Satu fenomena yang cukup menarik perhatian saya belakangan ini adalah penggunaan knalpot racing dari para pengguna kendaraan bermotor. Fenomena ini menjadi menarik, lantaran kesenjangan antara pengguna knalpot racing yang melihat ini sebagai sebuah normalitas, dan masyarakat yang merasa terganggu dengan keberadaan knalpot racing ini. Bahkan, kesenjangan juga tampak dalam sikap apatis para pengguna knalpot racing terhadap peraturan atau larangan pihak berwajib atas penggunaan barang tersebut. Saya kira, ini soal seberapa bising pihak-pihak yang terkait saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Hanya saja, dalam tulisan ini, saya hendak berfokus kepada dua pihak yang saling berseberangan ideologinya, yakni pemerintah dan pihak-pihak yang dirugikan oleh keberadaan knalpot racing -biasanya diwakilkan oleh pihak berwajib (polisi) dalam tindakan aplikatifnya, dan para pengguna knalpot racing itu sendiri. Perihal ini, saya melihatnya dalam perspektif politik. Bahwasanya, dalam perspektif politik, fenomena ini lebih berkaitan dengan keberadaan pemerintah sebagai bagian dari sistem dan pembentuk kebijakan politik, yang berhadapan dengan budaya populer dari satu subkultur tertentu. Selain itu, ini juga menyoal keberadaan pemerintah dalam menanggapi situasi orang-orang atau masyarakat yang dirugikan oleh budaya baru ini. Hal ini tidak bisa dielakan, bahkan ditangguhkan, karena ini menyangkut pula konteks kultural yang lebih besar, yakni negara.
Lantas, bisingan yang mana? Knalpot atau pemerintah? Pertanyaan ini semata-mata sebagai pemantik dalam melihat penggunaan knalpot racing sebagai sebuah budaya baru yang langgeng, atau justru diterima sebagai bumerang bagi mereka yang menjalankan budaya baru tersebut. Yang jelas, tentang penggunaan knalpot racing ini, pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang kebisingan knalpot dalam Peraturan Menteri Negara tentang Lingkungan Hidup nomor 7 tahun 2009 (www.jdih.menlhk.co.id). Bahwa, secara politis (baca: perspektif politik), peraturan pemerintah ini telah menjadi satu nilai budaya yang harus dipatuhi secara bersama. Dengan kata lain, ada sikap atau tindakan tertentu yang perlu kita jaga dalam kaitannya dengan keseluruhan proses sosial dan interaksi kita sebagai warga negara. Keberadaan orang lain atau kelompok masyarakat yang lain (baca: subkultur), pada gilirannya menjadi semacam pertimbangan bagi setiap individu atau warga negara dalam bersikap. Apalagi, kalau sampai membentuk kebiasaan atau budaya baru.
Kembali soal keberadaan budaya penggunaan knalpot racing dan subkultur yang terlibat di dalamnya. Problem yang kemudian menguak adalah bahwa budaya tersebut terkesan sebagai sesuatu yang normal (mungkin karena hobi) dalam subkultur budaya tersebut, tanpa kemudian mempertimbangkan subkultur lain yang barangkali ditangguhkan dan dirugikan oleh keberadaan budaya baru tersebut. Terbaru, per 17/03/2021, pihak berwajib melakukan razia knalpot racing di Jakarta dan sekitarnya; per 23/03/2021, razia knalpot racing diperketat di Solo (www.kompas.com). Dua fakta tersebut sekurang-kurangnya membenarkan pernyataan saya di atas. Bahwa, kemudian keberadaan budaya penggunaan knalpot racing ini tak terelakan dan langgeng di negara kita. Dari sini, kita bisa melihat bahwa peraturan pemeritah diabaikan sebagai bagian dari nilai budaya dan sekaligus nilai sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka, saya kira kita kemudian bisa menilai, perihal "Knalpot racing vs peraturan pemeritah: bisingan yang mana?". Di satu sisi, keberadaan budaya baru ini menjadi fenomena yang lazim dalam konteks subkultural pengguna knalpot racing. Tapi, di sisi lain, budaya populer tersebut menjadi bumerang bagi mereka yang menjalankan budaya tersebut, karena telah melanggar peraturan pemerintah.
Daftar Pustaka
http://jdih.menlhk.co.id/uploads/files/MLH%20P.07.pdf., diakses pada 22 Maret 2020.
https://otomotif.kompas.com/read/2021/03/22/190100415/kena-razia-knalpot-di-solo-sepeda-motor-langsung-diamankan, diakses pada 23 Maret 2020.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/17/17435651/gencarnya-razia-knalpot-bising-di-jakarta-dan-sekitarnya, diakses pada 23 Maret 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H