Suketi perempuan setengah baya berwajah tirus itu menangis. Menangis dengan tangisan yang nyaris tak terlihat. Hanya, sembab di matanya menunjukkan bahwa ia telah menangis.Â
Di tangannya, sebuah pemantik terbuka penutupnya. Tanda bahwa pemantik itu baru saja ia gunakan.Â
Matanya menengadah memandangi kepulan asap yang mengapung ke udara. Ia memandangi kepulan asap itu begitu rupa, entah mengapa. Seolah sedang memandangi sesuatu dengan sebuah kelegaan. Bibirnya terbuka seolah sedang mengucapkan "Sampah, tetaplah sampah...pada saatnya ia harus dienyahkan"
Woy, bikin artikel biasa, jangan fiksi, suara-suara muncul di begitu saja. Ohhhh. Baiklah kawan, sepenggal fiksi tak jadi di atas adalah pembuka saja. Sebagai contoh bahwa Praktek Pembakaran sampah itu masih terjadi sampai saat ini. Masih banyak Suketi dan Suketo yang membakar sampah di halamannya. Pembakaran sampah di halaman rumah masih dilakukan oleh perempuan dan laki-laki, terutama di kawasan sub-urban seperti tempat saya tinggal ini.
Contoh nyata, tetangga depan rumah saya rupanya gemar membakar sampah. Heran juga, padahal di komplek tempat kami tinggal ini ada petugas sampah keliling. Tiap bulan kami bayar iuran, murah sih cuma 15 ribu/bulan. Mungkin karena datangnya petugas sampah itu terkadang dirapel 2 hari sekali, dia tak sabaran.Â
Tak pakai bilang dulu, Bapak/Ibu, saya izin mau bakar sampah rumput dll, silahkan jemurannya diangkat dulu, dia main bakar saja. Pulang ke rumah saya mendapati asap sedang mengepul dan jemuran saya bau asap, haiyah kerennn banget.
Soal banyaknya masyarakat membakar sampah ini, kelihatannya ini sejalan dengan data BPS pada publikasi berjudul Indikator perilaku Peduli Lingkungan Hidup Tahun 2014.Â
Pada pasal 29 ayat 1 butir g; Setiap orang dilarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah
Pasal 12 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang berkewajiban mengelola sampah rumah tangga dengan cara yang berwawasan lingkungan