Namanya mas Dion, tanpa ‘Wiyoko’. Perawakan hingga cara bicaranya entah mengapa mengingatkan saya pada seorang Agus Mulyadi. Siapa sangka, ia menjadi alasan saya tersenyum sendiri saat mencuci baju pagi ini. Tak ada seragam hijau kebanggaan korporasi tempatnya bekerja, ia hadir menjemput saya justru dengan jeans ramping hitam dan kemeja panjang flannel bermotif kotak-kotak. Saya sendiri saat itu mengenakan dress batik pendek dan duduk menyamping. Bisa dipastikan, orang yang melihat kami ngobrol dengan akrabnya akan mengira kami sejoli muda yang hendak malam mingguan.
Di durasi sekitar 25 menit, banyak yang kami obrolkan, seperti perbandingan Jakarta dan Surabaya hingga berkomentar penuh kagum terhadap kinerja bu Risma. Dengan medok yang antusias ia menyebutkan beberapa karya sang walikota. Saya sendiri yang hanya perantau memang pengagum beliau, tapi memang menyenangkan untuk tahu bahwa seorang penduduk dapat begitu mencintai pemimpinnya.
Dalam sudut pandangnya, yang seumur hidup tinggal di sisi terminal Bungurasih, ia melihat Surabaya makin berkembang walaupun persaingan makin kejam. Dalam kacamatanya, bemo ataupun bus kota yang makin sepi, tidak akan kehilangan pamor dengan kehadiran kompetitor yang lebih canggih.
Bahasanya: “wes onok rejekine dewe-dewe, mbak” (sudah ada rejekinya sendiri-sendiri)
Awalnya saya dalam hati menertawakan konklusi yang ia sodorkan. Bahwa rejeki sudah ada yang atur, bahwa rejeki tidak akan tertukar. Naif sekali bukan? Tapi setelah beberapa lampu merah kami lewati, saya jadi sadar. Mungkin saya telah menjadi satu di antara jutaan manusia yang memperumit kehidupannya sendiri. Golongan manusia yang terlalu banyak membaca buku strategi sukses hingga mendustakan bahwa Oknum dibalik “Ada Yang Ngatur” itu akan senantiasa berperan besar. Dan sejatinya, Oknum itu memang tak pernah dibatasi oleh berbagai teori kinerja manusia. Sebuah sudut pandang polos yang banyak ditemukan di pinggir jalan. Manifestasi iman yang lugu nan sederhana.
Tanpa sedikitpun rasa nelongso, mas Dion menutup topik ini dengan berkata “Seng penting kerja keras, mbak”.
Bukan hanya presiden yang punya slogan tersebut, orang-orang pinggirpun tak mau kalah. Seorang mas Dion yang sehari-hari bergelut di jalanan dari jam 7 pagi hingga 3 subuh, hanya untuk menopang kehidupan. Penghasilan hariannya maksimal seharga dua lembar pecahan rupiah terbesar. Di saat yang sama ada sekolompok manusia yang begitu manja dengan hidupnya sendiri.
“I need vitamin sea” // “craving for holiday” // “kapan naik gunung lagi”
dan sebagainya.
Kita semua suka liburan, kita menikmati dan belajar banyak dari pelesir. Secara alami kita sang generasi millenials memang doyan traveling, Tapi selalu jadi pilihan pribadi kita untuk menjadikannya sebuah keharusan atau sekadar bonus. Kadang kita hanya lupa, bahwa merupakan sebuah kehormatan jika kita bisa bekerja keras untuk hidup kita sendiri, maka jangan jadi manja. Delapan jam sehari di ruang yang sejuk, lima hari seminggu, dan gaji melampaui UMR. Yakin kita masih mau mengeluh?