Pernah aku ceritakan kepada anak-anakku (2 putra 2 putri, yang besar kelas 13 dan yang kecil kelas 2) dulu waktu papanya masih kecil, nonton sepak bola bersama Opungnya/Kakek di radio. Mereka tidak ada yang percaya, dinggapanya sebuah kemustahilan mendengarkan radio untuk sebuah pertandingan sepak bola. "Emang ada yang denger pa" kata mereka.
Kuceritakan, saat itu bila ada pertandingan sepak bola perserikatan, apalagi pertandingan tim nasional masyarakat sudah banyak yang berada disamping radio radio mereka. Aku ingat bagaimana Sambas dan kawan kawan dengan semangat dan kekhasannya membawakan siaran tersebut. Masih terngiang ngiang nama pahlawan sepak bola masa itu, ada Iswadi Idris, Johannes Auri, Timo Kapisa, Oyong Liza, Sofyan Hadi, Ronni Patty, Andi Lala dan sederet nama besar lainnya. Ada juga kiper-kiper hebat, Ronni Pasla, Yudo Hadiyanto, dll. Ada Pelatih Tony Paganick, Endang Witarsa, dll.
Ketika masuk SMP aku mulai menyaksikan pertandingan di stadion Utama Senayan (sekarang GBK), begitupun saat SMA aku sudah semakin sering menyaksikan pertandingan di GBK. Aku teringat dengan nama Niac Mitra, Pardedetex, Jayakarta, dan lainnya. Semakin kesini akupun semakin sering menonton sepak bola. Aku selalu teringat betapa bangganya mereka menjadi pemain-pemain timnas, padahal bayaran yang mereka terima saat itu mungkin tak sesuai dengan yang mereka harapkan. Perjuangan dilapangan saat itu dalam membela Tim PSSI, kadang kadang membuat saya menitikkan air mata (saat mengingatnya).
Silih berganti pemain Timnas, sampai memasuki era Kurniawan Dwi Yulianto, Bambang Pamungkas, Irfan Bachdim, Gonzales, Firman Utina, dan Evan Dimas. Kutarik satu garis lurus, Dari jaman Iswadi Idris (mungkin bagi yang berusia diatasku disana ada Ramang dan Abdul Kadir) sampai Bambang Pamungkas dan Firman Utina. Kusimpulkan: Mereka bangga menjadi pemain TIMNAS, mereka tidak pernah memikirkan berapa bayaran yang mereka terima.
Kondisi setahun ini agak sedikit berubah, pesepakbola anak anak, tim Junior sampai tingkat yang lebih tinggi, mereka bingung mau main dimana, bersama siapa, dan bagaimana kelanjutannya. Setelah pembekuan PSSI oleh Kemenpora memang terjadi ketidak pastian sepak bola Indonesia. Ada turnamen-turnamen iya tetapi apakah semua pemain sepak bola tercakup olehnya, jawabannya tentu tidak.
Menpora Imam Nachrowi, Presden Joko Wi, saya yakin kalian adalah pengabdi yang tulus dan ikhlas, hati kecil kalian menginginkan Timnas Jaya. Pak Imam dan Joko Wi, keinginan kalian sama dengan keinginan semua pemain sepak bola dari Sabang sampai Papua ....... saya yakin. Disana ada pengaturan skor, disana ada korupsi, disana ada nepotisme, itu suatu masalah. Tapi: 1. Tolong cabutlah pembekuan PSSI sekarang juga, semakin lama dicabut, semakin merugikan pemain dan pelatih. 2. Tidak ada masalah yang tidak terselesaikan, Reformasi PSSI, KLB PSSI, dll. Itu cuma perlu kearifan dan bijak. Sila keempat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika itu landasannya. 3. Dengan adanya do'a pemain, pelatih, dan do'a anak keluarga mereka serta masyarakat pecinta sepak bola Indonesia yakinlah "Persoalan" yang selama ini kita persoalkan akan terjawab dan selesai.
Aku dulu memonton sepak bola di radio, lalu dilapangan dekat rumah, kemudian di Senayan/GBK. Sekarang masih sekali sekali ke GBK tapi lebih sering di TV/TV kabel (karena lebih sering nonton Liga Inggris, BBVA, Seri A, dll.)
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H