Mohon tunggu...
Alfonsus Hirland
Alfonsus Hirland Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Prodi Ilmu Komunikasi, Angkatan 2019.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Digitalisasi Pariwisata Budaya dan Identitas NTT

9 Maret 2021   22:40 Diperbarui: 9 Maret 2021   23:24 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi mahasiswa rantauan, salah satu kenyataan yang tak dapat dielakan adalah perihal pertanyaan tentang asal/tempat kita berasal. Kurang-lebih pertanyaan, seperti "kamu orang mana?", "Daerah tempat tinggalmu di mana?". Kenyataan ini lazim dalam perjumpaan antarpribadi yang belum saling kenal. Maka, perkenalan adalah strategi pertama bagi mahasiswa di masa-masa awal beradaptasi dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya di tanah rantau.

 Sayangnya, dalam beberapa pengalaman, ketika seorang mahasiswa memperkenalkan daerah asalnya, ternyata ada fakta yang cukup unik, sekaligus menggelitik. Pasalnya, ketika seorang mahasiswa memperkenalkan daerahnya, ternyata orang yang bertanya sama sekali tidak tahu tentang daerah tersebut. Mungkin, dalam situasi tertentu, menyebutkan nama daerah yang benar-benar spesifik, seperti desa, kecamatan, atau kabupaten, hal tersebut adalah wajar. Tetapi, bagaimana ceritanya ketika seseorang yang bertanya tentang asal seorang yang lain, dan yang dijawab adalah provinsi asal, lalu si penanya justru tidak tahu provinsi itu persisnya di mana? Bagi saya, ini sangat ironis dan kronis.

Persis inilah yang dialami oleh beberapa, bahkan kebanyakan, mahasiswa NTT ketika merantau di satu daerah tertentu. Ketika mahasiswa NTT memperkenalkan daerahnya, bahkan harus menyertakan identitas NTT, sebagai salah satu dari sekian banyak provinsi di Indonesia, kenyataannya bahwa masih ada orang-orang yang mengira NTT itu di Papua. Kenyataan lain bahwa ada juga yang kemudian mengajukan pertanyaan, seperti "NTT itu di mana?". Tetapi menariknya, untuk memperkenalkan NTT, kadang beberapa mahasiswa memperkenalkannya dengan sesuatu yang ikonik di daerah NTT. Salah satunya adalah Komodo di daerah Labuan Bajo, Kab. Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Berhadapan dengan realitas semacam ini, saya terdorong untuk berbicara tentang 'Digitalisasi Pariwisata Budaya dan Identitas NTT'. Pertama-tama, saya hendak menunjukan identitas NTT yang plural dan majemuk, tetapi sekaligus menjadi satu kesatuan. NTT itu bukan hanya sekedar tentang Komodo, tetapi lebih dari itu justru menjadi salah satu cagar budaya yang harus dijaga kelestariannya. Ada begitu banyak artefak budaya yang perlu kita jaga di daerah tersebut. Hal ini bukan semata-mata untuk memperkenalkan dan mempromosikan daerah, tetapi justru menjadi semacam semangat nasionalis untuk menjaga salah satu warisan budaya yang begitu banyak di Indonesia. Entitas-entitas budaya, seperti binatang purba 'komodo', tradisi penangkapan ikan paus di Lamalera, kampung adat yang masih lestari (Wae Rebo, Kampung Bena, dll.), beragam tenun khas di Pulau Timor, Sumba, dan Pulau Flores, Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende, sebagai salah satu warisan sejarah nasional bangsa Indonesia, dan masih banyak lagi. Dan itu semua adalah identitas NTT, yang kemudian dikenal dengan nama FLOBAMORA.

Kedua, saya hendak menegaskan bahwa betapa digitalisasi telah membantu kita mencari tahu tentang apa saja yang kita butuhkan. Salah satunya adalah soal mengenal atau soal identitas NTT. Saya tidak kemudian menyalahi setiap orang yang memang tidak begitu mengenal daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hanya saja, sangat disayangkan ketika realitas ini menjadi kronis dalam perjalan dan perjuangan nasionalisme bangsa. Ketika mendengar bahwa banyak orang mengenal NTT hanya karena salah satu cagar budayanya, seperti wisata Taman Nasional Komodo, seolah-olah NTT jauh dari keseluruhan realitas kebangsaan. Padahal, kita sedang berada di era masyarakat informasi. Kehadiran internet dan perangkat-perangkat elektronik tertentu, sekurang-kurangnya dapat membantu kita untuk semakin nasionalis. Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan seperti "NTT itu di Papua ya?" atau "NTT itu di mana sih?", tidak lagi menjadi suatu yang lazim dalam perjumpaan dengan mahasiswa NTT yang merantau ke satu derah tertentu. Melalui media daring atau platform media sosial, ada begitu banyak pihak yang telah melestarikan pariwisata budaya NTT sebagai bagian dari artefak budaya di fase digital. Artefak kemudian tidak lagi soal barang fisik, tetapi lebih kepada cagar budaya yang memang harus dilestarikan dari waktu ke waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun