Artikel ini ditulis oleh Novia Alya dari Kementerian P3
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan isu yang sering kali terabaikan dalam masyarakat kita, meskipun dampaknya sangat mendalam dan merusak. Setiap tahun, ribuan perempuan mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, emosional, maupun psikologis, yang mengancam keselamatan dan kesejahteraan mereka. Dalam banyak kasus, korban terjebak dalam siklus kekerasan yang sulit diputus, sering kali merasa tidak berdaya dan terisolasi. Namun, di balik setiap kisah kesakitan, terdapat suara-suara yang berani bangkit dan menceritakan pengalaman mereka, mengubah luka menjadi kekuatan yang menginspirasi.
Artikel ini akan mengangkat kisah pilu seorang perempuan, Cut Intan Nabil, seorang selebgram yang berani berbagi pengalaman pahitnya sebagai korban KDRT. Melalui pengalamannya, kita akan menyelami realitas yang dihadapi banyak perempuan, dari perjalanan awal yang dipenuhi harapan hingga kenyataan pahit yang mengubah hidupnya. Dengan mengangkat cerita Cut Intan, kita tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan dalam rumah tangga, tetapi juga untuk memberikan dorongan bagi korban lain agar berani berbicara dan mencari bantuan.
Saat ini, data terbaru dari kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak  menunjukkan bahwa dari total kasus kekerasan yang terverifikasi sejak 1 Januari 2024, sekitar 79,7% dari korban adalah perempuan, sementara 20,3% adalah laki-laki. Angka ini mencerminkan kenyataan bahwa perempuan masih menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan, baik dalam konteks rumah tangga maupun di luar. Sementara itu, data yang belum terverifikasi menunjukkan bahwa angka tersebut mungkin lebih tinggi, karena banyak korban, terutama perempuan, masih enggan melaporkan kekerasan yang mereka alami. Data yang terus diperbarui menunjukkan urgensi untuk meningkatkan kesadaran dan tindakan terhadap isu ini.
Cut Intan Nabil, seorang selebgram yang berani berbagi pengalaman pahitnya sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Di balik popularitasnya di media sosial, Cut Intan mengalami perjuangan yang berat yang tidak banyak diketahui publik. Melalui pengalamannya, kita akan menyelami realitas yang dihadapi banyak perempuan, dari perjalanan awal yang dipenuhi harapan hingga kenyataan pahit yang mengubah hidupnya.
Pada awal hubungan, Cut Intan merasakan cinta yang dalam dan dukungan yang luar biasa dari suaminya. Seperti banyak perempuan lainnya, ia berharap untuk membangun keluarga yang bahagia dan harmonis. Namun, seiring berjalannya waktu, harapan itu mulai pudar ketika suaminya menunjukkan sifat-sifat kontrol yang berlebihan. Dia mulai membatasi interaksinya dengan teman-teman dan mengatur konten yang dia bagikan di media sosial. Pada titik ini, Cut mulai merasakan ketidaknyamanan, namun dia berusaha untuk mengabaikannya, berharap semuanya akan membaik.
Ketika hubungan itu berkembang, Cut mulai mengalami bentuk-bentuk kekerasan yang lebih serius. Tindakan verbal yang merendahkan berubah menjadi kekerasan fisik, dan Cut merasakan dampak emosional yang mendalam. Setiap kali dia berusaha untuk berbicara atau mengungkapkan ketidakpuasan, dia justru mendapat ancaman atau intimidasi dari suaminya. Ketidakberdayaan dan rasa takut yang dialaminya membuatnya terjebak dalam siklus kekerasan yang sulit diputus. Dalam kondisi ini, banyak perempuan merasa bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain selain bertahan, meskipun konsekuensinya sangat menyakitkan.
Banyak perempuan yang memilih untuk menyimpan permasalahan rumah tangganya, yang sering kali membuat mereka terjebak dalam siklus kekerasan. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian laki-laki cenderung mengekspresikan emosinya melalui kekerasan, sementara perempuan lebih terbuka dalam mengekspresikan perasaan mereka. Meskipun demikian, laki-laki juga memiliki potensi untuk menjadi agen pemutus rantai kekerasan. Namun, tanggung jawab ini tidak sepenuhnya terletak pada laki-laki. Semua orang, tanpa memandang gender, memiliki peran penting dalam menghentikan kekerasan dalam hubungan. Oleh karena itu, upaya untuk memutus siklus kekerasan dalam rumah tangga memerlukan kesadaran dan kolaborasi dari seluruh elemen masyarakat (Jufanny & Girsang, 2020).
Pengalaman Cut Intan merupakan refleksi dari situasi yang dihadapi banyak perempuan di Indonesia, di mana stigma sosial dan ketidakpahaman mengenai KDRT sering kali menghalangi mereka untuk berbicara. Banyak korban merasa terjebak dalam rasa malu dan ketakutan, yang membuat mereka enggan untuk mencari bantuan atau melaporkan kekerasan yang mereka alami.
Dengan mengangkat cerita Cut Intan, kita tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan dalam rumah tangga, tetapi juga untuk memberikan dorongan bagi korban lain agar berani berbicara dan mencari bantuan. Cerita Cut menunjukkan bahwa ada harapan dan jalan untuk pemulihan. Melalui dukungan dari teman-teman, keluarga, dan organisasi yang peduli, Cut akhirnya menemukan keberanian untuk keluar dari hubungan yang merusak itu. Dia mulai menghubungi lembaga perlindungan perempuan dan anak yang membantunya mendapatkan dukungan dan pemulihan.
Dengan keberaniannya, Cut Intan tidak hanya berhasil menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi juga menjadi suara bagi banyak perempuan lain yang menghadapi situasi serupa. Dia memanfaatkan platform media sosialnya untuk berbagi pengalaman, menyebarkan kesadaran tentang KDRT, dan mendorong perempuan lain untuk mencari bantuan.