Kehadiran buah hati sungguh membuat hati Bunda bahagia. Sembilan bulan lebih mengandung, melewati fase-fase perubahan hormon yang terkadang merepotkan sang Bunda, juga sang ayah. Kini tiba waktunya menikmati harum wangi tubuh bayi mungil nan lucu.
Tapi pernahkah Bunda mengalami fase mengejutkan ketika si sulung malah berulah dengan kehadiran adik mungilnya di rumah?
"Anakku yang paling tua malah nggak mau dekat-dekat aku lagi. Entah kenapa?"
"Si sulung lebih senang menginap di rumah neneknya. Untung saja rumah neneknya dekat sekali dengan rumah kami. Kalau tidak...waduh bisa pusing kami tiap malam harus mengantarkannya pergi menginap."
"Aku kaget ketika si kakak bilang, bunda nggak mau berteman lagi denganku. Padahal aku tidak bermaksud begitu..."
"Ketika melihat adiknya dalam pelukanku, kontan abangnya mengamuk. Dia melempar-lemparkan mainan ke arahku. Duh, kenapa ya jadi begitu?"
Bunda, pernahkah Bunda mengeluh seperti itu?
Nah, ini pertanda ada yang salah dengan lingkungan rumah Bunda. Biasanya si kakak begitu manja, begitu
penurut, selalu tidak bisa jauh dari Bunda, ya. Tetapi mengapa tiba-tiba dia jadi pemberontak? Tidak bersedia dikecup pipinya. Bahkan berkata bunda tidak sayang aku lagi!
Duuh Bunda, ini artinya si kakak cemburu dengan kehadiran adiknya.
Yang membuat anak-anak sulung kita cemburu sebenarnya bukan kehadiran adiknya. Melainkan porsi perhatian Bunda atau mungkin Ayah menjadi berkurang. Itu yang pertama kali si kakak rasakan.
Biasanya ritual bangun pagi hingga bed time story, Bunda yang melakukannya. Tetapi dengan kehadiran sang adik, tanpa disadari waktu Bunda sedikit demi sedikit tersedot untuk si adik.
Sejak bangun tidur, bayi mungil yang belum mengerti apa yang harus dilakukannya di dunia ini harus langsung ditangani oleh Bunda. Iya, kan, Bunda? Bahkan hingga tengah malam pun, Bunda harus berulang kali terbangun untuk menyusui atau menemani si adik yang entah mengapa malah tidak bisa tidur.
Lalu, ritual memandikan, menyusui lagi, menggendong-gendongnya penuh kasih, meninabobokan, terkadang mengajaknya berbicara, menyanyikan lagu, menyampaikan untaian kalimat kasih sayang, semuanya tanpa disadari tercurah secara alami. Hal yang persis ketika kakaknya lahir dulu.
Tapi Bunda, apakah Bunda sadar bahwa ada sepasang mata lain yang memperhatikan mimik wajah Bunda ketika menggendong si bayi? Ya betul, itu sepasang mata milik si sulung.
Bahwa seharusnya aku diperhatikan Bunda, bukan adik!
Bahwa biasanya Bunda mau diajak bermain mobil-mobilan, tetapi sekarang ada saja alasan Bunda untuk tidak mau bermain lagi denganku.
Bahwa belaian Bunda, kecupan mesra Bunda, cerita menjelang tidur, bahkan sekedar ingin bermain dengan Bunda pun kini menjadi susah.
Itu perasaan dan kenyataan yang harus dihadapi oleh sang kakak.
Ketika penulis akan melahirkan, ada dua tips penting yang disampaikan oleh sanak saudara, teman, dan kolega penulis. Kata mereka, "Utamakan si kecil, biar si kakak belajar mengerti soal itu." Tapi sebagian lagi berkata, "Jangan abaikan perasaan si kakak, bayi mah belum tahu apa-apa dan bisa diatur."
Awalnya pendapat pertama coba penulis terapkan. Ternyata, tanpa disadari penulis telah membuat jarak dengan si sulung. Perasaan si sulung jadi terabaikan, apa-apa dia harus menjadi nomor dua. Ketika dia minta ditemani bermain, kebetulan si bayi harus disusui. Sewaktu si bayi akan dimandikan, tiba-tiba si sulung minta disuapi, padahal biasanya si sulung sudah biasa makan tanpa perlu disuapi lagi. Atau, ketika si kakak memaksa ikut digendong karena melihat adiknya sedang digendong, Bunda malah berkata,"Kakak kan sudah besar, tidak usah digendong lagi." Atau dengan ketus Bunda berkata, "Mana mungkin Mama menggendong dua anak sekaligus, kakak harus sabar bergiliran."
Hal-hal seperti ini benar-benar melukai perasaan si sulung.
Lalu, ketika anak kedua lahir, penulis berusaha merubah taktik. Penulis jalankan pendapat kedua, yakni mendahulukan perasaan si kakak. Semua yang berkaitan dengan adiknya, pasti si kakak dilibatkan. Bahkan sejak adiknya masih dalam kandungan, si kakak selalu diajak untuk melihat hasil usg, berbelanja kebutuhan bayi, membacakan cerita buat si adik yang masih ada di dalam rahim, hingga ketika adiknya lahir, si kakak diperbolehkan menungguinya di kamar rawat inap. Menggantikan popok, menanyakan pendapat si kakak tentang apa pun yang berkaitan dengan adiknya, akan membuat si kakak merasa bahwa dirinya dihargai dan dipercayai oleh Bunda atau Ayah.
Kegiatan ini berlangsung hingga ke rumah. Seluruh aktivitas keseharian tidak berubah, tetapi si sulung tetap number one. Ketika menyusui si bayi, penulis memilih duduk daripada berbaring (meskipun saya mengantuk luar biasa), karena si kakak minta dibacakan cerita. Jadwal adik bayi mengikuti jadwal si kakak. Jika si kakak sudah puas kita layani, insha Allah, dia tidak akan protes jika selebihnya Bunda tidur bersama adik bayinya sekalipun.
Hasilnya, ketika anak ketiga kami lahir, si kakak sangat bahagia. Si tengah pun tak pernah cemburu, karena dia sudah punya teman bermain yakni kakaknya sulungnya. Lalu, si sulung akan mengajari si tengah bagaimana cara mengasihi adik bayi baru mereka.
So, Bunda jangan putus asa jika si sulung membangkang. Rangkullah dia, meskipun Bunda sedang sibuk mengurus si bayi. Perhatian Bunda yang 100% kepadanya, akan membuat si kakak akan mengasihi dan memperhatikan adik-adiknya 100% juga.
Oh ya Bunda, jangan lupa juga ada Ayah yang mesti diperhatikan 100% oleh Bunda. Meskipun Ayah sudah dewasan, tetapi diam-diam Ayah juga mempunyai rasa cemburu loh.
Cinta Bunda itu lebih dari 100%. Bisa 200, bisa 300 atau mungkin 1000%. Ini tergantung pandai-pandai Bunda membagi cinta kepada anggota keluarga. Meskpi tanpa pembantu sekalipun.
Selamat menikmati kehidupan baru dengan si kakak, si tengah dan si bungsu ya, Bunda.
Bandung, 4 Juni 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H