Kita suka mengotak-kotakkan hal-hal yang tak sepenuhnya berhubungan, hanya karena catatan sejarah atau kecenderungan semata.
Bahwa orang India cocok berdagang kain, orang China cocok berdagang properti, dan orang Jawa sebagai pegawai pemerintahan. Beberapa waktu lalu saya mengikuti seminar yang menghadirkan sebuah permainan unik untuk melatih daya analisis seseorang. Kami peserta diminta menentukan delapan penduduk pertama di sebuah planet baru. Ada beragam pilihan pekerjaan. Dari guru, insinyur, hingga komedian. Lalu hal kedua adalah pilihan suku, dari keturunan Arab, Tionghoa, India, hingga suku Indonesia seberti Batak, Jawa, Ambon, dan Bali.
Kelompok yang mempresentasikan pilihannya rata-rata mengeluarkan pilihan senada, yaitu berdasarkan tingkat urgensi bidang tersebut lalu kemudian disesuaikan dengan suku yang cocok. Pembicarapun angkat bicara dan menyentil kami. Beliau menyadarkan bagaimana kecenderungan stereotype sangat kental di diri kita. Terbukti dengan pemilihan tersebut. Orang Bali menjadi Guru, sebab orang Bali terkenal lembut. Orang Jawa jadi petani atau pegawai, karena ketelatenannya. Orang China jadi pedagang, karena unsur teliti dalam perhitungan. Lah pertanyaannya, memang tidak ada orang China yang lembut tutur? Memang tidak ada orang Bali yang jago bertani?
Kita suka melakukan stereotip. Mari akui itu. Dengan jujur.
Stereotip dimaknai sebagai, "Penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut berasal".
Kecenderungan seperti itu rasanya hampir mustahil dipatahkan dan tidak terlalu bermasalah kecuali ketika kadar pengotakkan itu melebihi batas. Misalnya ketika mengharamkan sebuah kelompok yang "tidak biasanya" untuk mengakses sebuah kesempatan.
Semua itu tidak secara nyata saya alami. Diskriminasi, bagi saya seorang keturunan Tionghoa adalah omong kosong. Bayangkan, sedari SD hingga kuliah saya full mengenyam pendidikan di sekolah negeri. Pertanyaan apakah pernah dibeda-bedakan perlakuannya atau tidak mempunyai teman, sama sekali tidak saya rasakan. Atau mungkin saya tidak cukup peka terhadap hal itu saking minornya. Mata yang tidak sipit dan kulit yang tidak putih memudahkan saya berbaur tanpa terlihat "berbeda". Diskriminasi terasa begitu jauh, hingga tiga tahun lalu.
Di wawancara CPNS 2014, saya bertemu seorang ibu berkerudung. Ia tersenyum ramah dan mempersilakan saya duduk. Sesaat sebelum sesi tanya jawab mulai berjalan, dia membuka map tentang data diri saya. Pertanyaan pertama yang muncul adalah, "Namanya unik, bukan orang Jawa ya Mbak?" saya menjawab jujur pastinya. Rautnya agak berubah. Lalu meluncurlah pertanyaan, "Kok tumben orang Cina mau jadi PNS".
Kalimat retoris itu seketika membuat saya tahu ke mana arah perbincangan berlangsung. Saya ingat persis, map data diri saya ditutup sebelum wawancara yang seolah formalitas itu tuntas dilakukan. Tuduhan bahwa seleksi itu bersifat diskriminatif agaknya terlalu terburu untuk disimpulkan. Satu-satunya yang bisa saya tangkap adalah bahwa saya kurang beruntung dengan bertemu interviewer yang merasa bahwa sebuah kejanggalan luar biasa untuk saya --gadis Tionghoa-- ini melamar menjadi PNS.
CPNS 2017
Kenangan pahit masa lalu masih menyelimuti, tanpa membuat saya trauma atas pilihan sadar saya untuk menjadi abdi negara. Saya mencoba lagi, tahun ini. Lagi-lagi di tahap wawancara isu kesukuan naik ke permukaan. Namun, sepertinya semesta Nusantara ingin memberi tahu saya bahwa masih banyak orang yang profesional dan tidak terjebak dalam godaan stereotip berlebihan.
Bapak itu mungkin usia 50 tahunan. Ada uban di kepalanya dan kacamata tergolong turun, khas bapak-bapak yang ingin membaca sesuatu tanpa terlalu menunduk. Setelah beberapa pertanyaan dilewati, ia menyadari bahwa ada darah Tionghoa di diri saya. Entah karena penampilan atau hasil menebak dari nama saya yang tergolong tidak umum. Dalam hitungan detik, ketakutan singgah dan membuat saya berasumsi bahwa kejadian tiga tahun lalu akan terulang. Baris-baris kalimat berikutnya membuktikan bahwa saya telah salah. Agar tidak mengurangi pemaknaan interaksi itu, alih-alih menarasikannya, saya akan mengutipnya dengan kalimat langsung.
"Wah tumben ada orang Cina yang mau daftar jadi PNS"
"Iya pak, dari dulu saya memang ingin. Ini sudah seleksi kedua yang saya coba."
"Bukan bermaksud rasis ya, tapi jarang sekali hal ini. Saya justru kagum, ada orang kayak sampeyan mau kerja di pemerintahan terlepas dari suku apapun. Soalnya, sebenarnya semua punya peluang yang sama lho, Mbak."
"Iya pak, setuju. Dan terima kasih, Pak," sambil tersenyum
"Uda punya pasangan mbak?"
"Sudah, pak"
"Ah sayang, kalau belum, mau saya jadikan mantu."
(lalu kami tertawa)
"Ohya, pacarnya orang Cina?"
"Bukan, Pak, pacar saya orang Jawa tulen. Dari dulu saya pengen bikin keluarga yang Bhinneka. Nanti semoga punya mantu orang Bali atau Batak, atau suku apapun lainnya."
(bapak itu menyodorkan tangannya mengajak bersalaman)
"Semoga makin banyak orang seperti mbaknya. Tidak perlu mempermasalahkan kesukuan, toh kita sama-sama Indonesia ya Mbak?"
(Saya mengangguk mantab, tersenyum, dan lega)
Saya tidak tahu siapa nama Bapak Interviewer saya siang itu, tapi satu yang jelas, beliau telah mengobati sakit hati saya tiga tahun lalu. Pertemuan saya dengan Bapak tersebut tepat di hari ketika media ramai karena istilah "pribumi". Tapi saya makin yakin banyak orang waras dan sehat di masyarakat kita. Orang-orang yang tidak akan menganggap miring pilihan kita dan justru mengapresiasi.