Dulu waktu saya masih remaja, masih kinyis-kinyis, saya dan hampir kebanyakan teman cewek seangkatan saya, suka pake bingit sama cowok yang bisa gitaran dan bisa bikin puisi. Tak jelas oleh sebab apa. Rasanya kalau  cowok jago puisi itu, pasti value added jadi naik.  Entahlah, he, rasanya romantis saja.
Puisi itu sepanjang pemahaman saya, memang memiliki kekuatannya sendiri. Dia bisa mempengaruhi dan memasuki bilik-bilik rasa penikmatnya. Maka zaman itu, kami suka puisi Sapardi Djoko Damono, Hujan bulan Juni. Suka puisi Chairil Anwar, Kepada Dien Tamaela, yang kami baca dari buku pelajaran sekolah, dan lain sebagainya.
Dalam KBBI Tahun 2016, puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima serta penyusunan larik dan bait; sajak. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa puisi memiliki keteraturan meskipun diciptakan secara bebas oleh penyair. Seyogyanya begitu.
Namun demikian, katanya penciptaan puisi pada masa ini berbeda dengan masa lalu, sebelum perkembangan ilmu pengetahuan dan seni mengalami kemajuan secara teknis. Bahkan sekarang Denny JA bikin puisi bentuk essay dan disebut sastrawan pula dia, hehe.
Apapun perkembangan zaman yang terjadi, menurut saya hal yang tidak berubah dalam puisi adalah dalam proses penciptaan puisi harus ada sebuah proses pengendapan di dalamnya. Puisi itu hasil pergulatan bathin penulisnya terhadap apa saja fenomena yang dia tangkap. Apa saja hal yang menghentak di jiwa. Oleh sebab itu, syarat keduanya puisi itu seharusnya dilandasi kejujuran. Kejujuran hati nurani.Â
Puisi pula, masih menurut saya, seyogyanya bebas dari tendensi khusus apalagi kepentingan pihak tertentu.Jika sebuah puisi dipenuhi tendensi khusus yang demi perebutan kue kekuasaan, ya itu yang disebut banyak pihak sebagai puisi yang dikebiri, bahasa lebih lebih seramnya diperkosa.
Diperkosa untuk kepentingannya dan kepentingan kelompoknya. Dan inilah yang banyak terjadi. Termasuk ketika politikus sekarang ramai-ramai mendadak gemar bikin puisi. Isinya protes, sindiran terhadap lawan politik.
Herannya kenapa kok politikus itu tidak protes secara terbuka berupa tulisan/artikel di surat kabar ya? Kalau tulisan bagus, dilengkapi data dan fakta yang bisa dipertanggungjwabkan kan keren, he. Tapi ya sudahlah. Mungkin tidak mau, mungkin juga tidak mampu.
Paling gampang memang membuat sindiran, atau omelan dalam kalimat-kalimat asal jadi. Lalu karena takut kena UU ITE, tak berani menyebut nama dan dibungkusnya dalam bentuk fiksi yang disebut puisi itu. Jeleger, dituitkan di twitter.
Kemarin sore, wakakakakaa, saya dibuat ketawa poll ketika menemukan entah pantun, entah puisi di timeline twitter saya. Puisi siapa...? Sabar, sabar, nanti akan saya tampilkan.
Sebelum saya menampilkan puisi yang membuat saya ngakak poll kemarin itu, saya mau menampilkan dulu puisi WS Rendra berjudul, Sebatang Lisong,
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!