Mohon tunggu...
Claudya Elleossa
Claudya Elleossa Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pencerita

Seorang ASN dan ibu, yang sesekali mengisi pelatihan menulis dan ragam topik lainnya. Bisa diajak berinteraksi melalui IG @disiniclau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Harus Memikirkan Ulang Prinsip "Gusti Mboten Sare"

3 Desember 2017   18:13 Diperbarui: 3 Desember 2017   18:36 6947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Instagram Jogja_darurat_agraria

Foto ini saya ambil dari akun instagram Jogja_darurat_agraria. Sebuah pernyataan yang tidak asing dalam bentuk kalimat yang dapat beragam. Intinya, keimanan orang Indonesia terhadap Tuhan tak perlu diragukan, tapi... tapi ada yang salah untuk terus mendengungkan ini senantiasa.

Memperhatikan postingan di akun Jogja Darurat Agraria seketika membuat long weekend saya terinterupsi sebuah perasaan tak enak. Walaupun ada cercahan rasa syukur sebab ada akun semacam itu yang hadir mengedukasi saya yang tinggal puluhan kilometer dari lokasi, tapi lebih besar dominasi rasa ingin marah dan berteriak di depan para orang yang berdalih bahwa Jogja membutuhkan bandara baru. Bayangkan, hanya untuk satu bandara, 637 hektar yang mencakup 6 Desa dan 11.501 jiwa harus dikorbankan. Kehilangan tanah yang telah digarap generasi demi generasi demi lumbung padi terisi, yang telah ditanami tanpa manja untuk mengharap banyak dari pemerintah yang rajin beretorika, yang telah diairi oleh doa agar lahannya tetap subur dan kalau boleh mereka mencicipi yang namanya makmur.

Saya memang tak tahu banyak tentang seluk beluk pertanian. Anak pertanianpun, bukan. Namun sedari kuliah di antara isu-isu lain yang perlu jadi PR Pemerintah, hati saya terpaut di isu ini. Skripsi saya juga mengangkat tentang ketidakadilan hak paten internasional terhadap kepemilikan benih para petani Indonesia. Ada tumpukan amarah entah tepatnya ke siapa, ketika negeri yang disebut "Agraris" ini sangatlah tidak adil terhadap nasib para petaninya.

Sumber: Instagram Jogja_darurat_agraria
Sumber: Instagram Jogja_darurat_agraria
Setelah isu Kendeng yang membuat saya tak habis pikir dengan pemerintah ini, saya dibuat menangis melihat rekaman video perampasan lahan di Kulonprogo. Bagi saya, tidak perlu menjadi berpendidikan untuk berempati terhadap teriak tangis para petani. Jika kita manusia, iba itu akan langsung tiba. Masalahnya, di negeri ini atau di negera berkembang manapun, uang menjadi faktor yang akan melebarkan jalan kesewenang-wenangan. Di kondisi demikian kita akan melihat bagaimana minimnya upaya pembelaan yang signifikan. Terlampau sering saya membaca ungkapan "Tuhan tidak tidur" ketika kasus ketidakadilan menyeruak. Iya, Tuhan tidak tidur. Lantas apakah itu membenarkan kita untuk berdiam diri saja?

Saya rasa tidak. Kita percaya Tuhan (versi agama apapun) membenci kejahatan, dan kitapun tahu bahwa penghukuman yang sejati masih berdaulat kata "nanti" setelah mati. Apakah cukup melegakan dan sepadan hanya dengan mengetahui bahwa koruptor akan masuk neraka nantinya? Namun selama hidup berselimut kenyamanan yang dibayar oleh air mata bahkan darah rakyat jelata. Bagi saya, ada yang salah jika kita berpikir demikian.

Masalahnya adalah yang hari ini, tepat sekarang. Ketika begitu banyak orang menangis, memohon, memelas, apakah kita hanya berkata menenangkan mereka: "tenang saja, Tuhan tidak tidur kok". Iya, Tuhan tidak tidur, dan jika Dia menjadi kita manusia, Dia jelas tidak akan diam saja! Dia akan bergerak, memperjuangkan. Orang jahat tidak boleh dimanjakan dengan pengabaian. Mereka harus bergetar melihat manusia yang waras melawan. Mungkin perlawanannya tidak sekali langsung berhasil, tapi jika suara perlawanan membuat mereka terusik hatinya, sejatinya perlawanan demikian tidak sia-sia.

Tidak banyak yang saya dapat lakukan mengubah keadaan, tapi pastilah ada yang dapat saya lakukan. Saya tiba-tiba jadi ingat setahun lalu tulisan saya di Facebook tiba-tiba banyak disebar dan memunculkan pro dan kontra. Isinya  mengkritik para pendukung Ahok yang cinta mati oleh seorang Figur hingga menjadi lupa untuk mengedukasi diri untuk melawan berbagai ketidakadilan selain perkara yang menimpa idola mereka. 

Lalu mereka yang tak sepaham dengan saya berkata: "ya sudah kalau gitu kamu dong edukasi kami tentang isu-isu itu, jangan cuma marah,". Sekarang saya menulis ini. Saya tahu tidak banyak yang dapat saya lakukan, dan saya memilih menulis, setidaknya agar kegelisahan tersebar, agar orang lain yang tidak sengaja membaca tulisan penuh amarah ini tahu bahwa ketika mereka sibuk mempermasalahkan soal urusan rumah tangga selebriti, 

Sesungguhnya ada permasalahan lebih serius yang memohon dukungan atau setidaknya empati. Saya memilih menulis dan menyatakan betapa tidak beresnya negeri ini memperlakukan orang-orang kecil. Saya memilih untuk tidak bersembunyi di balik kalimat: "Gusti mboten sare." Saya memilih untuk tidak diam! Bagaimana denganmu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun