Pasti kamu tahu, isu apa yang sedang ramai diperbincangkan saat ini. Saya kini tertarik mengamati tingkah netijen dan menyatakan posisi personal serta membagi pandangan saya terkait hal itu. Dari sana, saya harap saya bisa mengusulkan beberapa poin yang bisa dipertimbangkan dan berguna untuk kondisi serupa di kemudian hari.
Saya mau memulainya dengan membagi satu film, The Social Dilemma. Di film ini disajikan data bahwa kondisi saat ini sangat terpolarisasi atas pilihan masing-masing terutama di bidang politik. Walaupun sample yang diambil adalah masyarakat Amerika, kita tahu persis hal senada terjadi di negara kita. Kita sudah melihat dulu Anies vs Ahok, lalu Jokowi vs Prabowo. Kini, pro vs kontra UU 'itu'.
Hal ini tidak lain berakar dari algoritma media sosial. Kita akan didekatkan dengan kita minati dan itu membuat kita bias. Pendukung Jokowi akan terus menerima berita dari web yang pro dengan beliau dan seakan membenarkan pilihannya.Â
Terlepas itu buzzer atau bukan, dengan data valid atau tidak. Demikian pula pendukung Prabowo, Bu Risma, dan tokoh lain. Hal ini makin fatal ketika:
- Kita dikeliling orang yang sepaham dengan kita;
- Kita tidak berusaha mempertanyakan atau mengkritisi cara pandang kita.
Saya sendiri, punya kecenderungan membela pemerintah ini. Saya bicara di conference soal nasionalisme sebagai double minority, saya berbicara di Mata Najwa untuk menyuarakan harus berhentinya wawancara yang rasis, saya seorang guru PKn yang berusaha mempromosikan Indonesia sedemikian sebagai negara yang indah ke murid, dan saya bahkan lebih sering mendoakan negara ini daripada mendoakan impian saya sendiri untuk bisa tinggal di Norwegia.Â
Bisa disimpulkan betapa saya sangat mencintai negara ini hingga saya bersedia dipusingkannya!
Dulu, saya bisa sangat marah ketika ada yang mencela atau mengajukan protes terhadap pemerintah. Saya punya prinsip "berkontribusilah, jangan hanya mengkritik".Â
Saya suka menggunakan pepatah "lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuki gelap" sebelum saya sadar, ternyata kondisi gelap itu pun hadir dari proses yang kelam dan panjang. Namun cara pandang saya perlahan berubah. Saya perlu pertegas: cinta ke Indonesia-nya sama, pandangannya saja yang perlahan diperkaya.Â
Ini dimulai dari momen Pilkada Jakarta, yang benar-benar membuka mata saya bahwa keberisikan masing-masing pihak itu tidak berujung, sebab keduanya merasa argumennya benar karena ada sumber di internet yang mengatakan itu.
Tragis memang, critical thinking minim dipakai, ketika cinta dan benci begitu membabi buta. Semua merasa opininya final, dan parahnya merasa berhak untuk memaki serta mengerdilkan pihak yang berbeda. Lalu lupa, bahwa siapa pun yang terpilih tidak akan membantu kita mengangkat kasur saat banjir dan tidak pula menolong kita mendorong mobil saat kendaraan kita yang masih kredit tiba-tiba macet di jalanan.