... dan saya cuma wong cilik yang tidak akan bisa mengubah kebijakan publik apapun. Jangankan tentang penggusuran lahan di berbagai tempat dan kriminalisasi terhadap banyak orang, soal warung terdekat saja saya tak bisa berbuat apa-apa. Huft
Di ruas jalan dekat kost-an saya, ada sebuah warung penyetan yang banyak disukai. Saya berkata demikian bukan tanpa sebab, tapi karena melihat sendiri bagaimana warung penyetan ini selalu ramai didatangi pembeli dari berbagai kalangan. Warung ini juga yang pernah membuat saya menulis soal arti pertemanan ketika saya mengamati percakapan seru tiga mahasiswa laki-laki, dan menulis soal PokemonGo setelah melihat bagaimana koko-koko berbaur tanpa dinding bersama mas-mas penjual saat membicarakan pencarian pokemon.Bagi saya, warung penyetan ini istimewa sekali. Apalagi, posisinya yang strategis memungkinkan saya untuk melakukan "drive thru" ketika sudah terlalu lelah untuk makan di tempat. Kemarin pun demikian, tanpa memarkir motor, saya berhenti di sisi samping warung (agar tidak menganggu pengguna jalan) dan hendak membungkus lauk pengisi perut. Lalu dua kabar kurang enak saya terima. Satu, semua lauk sudah habis; dua, mereka akan pindah. Jelas saya sedih berbalut khawatir, mengingat warung itu adalah warung terdekat yang bisa saya tempuh dengan jalan kaki. Mereka berpindah lokasi yang kali ini mengharuskan saya naik sepeda motor.
Akhirnya malam ini, usai menghadapi hari yang melelahkan, saya mendorong diri saya unuk singgah di sana. Pikir saya sederhana, kalau baru pindah seringnya sepi, maka saya bisa menambah sedikit penghasilan mereka. Saat tiba, tak jauh dari dugaan, warung itu sepi. Padahal, di lokasi awal di jam makan malam, kadang saya tidak dapat kursi untuk duduk.
"piye mbak tempat anyar e iki?" (Gimana mbak tempat barunya ini?)
Itulah pertanyaan pertama yang mas owner lontarkan, saya pun jawab dengan lugas bahwa lebih enak tempat yang sebelumnya. Dia tak banyak merespon. Lalu sambil melahap menu yang saya pilih, saya memperhatikan segala interaksi yang terjadi di sana. Mas kurus dengan kaos hitam itu berbeda sekali, dia terlihat gelisah. Misalnya ketika melihat kayu tripleks yang berongga dan pasti membuat bocor saat hujan dan ketika menata tumpukan lele yang masih tinggi padahal biasanya mungkin sudah berkurang setengahnya. Dia terus berbicara ke satu orang, yang saya tebak adalah orang yang memberi lahan untuk mas Thofa sewa sebagai lokasi baru warungnya. Tetap, dengan tatapan yang gelisah.
Sayapun mengajak bicara satu mas yang lain untuk mencari informasi mengapa harus pindah. Jawabannya adalah karena penggusuran dari satpol PP. Saya bingung harus merasa wajar atau terkejut. Toh bukan pertama kali kabar semacam itu saya terima. Sebelumnya saya harus mengucapkan selamat tinggal ke warung nasi uduk hangat pagi hari. Di saat yang bersamaan saya memang terkejut, karena sejujurnya ruas jalan daerah kost-an saya itu makin memuakkan.Â
Bertumbuhnya kafe baru membuat mobil-mobil mengalihfungsikan jalan dari jalur transportasi menjadi lahan parkir. Itu menyebalkan! Saya beberapa detik berujar di hati, kalau sampai penggusuran itu hanya dimaksudkan untuk menambah satu ruang lagi parkir liar, saya tentu akan marah.
Tiba-tiba saya menertawakan gertakan amarah saya sendiri. Marah? Ke siapa? Kamu sendiri siapa? Anaknya Bu Risma juga bukan. Pada akhirnya saya cuma wong cilik yang tidak akan bisa mengubah kebijakan publik apapun. Apalagi dengan pemahaman saya yang terbatas, penilaian saya amatlah subjektif. Saya tidak suka penggusuran itu murni karena itu menjauhkan saya dari warung penyetan kesukaan saya.
Ya sudahlah.. dengan menyeruput jeruk hangat, saya menyudahi pergulatan di hati. Lalu sebelum beranjak berdiri dan membayar, seorang nenek dengan daster tosca datang. Mas-mas yang awalnya duduk dengan muka yang memang tak ceria, langsung berdiri dan melayani pesanan dari nenek yang memegang kresek sebagai tempat ia menaruh uang. Mas-mas itu tersenyum dan dengan sabar menjawab satu per satu pertanyaan dari sang nenek: "yang ini harganya berapa?" sembari menunjuk jari dari arah ayam, gurame, hingga terong.
Saat memperhatikan itu hati saya jadi hangat, melihat mereka tetap berusaha memberi pelayanan yang baik. Kepada siapapun. Mungkin ini alasan mengapa warung penyetan Cak Thofa ini amat laris dan punya banyak pelanggan: mereka berusaha menjalani bisnis kecil mereka dengan ketulusan.
Saya mendadak bersalah dengan jawaban saya yang buruk di awal sebelum duduk makan, bahwa saya lebih menyukai lokasi yang lama. Jawaban itu mungkin akan membuat mereka makin merasa buruk dengan penggusuran yang ada. Maka saat membayar saya sempatkan berkata, bahwa tahu goreng mereka malam itu lebih enak dari biasanya dan jeruk hangatnya tidak seasam yang lalu-lalu. Mereka tertawa. Bukan hanya tersenyum kali ini. Dan di titik itu saya tahu, walau saya tidak bisa mengubah kebijakan pemerintah apapun, saya bisa mengubah satu hal: raut muka seseorang. Dengan kalimat positif dan hati yang tulus.