" Sepertinya, sudah tidak ada harapan lagi bagi kita. Maafkan aku"
Kemudian bayangan itu menghilang  menuju gang sempit. Pria itu kemudian turut melengos, dengan kembali memakai helm hondanya tanpa kancing, mengayunkan kakinya untuk menghidupkan aset satu - satunya, motor butut supra yang dibeli sewaktu SMA dulu dengan jalan jualan lapak di marketplace.
Gerimis tidak akan mampu membasahi tubuhnya walaupun yang dia gunakan adalah setelan jaket parka kumal yang tipis. Dan angin tak mampu menerpanya sekalipun tubuh yang ringan itu tak pernah membebani sedikitpun dengan beban satir hidup.
Faktanya dia mengendarai dengan kecepatan 40km/jam . Disetiap langkah motornya menandakan bit bit lagu yang dia dengarkan lewat headset tape recorder dengan play list lagu Green Day. Diujung sana matahari sudah lumayan tenggelam cukup lama, tepat kaki itu hilang meninggalkannya senja turut menyeringai mengejeknya.
"Wake Me Up When September Ends" Menjadi penanda gerimis mulai deras dan menjelma  hujan. Dia paham betul Hujan di akhir Desember ini menjadi penanda untuk tidur panjangnya di awal tahun nanti.
Terlihat di ujung jalan, sebuah angkringan dengan seorang penjual paruh baya mengurungkan niat untuk menerjang hujan lebih jauh. Akhirnya pria itu kembali menstabilkan kecepatan motornya, perlahan sampai mesin terbatuk, hingga kemudian berhenti. Dituntunnya ke tempat teduh supaya hujan tidak sampai membunuh kendaraan kesayangannya itu.
"Kopi pak"
Sepertinya hujan akan bertahan lebih lama. Mau tidak mau dia harus tinggal lebih lama bersama secangkir kopi didepannya. Tanpa berpikir panjang, dia mulai menarik sebungkus rokok di saku jaketnya. Terlihat masih ada sisa satu disana. "Ada korek pak? "
Dia lumayan kesulitan menghidupkan rokok sial itu. Akibat hujan tadi mau tidak mau basah sedikit menodai batangan itu. Setelah perjuangan sekian lama, akhirnya dia bisa mengecap kembali aroma tembakau.
Satu sruputan kopi, satu isapan rokok.
"Fiiuuhhhh" terlihat bayangan itu kembali di kepulan asap rokoknya. Dia berusaha menepisnya saat bayangan lain justru mencuri perhatiannya.
Bocah kecil dengan tas karung yang dibuat slempang sedang meringkuk di atas kardus depan ruko yang sudah tutup. " Heh bocah, kemarilah! "
Si bocah yang samar samar mendengar sedikit menengok. Terlihat wajah kebingungan disana. Tapi setelah melihat isyarat mata dari si pria. Kemudian bocah itu berdiri dan mengambil ancang ancang untuk berlari.
"Kau sudah makan ha? "
"Belum bang"
"Pak, nasi kucing sekalian lauk, satu lagi mendoan"
.
.
.
.
.
"Mas, kamu tau ga pemandangan yang paling indah? "
Seketika aku berhenti sebentar dari kegiatan menyendok makanan didepanku. "Emm pemandangan paling indah ya, Kamu"
"Ih bukan itu maksudku mas" Terlihat jelas semu  merah jambu di rona pipi membentuk wajahnya semakin indah.
"Iya iya lalu apa? "
"Mas lihat disana" Aku melihat melalui arahannya. Disana hanya terlihat seorang Ayah, Ibu dan Bayi Batitanya. Si Ayah sedang makan seperti pada umumnya, kemudian si Ibu makan sembari menyuapi buah hatinya. Terlihat derai tawa di sela acara makan mereka. Aku kemudian menatap gadis didepanku kemudian tersenyum.
"Tidak ada yang lebih indah dari senyum mereka,  sang Ayah yang ketawa ketika melihat buah hatinya makan dengan belepotan, dengan ibu yang sabar membersihkan tumpahan makanan dari sang bayi. Semua tawa mereka  tulus. Ketika sang ayah pulang selepas bekerja. Ia tau bahwa sebaik baik tempat pulang adalah pelukan sang istri dan buah hatinya. Itu lah sebaik baiknya pelukan"
Aku dengan diam memperhatikan gadis yang telah berkisah tentang sebuah keluarga disana. Dengan tatapan kasih itulah aku melihat barangkali rumahku ada disana. Pelukan sebagimana dia maksud. Binar matanya mengisyaratkan kenyamanan. "Aku akan pulang sebagaimana dirimu sebaik baik pelukan" Ucapku dalam hati.
.
.
.
.
.
Kopi yang tersanding didepan pria itu tinggal setengah. Sang bocah juga telah menghabiskan makanannya. Dia tak paham betul apa yang telah dibicarakan si pria tadi. Tapi dia tau pria itu sedang mengisahkan sebagian jelajahnya dalam kanal kehidupan. Bocah itu ingin sekali menggerakan tangannya untuk mengambil setidaknya selembar mendoan didepan si pria. Tapi dia urung. Mengingat itu adalah mendoan terakhir. Dia lebih memilih untuk meneguk habis air mineralnya. Isapan terakhir dari pria itu menandakan perjamuan mereka juga akan usai. Dengan berat hati Sang bocah hanya memandang tak rela ketika pria itu beranjak berdiri.
Satu langkah.
Tiba - tiba hujan mengguyur dengan derasnya. Terbesit senyum dari wajah  sang bocah. Pria itu memutar badannya ke belakang. Kopinya tertinggal ampas disana.
"Sayang sekali kali ini tanpa rokok. Dan duit ku tak akan cukup lagi untuk membeli kopi, apakah kau masih sudi mendengarkan kisah pelukan itu? "
Anggukan puas disana.
Dan diam diam bapak penjual tersenyum, beranjak mengambil 3 gelas, menuangkan kopi lalu mengucurkan air panas dari termos nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H