Ketika musim kampanye tiba, entah Pilkada (Pilgub, Pilbub, Pilwali), Pilpres dan pil-pil yang lain, ramailah dunia kita. Termasuk dunia sosial media.
Utamanya dunia sosial media yang kita persingkat menjadi sosmed itu, jangan tanya. Anak saya bilang, rame pake bingits, cuy. Semua orang tiba-tiba menjadi pengamat politik. Hampir semua orang menjadi pakar. Pakar ekonomi, pakar politik, Bahkan ada yang menjadi pakar pengamat gestur tubuh, wow.Â
Banyak yang begitu. Ada yang sangar banget jadi pengkritik dan pengamat politik, Karena gak enak hati, mungkin karena ada yang mengingatkan, lalu dia buat status nyinyir politik itu memakai akun istrinya, halah.
- Memahami makna netral. Netral artinya tidal berpihak. Pilihan pasti ada tetapi tidak menjadi simpatisan kubu sebelah atau kubu sebelahnya lagi. Apalagi, jadi cebong, berudu atau kampret.
Kalau anda pejabat siap-siap tersingkir pertama ketika yang didukung kalah. Nah yang cuma prajurit, ngapain sibuk politik praktis di sosmed. Siapapun yang menang toh sudah ada takdirnya. Toh cicilan harus tetap dicicil, yang ada cicilan. - Fokus pada profesi. Tepatnya fokus pada tugas pokok dan fungsi. Anda digaji oleh negara dengan duit rakyat untuk melaksanakan tugas pokok dan fungi. Apalagi yang tugasnya langsung berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat. Jangan sampai melaksanakan tugas malas dan asal jadi, malah sibuk politik praktis.Â
- Yakin bahwa semua sudah ada masanya, sudah ada garisnya. Jika karena hati nurani anda mendukung si Ono bukan si Ini, ya doakan si Ono dengan setulus hati supaya menang dan ajak keluarga mencoblosnya pada hari H. Selebihnya serahkan pada yang di Atas.
Demikian. Bukan berarti yang ASN tidak boleh jadi pemerhati politik, sepanjang wajar dan tak melanggar rambu-rambu. Ini sudah dipraktikkan banyak kawan saya loh. Kalau masih nekat juga dan tak malu pada hati nurani, entahlah.Â
Berkata alhamdulillah saat menerima gaji 13, gaji 14 dan tunjangan yang lain, tapi jadi buzzer atau pengkritik. Sibuk debat cebong-kampret. Nekat begitu ya buatlah akun samaran. Misalnya penakluk iblis, pedang keadilan, misal.Â
Berharap musim kampanye yang riuh ini cuma fiksi, menyebalkan bagi saya. Lalu tangan saya meraih sebuah pempek dos hangat di meja. Ah malming yang indah.
Tiba-tiba, woy bangun, kata suara di kepala saya. Ealah. Salam kompak selalu, salam Kompal, salam Kompasiana. Salam Nusantara.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H