Mohon tunggu...
Elliyana Sigit
Elliyana Sigit Mohon Tunggu... -

Just a Simple girl with love to my Family, My Friend and the other :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

A Sweet Little Fool

26 September 2012   14:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:38 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

A Sweet Little Fool

cast : * GAYENDRA ARVAN *KENZA ARUFILA

~ kriiiiiiiiiiiiiiiingggg !!

“Whoaaaa jam berapa ini!!” tanyanya-sedikit-panik pada diri sendiri yang baru saja sadar dari tidurnya. Diliriknya Jam weker disamping ranjang yang memang dengan sengaja di set untuk membangunkannya, diraih dan kemudian mematikan alarm jam weker tersebut. Dengan sesekali menguap ia meraih handphone miliknya yang tengah bersembunyi di balik bantal tidurnya. Dikedip-kedipkannya perlahan kedua matanya untuk fokus membaca pesan di layar ponsel yang tampak sedikit silau karena pancaran radiasi cahayanya.

“Jangan lupa jemput aku!”

“Heii.. awas saja kalau sampai kau ketiduran dan tidak menjemputku!”

“Aku akan menunggumu sampai kau datang. Awas saja kalau sampai lupa, kau akan tahu balasanku!”

“Oh ya kalau bisa datang lebih awal, kau tahu sendiri kan tempat pemberhentiaannya bagaimana -_-“.

Deretan pesan tersebut membuat ia menarik garis lengkung membentuk sebuah senyum yang tampak dipaksakan. Ia menarik napas dan menghembuskannya dengan perlahan. “Eiyyyy anak ini”. Setelah beberapa menit mengumpulkan kesadaran dari tidurnya, ia membenahkan diri sebentar lalu kemudian beranjak keluar dengan perasaan malas dan mata yang masih sedikit mengantuk. Meskipun begitu, ia tetap melakukannya.

~~~~

“Yang mana bisnya?” Kepalanya tampak seakan sedang mencari sesuatu, ia berdiri, memperhatikan pada setiap bis yang berhenti dan mulai sibuk mencari sosok yang dimaksud dalam segerombolan orang-orang yang turun dari bis tersebut. “Aaahh apa bisnya belum datang juga?” ia mendesah lalu kembali duduk di kursi tunggu. Berdiri, dan kemudian duduk lagi begitu seterusnya hingga di menit berikutnya ia mulai merasa lega.

Oppa..” Pria itu menoleh. Ia menghampiri seorang gadis yang memanggilnya itu dan di detik berikutnya raut wajahnya berubah. “Ahhh kau benar-benar mengganggu waktu tidurku. Kenapa lama sekali. Kalau tahu begini aku tidak perlu cepat-cepat bangun tadi!” ucapnya kemudian dengan nada yang mulai tidak enak didengar.

“Kenapa kau marah padaku? jika kau mau protes, protes saja sama supirnya, mana aku tahu kalau bakalan lama dari biasanya. aissh” Bukannya merasa bersalah gadis tersebut justru mengerucutkan bibirnya sebal.

“Kenapa jadi kau yang marah? Itu harusnya aku yan.... Ya~! kenapa kau tertawa?”

Bukannya menjawab gadis itu malah menggeleng dan semakin terkekeh geli.

“Wae?”

“Emmb... nothing” jawab gadis itu singkat.

“Lalu kenapa kau masih tertawa?” Tidak ada jawaban. “Ya! Kenza! Apa yang sedang kau tertawakan?!”

Gadis yang bernama Kenza itu akhirnya menghentikan tawanya namun masih dengan kekehan kecil ia menunjuk-nunjuk wajah Arvan “I... itu.... “

“Apa?” tanya Arvan lagi.

Kenza mendekat lalu dengan sangat pelan namun penuh kepastian ia membisikkan sesuatu ke telinga Arvan “Belekkmu” kalimat singkat tapi sukses membuat orang yang bersangkutan panik mendadak. “Apa masih ada? Ada tidak? Kenapa kau tidak memberitahuku dari tadi sih!” tanyanya sambil membersihkan sedikit kotoran yang melekat di sekitar pelupuk matanya.

Kali ini Kenza kembali terkekeh kecil. “Apa kau begitu semangat menjemputku sampai lupa membenahkan dirimu dengan benar terlebih dahulu?”

“Kau ini!.. Eh tapi tidak ada yang melihatnya kan? Eiiiyyyy ~ Padahal ini masih lumyan gelap tapi matamu bisa saja menangkapnya. Ya! kenapa kau tidak minta teman-temanmu saja untuk menjemputmu?”

“Jelas saja karena aku tidak mau mengganggu tidur mereka”

“Bagaimana denganku? Aku juga terganggu!”

“Benarkah? Ahhh... itu..”

“Aissh kau ini merepotkanku saja”

“Tepat Sekali!” Ujar Kenza dengan gaya ‘got you’ yang ditampilkannya dan menjulurkan lidah pada Arvan.

“Ah sudahlah, cepat ku antarkan kau pulang, kemarikan barang-barangmu”.

Kenza tertawa pelan seakan penuh kemenangan atas adu mulutnya kali ini dengan Arvan.

~ ~

Aaaaah... Kenza mencoba menghirup udara segar dari jendela kamarnya. Kenza merapatkan kedua tangannya, menariknya ke atas, ke depan, ke kanan dan ke kiri untuk meregangkan otot-ototnya yang terasa lelah. Matanya beralih pada salah satu objek disana, Denia – teman satu kamarnya yang dalam beberapa minggu ini menjadi salah satu daftar orang yang dirindukannya. Ia menarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Tempat ini benar-benar membuatnya nyaman. Meskipun harus tinggal sedikit jauh dari orang tua karena tuntutan kuliah, tapi Kenza tetap bersyukur masih mempunyai banyak teman, terutama Denia yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri.

Selain Denia, Kenza juga mempunyai seseorang yang menurutnya bisa diandalkan, meskipun terkadang orang tersebut sama sekali tidak membantu dan justru membuatnya kesal. Yah, siapa lagi kalau bukan Arvan, seorang laki-laki yang notabene adalah Kakak tingkatnya di kampus. Awal kenal dengan Arvan, Kenza benar-benar mengaguminya, selain karena dia tamatan Pesantren, Kenza juga sangat memuji kepintarannya dalam berpikir, berbicara dan menuangkan ide-ide cemerlangnya. Di tambah lagi, dari Arvan, Kenza melihat banyak hal yang bisa dia pelajari dan beberapa masih dalam tahap pembelajaran dalam hal keagamaan. Kenza sungguh memuji Arvan pada awalnya, namun entah kenapa dan bagaimana Kenza mulai meragukan kekagumannya itu. karena dari kronologis yang entah bagaimana ceritanya dia bisa berteman dengan makhluk bernama Arvan, yang pada kenyataannya adalah satu-satunya orang yang paling sering membuat Kenza kesal dan bahkan nyaris selalu bertolak belakang layaknya bebauan dan ibu hamil?. Entah itu Kenza yang Ibu hamil dan akan mual kemudian muntah saat mencium bebauan atau mungkin sebaliknya?? Atau seperti itulah. Whatever.

Selalu ada saja hal yang mereka perdebatkan entah itu penting atau tidak sudah menjadi ikon khusus dalam hubungan pertemanan mereka berdua. Selain kepribadian yang berbeda, keduanya juga mempunyai sifat dan cara berpikir yang berbeda pula. Arvan adalah sosok pria yang sangat menyukai bidang berbau sosial. Ia akan senang mengikuti berbagai kegiatan sosial yang diadakan di kampus, bahkan di luar kampus pun ia sempat mengikuti salah satu organisasi kepemudaan Islam. Menurutnya, sangat menarik karena dapat bertemu dengan orang banyak, berdiskusi dan mengetahui banyak hal dari mereka. Hal itu membuatnya memiliki pemikiran luas, wawasan yang mendasari unsur pembentuk dirinya. Sementara Kenza adalah salah satu gadis yang sangat hoby berkhayal. Membayangkan serta memimpikan hal-hal menyenangkan nyaris tak masuk akal dalam setiap keshariannya. Ia sangat senang menulis. Memaparkan cerita apapun yang ia anggap menarik dan mengapresiasikannya dalam bentuk cerita pendek. Orang-orang disekelilingnya bahkan kerap menjadi sasaran objek baginya, sumber inspirasi hingga terbentuklah sebuah alur cerita yang kadang memang dengan sengaja ia sama miripkan seperti aslinya.

Namun ada salah satu hobi Kenza yang sampai saat ini tidak dimengerti oleh Arvan. K-POP (Korean POP). Sebagai seorang Pria mungkin saja dia kurang peduli dengan hal semacam itu. Atau mungkin saja memang tidak menarik baginya. Untuk mengetahui hal tersebut Arvan bahkan pernah menanyakan langsung alasan kenapa kebanyakan perempuan menyukai hal yang kadang tidak cukup dimengerti oleh kaum pria tersebut.

“Apa bagusnya K-POP? Boyband? Aku sama sekali tidak mengerti dan aku rasa memang tidak ada yang menarik di dalamnya”

“Oppa bilang apa barusan? Tidak menarik? Kau sama sekali tidak tahu jadi jangan asal kalau bicara”

“So, apa alasanmu menyukainya? Kenapa?”

“Don’t tell me WHY! Because i loved for no reason! Karena.. aku hanya sangat menikmati lagu-lagu, musik, drama dan film-filmnya, Boyband atau Girlband, Style serta tempat-tempat menakjubkan yang tentu saja tidak dimiliki oleh negara kita”

“Aissh.. kau ini memang penghianat negara sendiri. Apa kau lupa negaramu dimana?”

“Bukan begitu juga maksudku. Yaaaa... mungkin kadang memang amnesia. Hanya sedikit lupa.. he. Ah sudahlah! OK Stop talking about this or it’s will be never ending!! “ Fiuuuuuh ~

Arvan menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. Dia bahkan hampir tidak percaya membenarkan Kenza memanggilnya dengan sebutan Oppa, yang pada awalnya juga tidak ia mengerti.

“Opa? Hei! Apa sekarang kau sedang mengejekku seperti seorang kakek tua!”

“Eiyyyyy~ bukan Opa, tapi Oppa! Double P. Artinya sama saja dengan Kakak laki-laki/Abang. Kau kan lebih tua dariku jadi aku memanggilmu Abang. Tapi.. berhubung aku tidak terbiasa memanggilmu dengan panggilan Kak/Bang Arvan, jadi aku panggil kau Oppa saja bagaimana?”

“Haruskah? lagian bahasa apaan sih itu? Bahasa planet mana?”

“Apa maksudmu haruskah? Tentu saja harus! Oppa itu korean word. Apa kau tidak tahu saat ini sedang menjadi trending di dunia. Ah mulai sekarang dan seterusnya aku akan mengenalkanmu pada kata-kata korea yang lainnya. Okey?”

“Ah terserah kau saja!”

Sekarang Arvan menjadi terbiasa dengan panggilan asing dari Kenza malahan yang hampir tidak ia percayai adalah bagaimana mungkin dirinya jadi ikut-ikutan terbawa kebiasaan gadis tersebut. Percaya atau tidak Arvan terkadang mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa korea-yang kebetulan ia tahu-dari-Kenza dengan nada yang berbeda, dan itu dilakukannya tanpa ia sadari. Ucapannya jadi terkontaminasi jika pada saat tertentu Kenza dengan sengaja mengajaknya bicara menggunakan bahasa asing tersebut, namun pada akhirnya ia tanggapi dengan bahasa yang sama pula. Menyedihkan.

-

Kenza baru saja hendak mendudukkan bokongnya di kursi saat sebuah ringtone handphone miliknya berbunyidi atas tumpukan buku belajarnya. “Assalamua’laikum. Kau sekarang dimana?” terdengar seseorang mengucap salam di sambungan telpon.

“Wa’alaiku...”

“Aku tunggu kau dibawah, cepat keluar”

Tuuuuuuuuut~

Hubungan telpon terputus. Dalam waktu sepersekian detik Kenza mengomeli ponselnya sendiri. Di tariknya napas dalam dan dihembuskannya dengan kesal. Tangannya menggeggam erat ponsel tersebut lalu beranjak keluar menemui seseorang di sana.

Wajah Kenza menampilkan ekspresi sebal mendapati seorang pria dengan neat hair-nya telah bertengger diatas motor matik miliknya. Dia sempat merutuki diri sendiri kenapa bisa kenal dengan orang seperti Arvan, cerewet dan menyebalkan, menurutnya. Bukankah dia sendiri yang menelpon dan bertanya aku ada dimana? Lalu kenapa dalam waktu yang kurang dari setengah menit dia sudah ada si depan rumah?

“Waeyo? Ekpresimu jelek sekali” ucap Arvan, santai dan tanpa rasa bersalah.

“Setidaknya biarkan aku menyelesaikan ucapanku dulu!”

Arvan hanya nyegir kuda, mengerti akan maksudnya cepat-cepat ia berkata “Maaf.. aku tidak sengaja”. Diperhatikannya Kenza sekilas kemudian diikuti dengan jarinya ia bertanya “Mana helmu?” yang langsung di respon Kenza dengan tatapan heran.

“Helm apa? Kenapa bawa-bawa helm?”

“Aku kan sudah bilang bawa helm sekalian kalau turun. Cepat masuk kembali dan ambil helmmu, lalu kau ikut aku”

“Mau kemana?”

“Nanti aku beritahu, sekarang cepat ambil helmmu!”

“Aisshh kau ini cerewet sekali!” Kau bahkan tidak mengatakan hal semacam itu tadi telpon!!Kenza menggerutu dalam hati. Meski menggerutu namun ia mengikuti instruksi dari Arvan dan beralih ke dalam rumah kontrakannya.

-

Kenza bersorak pelan lebih pada dirinya sendiri saat mendapati sekarang dia tengah berada di sebuah cafetaria bersama Arvan. Dua porsi Ayam bakar Special lengkap dengan lalapannya, dua Porsi Sate tusuk serta dua botol teh sosro plus hidangan penutup telah tersaji tepat di hadapannya. Mulutnya kini tak henti-hentinya berkecap mulai tak sabar untuk segera menikmati hidangan menggiurkan di meja saji bernuansa cream brown tersebut. Kenza mengalihkan pandang sekilas pada pria di depannya dan dengan penuh keceriaan ia melempar sebuah senyum tanda terima kasih. “Huaaa Op..” belum sempat Kenza menyelesaikan kata-katanya sebuah ringtone Handphone telah berbunyi. Kenza meraih ponselnya cepat dan.. “Huaaaaaaaaaaaaaa.....!” teriak Kenza histeris nyaris membuat seisi cafe pergi menjauh secara hormat.

“YA!! Kecilkan suaramuu! Kau tidak sedang di hutan sekarang, apa kau tahu!!” Tukas Arvan sinis tatkala melihat kekonyolan yang dilakukan oleh gadis di hadapannya itu.

Menyadari dirinya kini tengah di perhatikan oleh hampir setiap orang, cepat-cepat Kenza menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang bebas. Sesekali ia menghanturkan maaf sebari tersenyum seadanya ke sekeliling. “Maaf Oppa aku terlalu bersemangat sepertinya”

“Bersemangat? Bersemangat katamu? Ke-nyata-annya adalah kau telah membuatku malu karena membawa gadis sepertimu!” Jawab Arvan meremehkan.

“Eiyyyy~”

“Memang apa sih? SMS dari siapa? Memangnya apa yang dikataka..?”

Want to Know sekali dirimu. K-E-P-O (Knowning Every Particular Object)” Sanggah Kenza cepat.

Arvan membetulkan kondisi mulutnya yang masih ternganga itu sekilas. Sebuah respon bingo yang di didapatkannya. Ia membesarkan kedua matanya “OKAY! Aku juga tidak tertarik mendengarnya. Lupakan saja!”

“Jeongmalyo??” tanya Kenza menggoda. “Kau pandai berkelit rupanya. Sudah jelas kau penasaran. Baiklah.. aku rasa juga tidak terlalu penting bagimu. Hanya SMS dari seseorang”

“Siapa? Seorang Pria kah?”

“Kenapa kau harus tau? Sudahlah itu tidak penting kan? Lagian hanya sekedar menawarkanku jalan saja kok”

“Heihs.. dan kau sebegitu semangatnya?” lirih Arvan jelas sedang meremehkan. “Memangnya ada yang mau dengan gadis sepertimu?”

“EH?”

“Hitam, jelek, tidak tinggi, badanmu tampak membulat dan.. kau juga mempunyai bentuk hidung yang minim. Sama sekali tidak ada yang menarik”

“OPPA!! KAU INI!!” Arvan hanya mengedipkan matanya sekali dan mengacungkan kedua jari telunjuk dan tengahnya hingga membentuk huruf V. “Just Kidding” tambahnya kemudian.

“Setidaknya jangan terlalu jujur seperti itu bisa kan!” Kenza mengerucutkan bibirnya sebal sementara di sisi lain Arvan masih sibuk dengan tawanya sendiri. “Joha! Kali ini akan kubiarkan kau mengejekku sepuasnya. Ah by the way kau pesan makanan lumayan banyak. Waaaaah Oppa kau baik sekali. Tahu saja kalau aku sedang lapar. Lain kali, sering-seringlah mentraktirku seperti ini” Ujar Kenza sambil nyengir kuda. Orang yang di maksud hanya membalasnya dengan sebuah senyum sinis. Arvan meletakkan salah satu tangannya diatas meja menopang dagunya yang bebas. Matanya kini menatap tajam pada gadis di hadapannya itu, seakan memberi tanda peperangan akan dimulai.

“Siapa yang bilang aku akan mentraktirmu?”

“EH??” Sontak kedua mata Kenza membulat penuh tanya. “Lalu semua ini?” Tanyanya kemudian. “Siapa yang akan membayarnya?”

“Tentu saja kau.”

“HAH??”

“Apa kau lupa beberapa hari yang lalu kau mengganggu tidurku hanya demi untuk menjemputmu? Kau ingat kan? Itu tidak gratis” papar Arvan dengan suara santai dan tenang. “Oh iya, aku lupa membawa dompetku tadi” tambahnya lagi namun masih dengan nada yang sama seperti sebelumnya.

“HAH?? YA! OPPA! Tapi.. aku kan tidak membawa dompetku”

“Oh ya?” balas Arvan singkat dengan nada datar, sama sekali tidak merasa terkejut oleh ucapan Kenza barusan.

“OPPA! Aku serius!”

“Itu urusanmu” balas Arvan lagi, masih dengan nada yang sama seperti sebelumnya sebari meraih seporsi Ayam Bakar di sana dan mulai melahapnya dengan perlahan. Kenza yang masih tidak percaya akan ucapan Arvan, hanya menatap penuh kebingungan pada pria di depannya. Ia menggaruk kedua pipinya pelan, memandangi satu persatu hidangan dengan penuh kepolosan. Kenza menelan ludah paksa, mulutnya mulai berkecap lagi melihat Arvan yang tengah melahap makanannya penuh nikmat. Apa yang harus ia lakukan?

“Makanannya akan kecewa jika hanya kau pandangi saja. Kau tidak makan? Tidak mau?”

“Eh?” ucapan Arvan menyadarkan Kenza dari lamunan singkatnya. “Eh itu.. Oppa ak..”

“Arraseo!” tukas Arvan dengan romanization word yang tanpa sadar ia ucapkan dengan mulutnya sendiri. “Sudahlah makan saja dulu” Kenza mengangguk. Meski masih merasa heran, tapi ia akhirnya mengikuti perkataan Arvan juga. Memangnya apalagi yang bisa ia lakukan, sementara perutnya sejak tadi terus berkoak-koak di dalam, dengan kata lain perutnya memang sudah sangat lapar saat itu. Ia pun mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya yang mungil secara perlahan.

Arvan yang menyaksikan kelakuan gadis di hadapannya itu hanya tertawa ringan karena telah berhasil mengerjai gadis tersebut. Dia jelas sudah tahu bahwa gadis itu sedang tidak membawa dompetnya saat ini, dan dia malah memintanya untuk membayar semuanya nanti itu sama sekali tidak logis. Lagipula dia berbohong tentang lupa membawa dompet, ia jelas membawanya bersama di dalam saku celananya sekarang. Yang benar saja kalau dia harus menjadi Waiter dadakan? Lirihnya dalam hati sebari tersenyum licik akan keisengannya itu. “Kau memang gadis bodoh. Mudah sekali membohongimu” lirihnya lagi. Entahlah bisa mengerjainya seperti ini merupakan hal menarik bagi Arvan. Setiap ada kesempatan Arvan pasti akan selalu melakukan hal-hal menjengkelkan di mata Kenza, menjailinya dengan berbagai keisengan konyol yang ia buat, dan hal itu telah berlangsung cukup lama sejak setahun ini ia mengenal gadis tersebut, tapi kembali lagi, Arvan akan merasa puas dan tertawa senang penuh kemenangan saat merasa sukses menjahilinya.

Usai mengisi perut, Kenza kembali memutar otakmencari solusi untuk membayar makanannya. Bagaimana ini? Apa dia harus menginap di tempat ini untuk mencuci piring atau menjadi pelayan disana demi membayar semuanya? Atau.. dia telpon saja Denia untuk mengantarkan dompetnya kemari? Kenza meraih ponsel di saku celana jeansnya sesaat ia ingat kalau Denia sedang tidak ada di kontrakan tadi. Sela, Ira, Yuni, Mega?? Ahhh mereka kan juga sedang keluar tadi. Kenza menaruh kembali ponselnya, sekarang ia pun menyesal kenapa harus mau ikut dengan pria menyebalkan di depannya itu. Kenza masih sibuk berkelut dengan pikiran sendiri ketika sebuah suara menyadarkannya kembali pada syaraf normalnya. “Apa yang sedang kau pikirkan?” Kenza menatap Arvan dengan tatapan evil-nya. JANGAN PURA-PURA SEAKAN-AKAN KAU TIDAK TAHU OPPA!!

Arvan hanya mendesah santai tanpa memperdulikan tatapan evil yang ditujukan padanya. Ia malah sengaja menyibukkan diri dengan melihat-lihat menu tanpa sedikitpun merasa tertarik. Sementara Kenza masih dengan tatapan evilnya tak henti-hentinya merutuki betapa bodohnya ia karena masuk dalam perangkap pria jahat itu. Tiba-tiba mengajakku pergi dengannya? Membawaku kesini? Memesankan suguhan yang menggiurkan? Suatu ke-tumbenan tanpa memintaku memilih menu? Dan sekarang menyuruhku untuk membayar semuanya? Pantas saja perasaanku tidak nyaman dari awal.

Kenza sangat geram dengan pria satu itu. Melihat Arvan yang seperti tenang-tenang saja, satu lemparan tulang ayam sukses mendarat di baju kemejanya. Arvan pun protes sebari menepis sisa kotoran yang menempel di kemeja cerahnya. Kenza hanya mengedikkan mata tak peduli.

“Setidaknya bantu aku berpikir!”

“Kau masih memikirkan yang tadi?”

“YA!! Memangnya apa lagi kalau bukan karena ke-bo-doh-anmu OPPA!” Ujarnya dengan menekankan kata ‘bodoh’ pada kalimatnya.

Arvan tertawa sinis “Bodoh? !! Eh! Kenapa kau marah? Toh kau juga menghabiskan makanannya kan?”

“Aissssh.. kalau tahu kau tidak membawa dompet kenapa pesan makanan begitu banyak??!!”

“Karena aku lapar” satu jitakan mendarat tepat di kepala Arvan. “YA! Jangan memukul kepalaku. Aku ini lebih tua darimu!” Arvan mengelus elus kepalanya yang terasa sedikit berdengung karena jitakan cukup keras dari Kenza, namun gadis itu sama sekali tak mengindahkan teguran Arvan.

“Sekarang bagaimana?”

Masih dengan mengelus pelan kepalanya, Arvan mengoceh lirih “Kenapa kau tidak mencuci piring atau menjadi pelayan saja sebagai gantinya? Kau kan Perempuan, kalau hanya mencuci beberapa tumpukan piring aku rasa tidak akan menjadi masalah”

“Kenapa tidak kau saja! Lalu bagaimana denganmu? Kau tidak ikut membantuku?”

Setelah memastikan kepalanya kembali seperti sedia kala, Arvan pun kini melipat kedua tangannya di depan dada sebari menatap Kenza dengan ekpresi santai lalu ia menggeleng “Tidak. Aku akan menunggumu disini. Aku rasa tidak akan lama. Sudah sana kau bicarakan baik-baik dengan bosnya dan jelaskan secara baik-baik pula” Kini tangannya seakan mengisyaratkan Kenza untuk segera pergi menemui si pemilik Cafe.

Ciish, KAU MEMANG MALAIKAT PEMBUNUH YANG MEMATIKAN!!”

“Kau bilang apa tadi?”

“Eiyyyy~” Lirih Kenza kemudian dan dalam detik berikutnya ia beranjak meninggalkan Arvan menuju si pemilik cafe tersebut.

~

Memasuki menit ke sepuluh Kenza berada di dapur cafe tersebut, dengan keadaan tangan yang tengah dipenuhi sabun, baju yang sedikit basah karena cipratan air dan kotoran sisa-sisa makanan di piring.Salah seorang Waitress datang menghampirinya. “Loh mbak kok masih di sini?” Kenza yang saat itu merasa sedang mengerjakan denda mengangkat salah satu alisnya heran. Ia bermaksud hendak menjelaskan kronologis keadaan ia bisa sampai di sini kepada waitress tersebut “It...”

“Oh.. bayar?” Potong waitress itu seolah mengerti. “Kan udah di bayar semua mbak”

“Eh? Maksudnya?”

“Iya mbak, teman mbak yang sama mbak itu kan udah bayar semuanya ke kasir” Jelas Waitress tersebut. “Udah mbak sini biar saya saja. Maaf ya mbak ngerepotin” Ucapnya meminta maaf dengan nada yang ramah. “Oh iya mbak sudah ditunggu disana” kata Waitress itu kemudian sebari mengarahkan tangannya sopan kepada Kenza yang langsung diikutinya dan..

“YA!! OPPAAAAAAAAAAAA . . . .!!”

**

Suasana kampus hari itu sangat tenang, membuat Kenza merasa sedikit nyaman untuk sekedar merefreshkan pikirannya yang sudah beberapa hari ini bekerja cukup keras bersamanya. Tangan kirinya kini memegang wadah berisi Ice cream Chocolate Almond Mini yang sejak awal memang sudah ia siapkan. Sementara ia sibuk memilih-milih Playlist Song di Handphonenya dengan salah satu tangannya yang bebas. Kenza membenarkan posisi headset di telinganya sekilas lalu mulai menikmati kembali lagu yang tengah berputar melalui headsetnya.

* From U – Super Junior

“Wuaah lagi ini benar benar membuatku semakin cinta dengan Super Junior Oppadeul.” Kenza bersorak dalam hati. Mulutnya kini ikut berkomat kamit mengikuti lantunan lagu yang sedang berputar. Suaranya terdengar sedikit kacau karena tengah di penuhi dengan Ice cream di mulutnya. Kenza benar-benar ikut terbawa kedalam setiap kata dari lagu tersebut hingga tiba-tiba suara penyanyinya berubah spooky karena bercampur dengan salah satu suara yang sangat Kenza kenal. Kenza mempaus musiknya sejenak dan kemudian mengikuti arah sumber suara yang menurutnya sangat mengganggu itu. Ia merubah mimik wajahnya ala Poor Girl in the world mengetahui seseorang dengan suara menganggu itu telah berada di dekatnya. Tanpa diperintah, kini ia ikut duduk di kursi panjang tersebut tepat disamping Kenza.

“Kesenanganku hilang secara mendadak tepat setelah kau ada di dekatku Oppa!” Ujar Kenza santai tanpa menoleh ke wajah orang yang diajaknya bicara.

“Benarkah?” balas Arvan tidak kalah santainya sebari ikut melipat kedua lengannya di depan dada seperti yang tengah di lakukan oleh Kenza. “Ah.. Apa yang sedang kau dengarkan?” dengan cepat dan tanpa permisi Arvan mengambil salah satu headset part dari telinga Kenza. “Eiyy~ lagu apaan ini?” cibirnya sesaat setelah mendengar lagu yang diputar. “Kenapa kau suka sekali sih lagu berbahasa planet seper..” Sebuah stik ice cream meluncur dengan mulus mengenai wajah Arvan tepat setelah ia mengucapkan kata ‘planet’ disana.

“Kau mau bilang apa? Coba saja kau katakan lagi jika kau berani” ancam Kenza kepada pria yang kini tengah sibuk membersihkan tetesan ice cream yang menempel di wajahnya itu dengan jijik.

“Kau ini hobi sekali melempariku dengan sisa makananmu!” Protes Arvan tanpa respon apapun dari Kenza yang justru hanya mencibir rilex di tempatnya. Aissh kau benar – benar seorang Kpopers holic. Baiklah aku tidak akan mengusik your’s Craziest Hobby again!.” Tukas Arvan kemudian sebari menggelengkan kepalanya di udara bebas. “Oh iya ada yang ingin aku tany...”

“Van, disini kau rupanya” Perkataan yang meluncur keluar dari bibir seseorang disana langsung membuat kalimat yang hendak diucapkan Arvan menjadi terputus.

“Eh Joni ada apa?” balas Arvan cepat.

“Ada hal penting yang ingin kami sampaikan.”Jawab pria yang bernama Joni itu sebari mendekat. Beberapa teman lainnya tampak ikut mengekor dibelakang. “Ini siapa?” tanya salah satu temannya sebari mengedikkan dagu ke arah Kenza. Sementara Kenza yang menyadari seseorang tengah menanyai tentang dirinya hanya mengangguk formal sebagai tanda hormat.

“Junior kita” balas Arvan singkat. “Teknik Informatika angkatan 2011” Jelasnya kemudian. Beberapa teman yang lain hanya turut mengangguk seakan mengerti. Arvan mengajak mereka sedikit menjauh dari posisi sekarang dan dalam menit berikutnya mereka telah terlibat dalam sebuah percakapan serius.

Kenza menarik nafas jengah, bahkan di saat ia menemukan ketenangan yang baru di dapatkannya pun masih ada saja orang-orang datang mengusik. Usai menikmati bahkan hampir ke rembesan terakhir ice cream tersebut, kini ia merogoh tas slempang miliknya mengeluarkan sebuah Novel bercover pink dari dalamnya. Summer in Seoul by Ilana Tan. Sebuah novel yang untuk sekian kalinya telah ia baca namun entah bagaimana alasannya selalu menarik hati Kenza untuk membacanya ulang. Saat baru membaca beberapa halaman, Kenza beralih memperhatikan sekelompok orang tadi yang sedang mendiskusikan sesuatu disana. Meskipun jarak mereka tidak terlalu jauh, namun gelombang suara dari telinga Kenza masih tetap bisa menangkap pembicaraan mereka. Lagi-lagi tentang program sosialitas.

Kata-katanya.... begitu tenang. Penuh dengan kebijakan.

Ekspresinya...tidak seperti ia yang aku kenal.

Tatapannya..

Sikapnya...

Cara dia menyampaikan pesan tampak begitu mahir dan berkesan..

Huaaaaa... bagaimana mungkin?? Kenza menepuk-nepuk kepalanya pelan dengan buku di tangannya. Ia kembali mengingat mundur sejarah perkenalannya dengan Arvan sejauh ini. Berbagai ingatan berkecimpung di sekitar kepala Kenza seperti sebuah Slide Power Point otomatis. Otaknya seakan di paksa berpikir untuk mencari sepenggal ingatan yang seharusnya ada. Layaknya sebuah touchscreen phone ia mengulang beberapa kejadian di masa lalu. Back. . . back. . . back. . .and back again. Seakan yakin ia tidak atau mungkin belum menemukan ingatan yang dicarinya, ia menghembuskan nafas sedikit panjang hingga beberapa helai poninya ikut tertiup keluar.

Di sisi lain, Arvan telah kembali menghampiri Kenza meninggalkan sekelompok temannya yang juga ikut bubar. Ia memasukkan sebuah map berisi berkas-berkas penting itu sekilas ke dalam tas ranselnya. Setelah di pastikan masuk dengan benar, ia duduk kembali di tempatnya semula. “Kau kenapa?” tanya Arvan seakan merasakan aura yang tidak mengenakan pada ekpresi wajah gadis tersebut.

“Eiyyyy~ selain pembunuh mematikan ternyata kau juga pandai menipu orang”. Ucap Kenza lirih nyaris tak bersuara namun telah terdengar ke telinga orang yang bersangkutan.

Arvan membalikan badannya ke kiri menatap gadis di sebelahnya dengan rasa tak terima. “Apa maksudmu?“ kini ia menjadi penasaran dengan arti dari perkataan Kenza barusan.

Kenza menoleh. Sekarang posisi keduanya sudah seperti dua ekor banteng bercula lima yang siap menyerang satu sama lain. “Neo mollayo?”

“Berhenti menggunakan bahasa yang tidak aku mengerti. Harus aku bilang berapa kali sih untuk tidak mengkontaminasi otakku mentranslate kalimat seperti itu?? Sekarang cepat jelaskan apa maksud ucapanmuu tadi?”

“Haruskah aku jel..”

“YA! Kenza Arufila! Cepat katakan!”

“Oppa.. haruskah kau berteriak seperti itu?”

Arvan tidak mengindahkan ucapan Kenza, ia justru merasa lebih tertarik untuk mengetahui lebih jelas maksud dari perkataan Kenza tersebut “KENZA!! apa maksud dari pandai menip..

“YA! OPPA! Berhentilah menipu orang dengan berpura-pura ramah pada mereka. Begitu baik, lembut dan tampak serius pada mereka. Berhentilah melakukan semua itu.”

“What?”

“Kau bahkan tidak memperlakukanku demikian. Mungkin telah sekian banyak orang yang menilaimu begitu baik di depan mereka tapi kenapa hal itu tidak berlaku padaku? Apa kau lupa? Kau selalu saja memperlakukanku dengan – sangat - tidak baik, mengerjaiku, mengejek, bahkan kau sering menyabotase diriku dan sekarang? Kau bahkan berteriak seperti itu padaku. Aish.. 180 derajat berbeda dengan sikapmu pada yang lain”

Arvan begitu terkejut dengan kata-kata yang di lontarkan keluar dari mulut Kenza. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis yang selama ini berteman cukup baik dengannya, telah menilai dirinya seperti itu. Sebuah kesalahan kah yang telah ia lakukan? Hingga Kenza bisa berkata demikian? Arvan diam sesaat. Pikirannya saat ini telah berkelebat kesana kemari mencoba mengoreksi kembali dirinya. Arvan sekarang mengerti, tapi apa yang harus ia katakan? Kenza benar tentang semuanya. Kenza benar jika menilai ia telah bersikap tidak adil kepadanya. Tapi.. bukankah selalu ada rahasia di balik sebuah alasan?? Rahasia? Alasan? Arvan bingung tentang rahasianya sendiri, bahkan untuk mengklarifikasikan alasannya pun ia tidak cukup mengerti. Sekarang, yang perlu Arvan lakukan adalah merendahkan nada suaranya dan bersikap tenang seperti ia yang sebenarnya. “Kau.. apa sekarang kau sedang marah padaku?”

“Tentu saja!. Eungg..” Kenza merendahkan nada bicaranya agar terdengar lebih nyaman. “Ok maaf mungkin kata-kataku tadi sedikit berlebihan. Sebenarnya kau tidak selalu seperti yang kukatakan sih karena..” Kenza memotong ucapannya sejenak lalu setelah menimbang-nimbang ia melanjutkan “Karena.. Ah sebenarnya aku hanya bingung. Suatu saat Oppa bisa bersikap baik padaku dan selalu membantuku serta menganggapku seperti adikmu sendiri tapi di saat yang bersamaan pula kau bisa berubah menjadi orang yang sangat menjengkelkan bagiku. Bukankah itu keterlaluan? Sebenarnya kau ini makhluk seperti apa sih? Tiba-tiba baik seperti malaikat dan tiba-tiba kemalaikatanmu itu berubah menjadi iblis jahat dari neraka terburuk sekalipun. Fiuuuuh~”

Bukannya merasa sedih atau tertindas atas kata-kata Kenza, ia malah tertawa lepas di tempat. Suatu kebanggaan tersendiri baginya karena telah mendapat penilaian cukup mendetail dari seorang gadis seperti Kenza. Bukankah sudah jelas dari pengakuan Kenza barusan bahwa tidak seterusnya ia bersikap seperti iblis jahat dari neraka terburuk sekalipun? “HAH? Apa maksudnya? Aish.. anak ini benar-benar.”

“Oppa! Kenapa kau tertawa?”

“Eh? Apa aku seperti orang yang sedang tertawa?”

“Hei! Oppa jelas-jelas sedang tertawa sekarang!”

“Okay. Okay. Syukran. Syukran

“Eh?”

“Kenapa? Kau tidak tahu?” Kenza menggeleng. “Oh iya aku hampir lupa kalau aku juga punya bahasa sendiri yang tentu saja tidak kau mengerti. Syukran itu Arabian Word. Mengerti bahasa ini lebih penting dalam agama kita daripada bahasamu yang aneh itu.”

“So, artinya apa?”

“Terima Kasih.”

“Kenapa kau berterimakasih?”

“Karena dengan begitu aku jadi tahu penilaian orang-orang terhadapaku, dan... termasuk kau. Yayaya meskipun baru kau saja yang terdengar mendefinisikanku begitu jelek. Just you and the first one. Waaaah tidak disangka aku cukup baik juga dalam memberikan kesan tersendiri” puji Arvan lebih kepada diri sendiri seraya menarik nafas halus di udara bebas.

“Ciish.. apa itu sesuatu yang harus dibanggakan?”

“Eiiyy~ padahal ada sesuatu yang ingin ku tanyakan padamu tadi” kilah Arvan cepat berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Mwoga?”

“Aish jeongmal! Padahal sudah kubilang jangan pakai bahasa itu lagi saat bicara”

“Kau ini terus saja mengomel padahal kau juga mengatakan dengan bahasa yang sama. Woaaa.. tidak kusangka ternyata kau belajar cukup banyak dariku tentang romanization word.

“Itu semua karena aku keseringan bergaul denganmu. Berhentilah mengeksploitasi bahasaku mulai dari sekarang”

Kenza hanya terkekeh pelan. Suasana antara keduanya sudah mulai membaik dari sebelumnya. “Oppa.. apa yang ingin kau tanyakan tadi?”

“Oh benar juga. Ah Kenza, bukankah kau suka menulis?”

“So?”

“Buatkan satu saja cerita khusus untukku”

“Maksudnya?”

“Ceritakan tentang aku dan segala deskripsi mengenai diriku. Maksudnya... akulah pemeran utama dalam cerita tersebut. Atau.. terserah kau sajalah bagaimana bagusnya. Apa kau mengerti? Mengerti tidak? YA! Kenza. Kau bisa tidak?”

Kenza menggelengkan kepalanya menyadarkan diri dari lamuman sesaat. “Arraseo! Tapi.. kenapa kau berpikiran begitu secara tiba-tiba?”

“It’s my Privacy bisnis. And u don’t need to know about. Sudahlah kau buatkan saja seperti yang aku bilang

“Cish kau memang paling pandai memerintah orang. Ah apa perlu aku masukan juga kisahmu dengan gadis rahasia itu?”

“Gadis? YA! Sudah kuperingatkan jangan bawa-bawa dia lagi. Apa kau tidak tahu kalau aku bisa sangat malu jika membicarakan mengenai dirinya?”

“Heeeeii sejak kapan pria jahat di sebelahku ini menjadi seekor kucing pemalu? Waaah wajahmu benar-benar mulai memerah dengan sempurna”

“Aku serius! Ini menyangkut masalah reputasi dan harga diriku di depanmu”

“Benarkah? Bukannya kau bilang antara dia maupun Oppa sudah sama-sama mengungkapkan perasaan masing-masing? Kalian berdua sama-sama sudah tahu kan? Lalu kenapa tidak meresmikan satu hubungan (pacaran) saja sih? Memangnya mau sampai kapan kalian bertahan dengan perasaan itu? seiring waktu, perasaan tiap manusia pasti akan berub... AW!! Kenapa kau menjewer telingaku?” protes Kenza sebari mengusap-usap telinganya yang mulai tersa memanas.

“Kau ini masih kecil. Berhentilah mengguruiku seperti itu!”

“Anak kecil? Eish Oppa bahkan Cuma 2 tahun lebih tua saja dariku. Dan berhentilah membanggakan status karena ketuaanmu itu!” balas Kenza tak kalah sinisnya. Arvan hanya menggeretakan giginya geram. “Heiiyy~ kau ini memang gadis sinis!”

“Dan kau memang pria jahat”

“Arraseo! Terserah kau saja gadis be-la-ngsak-an?” ejek Arvan kemudian sambil mengacak rambut Kenza pelan.

“MWO!!”

Arvan seakan tak memperdulikan protesan Kenza justru dengan tenangnya memngalihkan pembicaraan untuk kedua kalinya “Ah sudah jam berapa sekarang?” ujarnya tak penting karena jelas sebuah jam tangan melingkar di tangan kirinya.

“AH! Sudah masuk waktu Ashar. Kau tunggu disini sebentar” Ucap Arvan terburu lalu beranjak meninggalkan Kenza. Tak berapa lama kemudian Arvan telah kembali dengan sepeda motor matiknya. “Ayo naik”

“Mau kemana?”

“Mengantarmu pulang”

-

“Hei”

“Ehm?”

“Apa tadi aku benar-benar membuatmu marah?” tanya Arvan di sela-sela fokus dengan stirnya.

“Lumayan” Jawab Kenza cepat seolah tidak tertarik untuk membahas masalah ini lagi ke permukaan.

“Afwan”

“Eh? Bahasa apa lagi itu?” tanya Kenza kembali penuh kepolosan. “Arab juga?”

Arvan menganguk dari balik helmnya “Tentu saja. Afwan itu artinya maaf. Sepertinya kau memang harus belajar banyak dariku. AH! baiklah. Mulai sekarang dan seterusnya aku akan mengenalkanmu pada kata-kata Arab yang lainnya. Okey?”

“Seperti pernah mendengarnya?.. YA! OPPA! Kau memplagiat kata-kataku ya!”

“Benarkah?”

Kenza hanya menggembungkan kedua pipinya sebal. “By the way.. Apa benar tidak apa-apa aku tidak pakai helm?”

“Tenang saja”

“Kau yakin? Bagaimana kalau kita di razia?

“Akan kuturunkan kau disini”

“HAH?”

“Dan meninggalkanmu ditempat dengan segera”

“YAAAAAA!!!!”

RCL ya :*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun