnya.
 Â
Begitulah. Pahlawan SJW 4.0 hari ini adalah kamu juga. Kamu yang peduli pada sesama, tidak sekadar di dunia sosmed, utamanya di dunia nyata sekitar tempat tinggalmu. Perkara konotasi negatif, ah jangan ambil pusing. Semua kembali kepada niat dan cara yang baik.Â