Mohon tunggu...
Elly Suryani
Elly Suryani Mohon Tunggu... Human Resources - Dulu Pekerja Kantoran, sekarang manusia bebas yang terus berkaya

Membaca, menulis hasil merenung sambil ngopi itu makjleb, apalagi sambil menikmati sunrise dan sunset

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Fenomena Boikot, Minder atau Iri?

2 Juli 2017   14:19 Diperbarui: 4 Juli 2017   11:17 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika jari jemari saya menuliskan tulisan ini, sesungguhnya saya sedang memboikot jalanan di luar rumah saya, sehari ini saja saya boikot tidak saya gunakan. He, pengen merasai bagaimana rasanya di rumah saja sambil melihat semua isu dan berita merangsek kepala saya melalui dinding-dinding laman web yang kau sebut sosmed, entah FB, IG, Twitter, path sampai WA. 

Wuih rasanya mak jreng jreng. Betapa memabukkannya suasana ngendon di rumah sambil melihat simpang siur isu itu. Isu dishare, dibahas rame-rame oleh yang paham, agak paham maupun yang tak paham. Lebih seminggu saya begini, bisa putus juga indra perasa saya alias oleng hehehe. 

Isu paling memabukkan itu adalah soal boikot starb*ck itu. Sungguh...saya jarang ngopi disana. Bukan saja karena mahal untuk ukuran kantong saya, juga ya..memang selera kopi saya kopi kampung, kopi rumah yang bisa saya buat berkali-kali semau saya, gratis pula. Sungguh juga, sayapun tak setuju dengan LGBT, wong saya perempuan normal. 

Tapi....seperti kata Buya Hamka, Agama itu tidak keras dan kaku. Agama itu bukan batu. Jikapun agama saya melarang LGBT, satu dua teman saya ada yang mengarah kesana dan tak bisa saya buang pertemanan dengan mereka begitu saja. Sebisa yang saya mampu, saya mengingatkan saja. Untuk boikot pertemanan, ah saya bukan ahlinya. Sepanjang mereka hidup bermanfaat dan gak bangga dengan kondisi mereka, pengen berubah, mereka tetap teman saya.  

Sumber Gambar: https://news.detik.com
Sumber Gambar: https://news.detik.com
Menyikapi isu boikot kedai starb*ck yang mulai membuat saya mabuk ini, ih apalah kita ini. Mikirlah banyak saudara kita yang bekerja disana. Trus, bilang kedai itu harus diboikot dan digantikan oleh pengusaha Muslim!? He mau bikin kedai kopi muslim ya bikin aja, sejak dulu seharusnya. Kalau enak dan murah pasti saya datangi. Tak perlu dengan bilang boikot ini, boikot itu, bersaing sehatlah.

Sungguh, Isu boikot itu sebab kita yang mayoritas ini merasa minder karena belum punya apa-apa atau karena iri !? Hm, rasanya agak kekanakan dan mau menang sendiri, grasa-grusu, juga gak produktif. Kelakuan seperti inilah yang harus diboikot. Boikot Pikiranmu. Gak sekalian boikot FB dll, itu co-foundernya katanya juga dukung yang ituh, he. Boikot. Boikot hatimu, loh 😁

Betapa memabukannya liburan lebaran sebab saya memboikot diri saya gak kemana-mana alias ngendon di rumah saja ini.  Cuma pendapat pribadi saja. Mohon maaf jika tidak berkenan. Salam boikot, eh salam kompak selalu. Salam Kompal. Salam Kompasiana. Salam Nusantara. 

NB : Gak perlu boikot. Soal ngopi di cafe, boleh baca tulisan saya DISINI

Sumber: Kompal
Sumber: Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun