Mohon tunggu...
Claudya Elleossa
Claudya Elleossa Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pencerita

Seorang ASN dan ibu, yang sesekali mengisi pelatihan menulis dan ragam topik lainnya. Bisa diajak berinteraksi melalui IG @disiniclau

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Merespons dan Mengantisipasi Hoaks tanpa Marah-marah

11 November 2017   17:06 Diperbarui: 12 November 2017   08:58 1838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Tentang hal ini, saya pernah melakukan survei sederhana melalui layanan pollingdi instagram untuk menanyakan manakah yang lebih berpengaruh terhadap tersebarnya hoaks: apakah kemalasan membaca atau rasa benci. Jawabannya lebih kepada kemalasan membaca. Saya sendiri berpikir bahwa kebencian lebih dominan berpengaruh. Entah yang mana lebih besar dari yang satunya, kita boleh yakin bahwa kemalasan dan kebencian tidak berbuah baik.

Perlunya memerangi hoaks dari hal kecil

Menilik perputaran informasi sebenarnya ada tiga pihak yang berperan sentral. Pertama pengguna sosial media, kedua adalah website itu sendiri, dan ketiga adalah orang-orang penghuni sosial media kita. Maka, mari kita berangkat dari masing-masingnya.

  • Terhadap Website: Skeptislah!

Facebook beberapa bulan lalu mempublikasikan beberapa poin anjuran untuk mewaspadai pemberitaan palsu. Saya rasa poin tersebut sangat relevan untuk kita mengerti. Namun di antara delapan poin yang ada, salah satu yang utama memastikan kredibilitas website atau portal tertentu. Lalu bagaimana cirinya portal yang tidak dapat dipercaya? Pertama, tidak berupa website resmi pemerintah atau lembaga kredibel. Kedua, kalimat judul cenderung provokatif dan isinya cenderung claiming tanpa data. Ketiga, ada unsur harapan (bahkan paksaan) untuk menyebar informasi itu.

Kita perlu skeptis sebelum mengangguk sepakat terhadap satu konten tertentu (apalagi memutuskan membaginya).

  • Terhadap diri kita sendiri: Bijaksanalah!

Baca boleh banyak, share secukupnya. Prinsipnya kerap sesederhana ini. Ketika kita bahkan belum yakin kredibilitas sebuah tulisan, atau ketika kita merasa sedang sangat emosional memihak sesuatu, maka itu adalah waktu yang paling tepat untuk menahan diri. Rajin membagi informasi yang seakan-akan baik dan oke menurut saya tidak serta-merta menjadikan kita orang yang paling tahu dan menjadi berguna. Menahan diri adalah kualitas penting di era keterbukaan dan kebebasan ini.

  • Terhadap orang-orang penghuni media sosial kita: Saringlah!

Mau tidak mau, penduduk media sosial kita berkontribusi terhadap bacaan apa yang kita akan kunyah setiap menatap gawai. Maka baiklah kita memilih siapa saja yang layak ada di linimasa atau cukup berteman di dunia nyata. Tak sedikit teman yang saya tegur hingga saya putuskan untuk unfriendatau unfollow(bahkan block) sebab ketidakmahiran mereka dalam memilih informasi yang dibagi. Namun di dunia nyata kami tetap teman baik tanpa ada yang berubah. Hal tersebut dapat kita pertimbangkan untuk memastikan linimasa kita diisi dengan hal yang berbobot dan terpercaya.

Catatan pentingnya adalah tindakan ini bukan ditujukan untuk mengeliminasi kawan yang berbeda pandangan. Justru baik menurut saya jika linimasa kita datang dari berbagai idealisme. Hal itu membuat kita tidak membabi buta membela atau membenci sesuatu tanpa melihat sisi seberang. Pertimbangannya bukan pada apa yang mereka percayai namun keterampilan mereka membagi informasi.

Secuplik Pengalaman -- Mengedukasi sekitar kita

Sebagai Guru secara khusus, apalagi pelajaran yang berkaitan dengan moral dan pendidikan Pancasila, dalam setiap kesempatan saya menyelipkan pesan kepada para murid agar lebih berhati-hati sebelum mengangguk sepakat pada sebuah konten dari internet. Di luar kelas, tak lupa saya melakukannya juga. Tanpa perlu marah-marah, berita bohong hanya perlu diresponi dengan kepala dingin, santun, dan informasi klarifikasi yang memadai.

Memerangi hoaks bagi saya samasekali bukan berbahan bakar kepentingan politik. Sebagai generasi (hampir) Z adalah menyebalkan nan menggemaskan ketika menemukan orang-orang menyebar informasi yang terindikasi kebohongan. Pertama, ketika Pokemon Go dirilis, saya dibuat geram bagaimana forum-forum dengan gencarnya membahas keburukan games tersebut. Alhasil, saya melakukan riset sederhana untuk membahas hal itu dan suprisingly dibaca oleh banyak orang. Belum lama ini, di grup whatsapp kumpulan Guru PKN ada seseorang yang membagi info yang belum tentu benar. Bahkan terlihat sekali aroma ketidakbenarannya. Alih-alih hanya marah, saya memberikan sumber kredibel yang menyanggah hal itu dan tak lupa diisi dengan himbauan untuk lebih hati-hati. Saya percaya kita semua punya peran untuk membenahi yang kurang baik. Kini tergantung kita mau menggunakan peran itu atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun