Belum lama ini, saya menulis tentang sebuah komunitas, yakni Komunitas Leko NTT. Dalam tulisan yang berjudul "Potret Komunitas Leko NTT dalam Bingkai Nasionalisme" itu, saya menerangkan bahwa komunitas ini merupakan salah satu komunitas sastra, dan sekaligus komunitas baca bagi siapa saja, khususnya masyarakat di NTT.Â
Selain itu, komunitas ini juga menjadi salah satu citizen journalism yang kemudian membantu memberikan beragam informasi, analisis, dan kritik tertentu, demi kepentingan masyarakat setempat. Dan salah satu tokoh yang berpengaruh dalam komunitas ini adalah Felix Nessi.Â
Dia merupakan salah satu pendiri komunitas ini. Sebagai salah satu tokoh penting dalam komunitas ini, tentu dia punya tanggung jawab besar atas keberlangsungan hidup komunitas tersebut.
Hanya saja, kali ini saya memilih satu pengalaman menarik dari seorang Felix Nessi. Hal ini menjadi suatu yang menarik untuk kemudian diceritakan dalam tulisan sederhana ini.Â
Mengingat, dalam sebuah komunitas, kita akan mengenal istilah Community Profile, dan berkenaan dengan itu, salah satu yang menjadi poin penting adalah perihal social risk yang bisa saja muncul dalam keseluruhan aktivitas dan keberlangsungan hidup sebuah komunitas.Â
Termasuk Komunitas Leko NTT. Nah, terkait social risk ini, sorotan saya lebih kepada vulnerability risk atau terkait pihak-pihak yang rentan terhadap resiko tertentu.Â
Dan persis, Felix Nessi menjadi salah satu contoh pihak yang kemudian rentan terhadap resiko tersebut. Entah karena kapasitasnya sebagai pendiri atau sikapnya dan tindakannya dalam komunitas tersebut.
Rabu, 10 Maret 2021, yang lalu, dalam acara peluncuran dan diskusi buku kumpulan puisi yang bertajuk "Kita Pernah Saling Mencintai", salah seorang teman saya sempat bertanya perihal tulisan-tulisan kritis dan mendalam dari seorang Felix Nessi, yang kemudian mengundang berbagai tanggapan dari tokoh masyarakat tertentu -kebetulan saya bersama dengan dua orang teman saya yang lain, berkesempatan untuk menganalisis dan meninjau keseluruhan aktivitas Komunitas Leko NTT.Â
Menanggapi hal tersebut, Felix Nessi kemudian menceritakan pengalamannya ketika dia kemudian harus dipolisikan atas sikapnya yang agaknya 'anarkis' dan kurang 'ramah'.Â
Hal ini bermula ketika dia (Felix Nessi) mendapati fakta bahwa seorang pastur katolik yang telah melakukan tindakan asusila, yakni bermasalah dengan seorang perempuan.Â