Fitrah berlari cepat di koridor rumah sakit. Kakinya terus melangkah menembus orang-orang yang berlalu lalang. Kamar nomor 247, itu tujuannya. Masih 20 meter lagi di depan Fitrah. Matanya sembab, menahan butiran bening yang hampir menetes membasahi pipinya. Tanpa permisi, cowok berkulit putih itu langsung membuka pintu kamar itu. Ia terdiam melihat sosok yang terbaring lemah di hadapannya. Ia berjalan pelan, mendekat ke arah sosok itu. Butiran bening di matanya yang ia bendung sejak tadi, tak mampu ia tahan lagi. Fitrah menangis. Lidahnya kelu menyaksikan cewek yang sangat ia sayangi terbaring lemah di hadapannya dengan kepala diperban kain putih dan slang infus tersambung di punggung tangannya. Hati Fitrah pedih. Rasa sesal membayangi seluruh batinnya. Sejam yang lalu, Fitrah masih bersama Zahra, cewek yang terbaring lemah itu. Meraka baru kembali ke Jakarta setelah berlibur di Bandung kemarin.
“Aku ngantuk, ay,” Fitrah terngiang kata-kata Zahra sesaat setelah kereta yang mereka tumpangi melaju menuju Jakarta. Airmatanya kian meleleh. Ia teringat saat Zahra menyandarkan kepala di bahunya. Ia kembali teringat bagaimana Zahra tertidur di pundaknya. Tenang sekali wajahnya. Lalu semua bayangan tentang Zahra seolah berputar di hadapan matanya.
“Ay, tetep konsentrasi nyetir ya. Apapun yang aku lakukan ke ayang, ayang harus tetep konsentrasi nyetir.” Kata Zahra saat ia dibonceng Fitrah naik motor kemarin. Sejak pagi, Fitrah sudah sampai di rumah Zahra untuk merealisasikan rencana mereka untuk liburan ke Ciwidey. Dengan mengendarai motor, jam 10 pagi, mereka berangkat menuju tempat itu.
“Emanknya ayang mau nglakuin apa sih?” kata Fitrah sambil tertawa geli.
“Appaaaa ajaaaa yang mau aku lakukan. Hehehe “ Zahra tersipu malu. Pipinya merah. Itu yang membuat Fitrah selalu gemas padanya.
Sepanjang jalan yang mereka lalui, mereka isi dengan canda tawa. Perjalanan melelahkan selama satu jam pun tak terasa bagi mereka.
Zahra yang memang takut ngebut, memeluk Fitrah erat-erat saat mereka melewati jalan menanjak yang harus dilalui dengan kecepatan tinggi. Itu selalu ia ulangi setiap kali mereka melewati jalanan menanjak. Zahra, bisa dibilang masih seperti anak kecil. Bukan sifatnya, tapi fikirnya yang polos, yang lugu dan selalu berfikir positif terhadap orang lain. Banyak hal yang ia takuti. Badut, ketinggian, kecapatan, dan satu hal lagi, dia Ichthyophobia.
“Ayang belum mandi ya? Ko bau banget sih ya?” Fitrah jail saat mereka melewati peternakan ayam yang baunya minta ampun.
“Iiih, enak aja. Ayang tuh.” Zahra langsung merapatkan kepalanya di punggung Fitrah untuk menutupi hidungnya dari bau menyengat itu.
Fitrah jail. Ia mengurangi kecepatan motornya berulang kali saat mereka tepat berada di samping peternakan ayam itu.
“Ayang cepet. Baunya nggak nahan nih.” Ucap Zahra sambil terus membenamkan kepalanya.
Airmata Fitrah semakin deras meleleh. Kenangan itu, membuat ia semakin meridukan Zahra untuk kembali. Fitrah melangkah maju mendekati Zahra. Ia bersimpuh di samping Zahra yang masih menutup matanya. Diam tak bergerak.
“Zahra cintaku... Buka matamu, sayang. Kumohon” Ucap Fitrah lirih di dekat telinga Zahra yang masih terbaring lemah. Sekejap, rasa penyesalan menyerbu seluruh batinnya. Penyesalan yang teramat dalam.
Semuanya berawal ketika kereta yang mereka tumpangi melaju melewati stasiun Cikini. Zahra yang menjunjung tinggi akan kejujuran, meminta maaf pada Fitrah karena pernah mendua hati. Menduakan cinta Fitrah. Zahra bilang kalau ia pernah suka pada seorang cowok yang naksir Zahra. Ia kakak tingkat Zahra di kampusnya. Jika ia bertemu dengan cowok itu, teman-teman cowok itu selalu menyoraki mereka berdua. Meskipun dari awal Zahra tak punya perasaan apapun pada cowok itu, tapi lama kelamaan ada rasa aneh yang muncul di hati Zahra. Perasaan suka. Meskipun cuma sehari, tapi Zahra menceritakan kejadian itu pada Fitrah. Zahra terlalu jujur untuk semua hal. Sayangnya, ia tidak paham mana yang harus ia katakan dan yang harus ia pendam.
Dari sorot matanya, Zahra tahu Fitrah marah. Ada perasaan cemburu yang menyerbu hatinya.
“Tapi, ay. Aku Cuma sayang dan cinta sama ayang. Demi Allah.” Ucap Zahra waktu itu untuk meyakinkan Fitrah tentang perasaannya. Ingin rasanya ia memeluk Fitrah saat itu. Tapi selalu saja ada rasa malu yang menyelimuti hati Zahra untuk melakukan itu. Zahra tahu perasaan Fitrah, sekalipun ia menyembunyikannya.
Sesaat kemudian, kereta itu sampai di Stasiun Gambir dan tak lama setelah itu, Zahra pamit pulang ke tempat kosnya.
“Hati-hati di jalan,” kata Fitrah sambil melepas kepergian Zahra.
Dengan senyuman manisnya, Zahra meninggalkan Fitrah. Fitrah memperhatikan cewek yang baru saja meninggalkannya itu sampai ia lenyap di pintu keluar stasiun.
Airmata Fitrah kembali mengalir deras. Ia menggenggam erat tangan Zahra yang masih tak sadarkan diri.
“Kenapa bisa begini, sayang?” Tanya Fitrah pada Zahra yang masih menutup mata. Tak ada jawaban.
“Fitrah,” panggil Nayla, sahabat Zahra yang tanpa Fitrah sadari sedang menunggui Zahra. Menyaksikan lelehan air mata Fitrah. “Tadi, sebelum aku dikabari Zahra masuk rumah sakit, Zahra sempat sms aku. Ia bilang kalau ia bingung mau naik apa untuk pulang ke kos. Kalau naik busway, ia merasa terlalu lelah untuk berjalan jauh menuju halte buswaynya dengan barang bawaannya yang berat. Kalau naik taksi, katanya Zahra pusing kalau terlalu lama dan sendirian. Belum lagi macet. Kalau naik ojek, dia nggak mau karena ia nggak mau boncengan motor sama cwok lain selain kamu. Sedangkan jika dia naik metromini dia harus menyebrang, dan perlu kamu tahu, Zahra tidak bisa menyeberang sendiri di jalan yang ramai tanpa jembatan penyebrangan atau adanya lampu merah.”
“Lalu Zahra memutuskan untuk naik metromini. Meskipun ia tahu, ia tak bia menyeberang sendiri. Katanya, dia pengen belajar nyebrang sendiri biar nggak ngrepotin orang lain. Tapi sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Ia mengalami kecelakaan. Menurut bapak yang membawa Zahra ke sini, Zahra tertabrak bus. Saat Zahra menyeberang, lampu lalu lintas masih berwarna merah, tapi ketika Zahra sampai di depan bus itu tiba-tiba lampunya berubah hijau. Tanpa melihat Zahra yang ada di depannya, bus itu melaju dan menabrak Zahra sampai ia seperti ini.” Jelas nayla panjng lebar.
Seketika, penyesalan menyerbu Fitrah. Menyerangnya dari segala arah. Ia menyesal karena membiarkan Zahra pulang sendiri.
“Maafkan aku, Zahra. Maaf atas semua keegoanku. Maaf atas amarahku. Maafkan aku Zahra. Kumohon. Aku cinta kamu, hanya kamu yang ada di hatiku, selamanya. Jangan pergi tinggalkan aku.” Fitrah terus menangis. Matanya sembab.Pipinya yang putih, basah karena linangan air matanya yang tak berhenti. Sesaat, Zahra tersenyum dalam tidurnya.
Fitrah terdiam. Lidahnya kelu. Tak mampu berkata apa-apa ketika alat perekam denyut jantung Zahra menggambarkan garis lurus. Ia langsung meraba denyut nadi Zahra. Sudah tidak ada. Ia lalu mencoba merasakan nafas Zahra, tak terasa apa-apa.
“Zahra... Zahra... Bangun.” Fitrah mengguncang-guncang tubuh Zahra yang sudah tak bernyawa lagi. Zahra pergi untuk selamanya.
“Aku pamit pulang, sayang. Maafkan atas semua salahku.” Ucap Zahra sambil tersenyum manis sekali. Senyum termanis yang pernah Fitrah lihat. Sesaat, Fitrah teringat kata-kata terakhir Zahra sebelum Zahra meninggalkannya di stasiun tadi. Fitrah tak pernah tahu jika senyuman manis itu adalah senyum terakhir dari Zahra untuknya. Senyum yang tak akan pernah ia lihat lagi selamanya. Airmata Fitrah semakin deras meleleh. Ia memeluk tubuh Zahra yang sudah tak bernyawa begitu eratnya.
Hujan masih deras membasahi bumi ini. Mengantarkan kepergian Zahra kembali dalam pelukan Tuhannya. Semua yang mengantar kepergiannya telah kembali menuju rumah mereka masing-masing. Hanya Fitrah yang masih bertahan di samping tempat peristirahatan Zahra yang terakhir. Di depan nisan yang bertuliskan nama Zahra Nuranindya, ia berdoa.
“Tuhanku yang Maha Pengasih, terima kasih karena telah memberikan bidadari terindah untukku. Bidadari yang membimbingku untuk selalu dekat denganMu. Ya Rabb, hari ini, Engkau telah panggil bidadari yang pernah Engkau amanahkan kepadaku. Terimalah ia di sisiMu. Ampuni dosanya, terima amalnya, masukkan ia ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang mencintaiMu dan RasulMu, dan tetapkanlah ia sebagai bidadari untukku di SugaMu. Amin, ya Rabb.” Fitrah berdoa dengan deraian air mata. Ia amat kehilangan sosok yang begitu mencintai dan dicintainya dengan tulus.
“Fitrah,” Iwan, sahabat Fitrah mendekati Fitrah yang masih larut dalam kesedihannya. “Sudahlah, ini takdir. Ayo pulang, biarkan Zahra beristirahat dengan tenang.” Iwan merangkul Fitrah.
“Tunggu sebentar, Wan.” Fitrah lalu menaruh sekeranjang Edelweiss, bunga yanga amat disukai Zahra, di atas gundukan tanah merah yang masih bertaburkan bunga itu. Ia menaruhnya di dekat nisan yang bertuliskan nama Zahra Nuranindya. Di keranjang yang berisikan edelweiss itu, ia tuliskan “Dari Fitrah untuk Zahra yang tercinta”.
“Baik-baik ya, Sayang. Selamat jalan. I love you so much. Tunggu aku di sana.” Fitrah berdiri lalu pergi meninggalkan peristirahatan Zahra.
Satu lembar kertas jatuh dari saku Fitrah. Ia segera memungutnya sebelum air hujan berhasil membasahi kertas itu. Di lihatnya kertas itu, ada gambar dua sosok yang begitu ia kenal. Teramat akrab. Itu foto terakhir yang diambil Fitrah bersama Zahra di Ciwidey saat mereka berlibur kemarin. Fitrah tersenyum melihat Zahra yang begitu cantik di foto itu. Ia lalu dekap foto itu dengan eratnya. Kini hanya foto itu dan semua kenangan tentang mereka yang akan selalu menjadi pelipur rindu untuk Fitrah.
“Jika cinta tak dapat mempersatukan kita di dunia ini, maka percayalah cinta akan mempersatukan kita di kehidupan selanjutnya.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H