Tubuh saya seperti kaku. Bulu kuduk saya merinding. Makanan yang saya suap terpaksa menggantung di tengah kebengongan saya yang membuncah. "Dia menang! SubhanAllah." Tidak akan pernah lupa di panca indera saya, bahwa pemenangnya adalah orang yang paling dekat dalam hidup saya. Teman sekuliahan, teman seperjuangan, teman yang menyebalkan karena selalu mencap dirinya 'pria terkece sedunia'. Pria yang usianya tak berbeda jauh dari saya, 37 tahun. Pria yang selalu menjadi sasaran ejeken, sindiran saya karena 'sifat humoris setengah narsis plus kepedean dan sok kece' tadi. Tapi, apa yang telah dicapainya dalam setahun ini? Sungguh diluar dugaan saya. Dengan memenangkan sebuah acara quiz, memboyong sebuah pajero sport-mitsubishi, saya tidak berani lagi memandang sebelah mata dengan dia. Quiz ini tidak main-main. Akan dicatat dalam rekor MURI dan WORLD RECORD. Saya mengikuti perkembangan quiz yang diikutinya. Sepertinya dia menjadi sasaran rivalnya yang berjumlah 11 orang. Beberapa rival tangguhnya selalu berusaha merampas, menjatuhkan nilai yang sudah dia kumpulkan. Tetapi, selama 24 jam, tanpa tidur, hampir terus menerus berdiri (kecuali ketika break time), dia mampu menembus posisi juara. Itu cerita saya ketika menonton tayangan "Quiz 24 Hours" di metro tv, tgl 28 Mei lalu.
***
Diperlihatkan sebuah dokumentari tentang seorang lelaki yang mewarnai hidupnya dengan berdagang bakso, lalu menjadi pengusaha batik yang cukup maju. Di dalam perjalanan hidupnya itu dia pernah dibohongi klien hingga modalnya ludes, usahanya bangkrut.
"Kirimkan informasi mengenai lelaki di daerahmu yang menjadi inspirasimu." Ini penggalan sebuah iklan di sebuah tv. Saya tidak kenal lelaki dalam tayangan dokumentari tersebut, tetapi saya menerima sebuah pemahaman baru tentang hidup. Bahwa, meskipun kau pernah gagal, kau harus bangkit kembali.
***
Reader's Digest Indonesia. Edisi terbaru. Dalam bab nukilan, saya membaca sebuah kisah hidup tentang anak supir truk asal Blitar yang menjadi direktur di sebuah perusahaan ternama di New York. Badannya yang kecil tidak membuat dirinya ikut menciut. Meskipun sempat 'nggak pede' dengan kehidupan di Jakarta, tetapi kualitas otakknya (=kepintaran yang diasahnya sejak kecil) yang besar telah mampu mengangkat derajat hidupnya. Bukan hanya hidupnya, tetapi juga nama baik kedua orangtuanya. Tokoh dalam kisah itu sudah kembali ke tanah air, setelah 10 tahun menguasai Amerika dengan skill yang dia punya. Kini dia kembali hidup di samping Ayah Ibunya. Pertanyaan klasik pasti muncul di benak pembaca, sudah sukses di negeri orang kok malah kembali ke desa? Hanya satu jawaban yang saya yakini. New York saja sudah dia taklukkan, pasti tidak ada tempat lain lagi yang membuatnya penasaran. Saya melihat kemiripan antara pria di bab nukilan itu dengan penulis mega best seller-Andrea Hirata yang kini lebih banyak tinggal di kampung halamannya. Lelaki itu sudah berusia 72 tahun. Warna rambutnya sudah putih rata. Entah berapa kali lelaki ini bolak-balik masuk rumah sakit, karena asmanya. Namun, setiap kali dia pulih, tubuhnya sudah duduk rapi menjaga gawang di sebuah rumah laundry. Usahanya di usia senja ini.   "Mengapa begitu getol berusaha?" tanyaku suatu hari. "Padahal, kalau dilihat, Bapak sudah punya rumah layak, sudah pula membangunkan rumah untuk empat putra-putri Bapak, malah ditambah dengan ruko-ruko yang Bapak mandori saat ini. Istilahnya, tanpa perlu turun tangan duduk di meja laundry ini, Bapak sudah bisa menikmati masa tua Bapak." Dia tersenyum. "Selagi Allah masih mengijinkan saya berpikir, saya akan pergunakan sebaik-baiknya. Kecuali kalau saya sudah pikun." Itu cerita tentang Papa saya sendiri. Saya angkat topi dengan cara beliau mengatur kehidupannya begitu rupa hingga mampu membangun masa senjanya agar tetap bergelora. Satu hal yang menjadi prinsip hidupnya adalah tidak berhutang.
****
Ada satu kata kunci yang saya temukan dari empat kisah di atas.
http://visimaya.com/foto_berita/53semangat.jpg
Bahwa, jika manusia terus menerus berusaha hingga dia merasa melewati batas kemampuannya sendiri, maka  'makna kehidupan yang seharusnya' telah dia genggam, telah dia miliki. Hem, saya berkaca pada diri sendiri yang masih saja 'misuh-misuh' (menggerutu) karena sangat keteteran mengurus rumah tangga dengan tiga anak balita. Tanpa pembantu.