Orang-orang yang lahir dengan keterbatasan tertentu dapat bernafas lebih lega di zaman ini, mengingat tingkat awareness yang lebih terbentuk dan banyaknya pihak yang turut memperjuangkan. Singkatnya, orang dengan disabilitas kini lebih diterima. Fakta melegakan ini tak berarti masyarakat sudah nihil tugas untuk membuat lingkungan yang aman dan nyaman bagi mereka.Â
Misalnya dengan masih maraknya sebutan-sebutan yang mencuat dalam interaksi sehari-hari dengan tendensi mengejek atau merendahkan. Misalnya "Autis lu!" yang ditujukan pada mereka yang terus-terus sibuk pada satu hal.Â
Atau kata "cacat" yang dilontarkan dengan nada bercanda namun sepenuhnya tidak tepat. Jelas mereka tidak sengaja untuk melukai, namun itupun lahir dari ketiadaan empati kepada mereka yang  berjuang di berbagai keterbatasan.
Lantas jika ditanyakan hal apa yang pertama dapat kita upayakan, maka jawabannya adalah dengan menegur orang-orang yang masih sembarangan menggunakan kata-kata yang identik dengan kondisi disabilitas sebagai bahan bercanda atau merendahkan.
Solusi yang lebih jauh
Menilik "apa yang bisa kita lakukan" harus dimulai dari mengoreksi akar cara pikir kita. Banyak orang terjebak dalam pikiran mendevaluasi (mengurangi nilai) diri seorang penyandang disabilitas karena terjebak dengan yang disebut The cult of normalcy atau kecenderungan mengkultuskan kondisi normal. Kita kerap tergoda untuk merendahkan atau tidak berempati tak lain karena jurang antara normal dan tidak yang kita buat sendiri.
 Satu contoh yang menurut saya paling menohok adalah ketika pembicara kelas kemarin mengatakan bahwa jika berpacu pada definisi yang awal disinggung, maka kita (sebab saya juga!) yang menggunakan kacamata adalah kaum dengan disabilitas sebab kita membutuhkan alat khusus untuk menunjang kemampuan dasar kita.Â
Sayangnya, fakta ini tidak diperhitungkan signifikan sebab jumlah pengguna kacamata yang sangat banyak. Muncul pemikiran bahwa "menggunakan kacamata itu normal-normal saja."
Betul, masyarakat sering menggunakan standar ganda, termasuk pada isu ini. Namun pada intinya semua berakar pada pengkultusan kenormalan.
Saya jadi ingat, setahun lalu untuk membahas topik ini, saya mengenalkan sebuah film The Road Within ke murid saya. Film itu mengisahkan tiga orang dengan 'kelainan' masing-masing. Penderita Tourette Syndrome, OCD, dan Anorexia.Â
Ketika saya tanyakan apa kesimpulan yang murid saya dapatkan, seorang murid menjawab "mereka juga istimewa namun dengan cara yang berbeda." Seketika saya terharu dan agaknya kesimpulan serupa dapat kita padankan di kasus disabilitas.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!