Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.Dia di Waimital jadi petani
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk di bumi
Dia menggariskan strategi irigasi
Orang-orang menggali tali air irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi tiang lokal sekolah
Orang-orang memasang dinding dan atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi
Siang berangin ini, izinkan saya menulis tentang pertanian. Ya pertanian yang kita ketahui bersama adalah sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Hal yang membuat Indonesia dikenal sebagai Negara Agraris. Â
Berdasarkan Berita Resmi Statistik Agustus 2018, ada sekitar 28,79 persen penduduk Indonesia dengan lapangan pekerjaan utama di sektor Pertanian dalam arti luas (Pertanian, kehutanan dan perikananan). Menurut Survey Pertanian Antar Sensus  Tahun 2018, ada 33.487.806 penduduk berprofesi sebagai petani. Pada Tahun 2018 juga terjadi penurunan lapangan usaha pertanian sebesar 0,89 poin. Ya beberapa tahun belakangan ini, lapangan usaha pertanian semakin menurun peminatnya. Di Sumatera Selatan lapangan usaha pertanian Tahun 2018 menurun sebesar 1,68 persen dibandingkan Tahun 2017. Hampir kebanyakan kawasan lain  di indonesia mengalami hal yang sama.Â
Fakta di lapangan  menunjukkan bahwa sektor pertanian juga sektor yang paling sepi peminat dari kalangan muda. Para petani kita saat ini adalah angkatan kerja usia mendekati tua, melewati usia produktif. Sisanya adalah sedikit kaum muda yang kalah berkompetisi mendapat perkerjaan lain yang dianggap idaman sehingga terpaksa menjadi petani asal jadi. Pertanian adalah sebuah sektor yang tidak disukai kaum muda sebab dianggap berat, kotor dan jauh dari kata "keren", katanya. Maka dunia pertanian kita menjadi sektor yang semakin sepi sebab ditinggalkan kaum muda.Â
Tak ada jalan untuk menyongsong pertanian maju kita selain dengan melakukan Regenerasi Petani. Sebab di tangan pemudalah harapan itu diletakkan. Jika tidak ada generasi muda yang mau menjadi petani, maka siapa yang akan melanjutkan pertanian kita? Dengan bahasa yang lain, siapa yang akan menghasilkan produk pertanian kita?
Ada beberapa kisah heroik dan membanggakan tentang pemuda yang terjun pada dunia pertanian dan menjadi petani. Pikiran saya berkelebat pada sosok alm. Kasim Arifin. Tak banyak yang tau siapa beliau, kecuali sebagian kecil yang sempat membaca kisah heroiknya di Wai Mital, Pulau Seram. Bagaimana  Kasim Arifin yang ketika itu masih menjadi Mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) terjun menjadi pendamping dan sahabat petani pada proyek  pengabdian Mahasiswa yang sekarang menjadi Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk mengenalkan Teknologi baru Panca Usaha Tani. Kasim Arifin mahasiswa IPB yang  berKKN nyaris selama 15 tahun demi cintanya dan baktinya ia kepada dunia petani dan pertanian.Â
Bait bait prolog di atas adalah penggalan puisi dari Sastrawan Taufik Ismail untuk Kasim Arifin, mahasiswa IPB yang saat itu telah 15 tahun meninggalkan kampusnya menjadi petani di Wai Mital, sebuah kawasan Transmigrasi di Pulau Seram. Puisi yang dibacakan Taufik ismail pada hari wisuda IPB pada tanggal 22 September  1979. Kasim Arifin yang akhirnya memenuhi panggilan almamaternya untuk di wisuda dengan gelar "Insinyur Pertanian istimewa".Â
Perjuangan Muhammad Kasim Arifin mampu merubah kawasan tandus menjadi ratusan hektar kawasan pertanian yang subur dan hijau. Dia mengajarkan bagaimana bertani yang benar. Dia mengajarkan irigasi sehingga desa tak lagi tandus dan kering. Bahkan dia mengajar anak-anak petani membaca dan menulis. Kasim Arifin yang menjadi petani dan pendamping petani di Wai Mital.
Selain kisah Kasim Arifin, ada pula Bagas Suratman yang pada usia 29 tahun, delapan tahun lalu, banting setir menjadi petani di lahan tidur yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Bandara Soekarno Hatta. Bagas yang telah malang melintang melakoni banyak profesi hingga tersadar bahwa pertanian adalah sektor yang layak dicoba. Â Â